Sekolah Sudah Dibuka, tetapi Jutaan Murid ”Menghilang”
Anak-anak itu tidak lagi sekolah, di antaranya karena bekerja sebagai buruh anak, hamil, atau menikah dini. Banyak orangtua dari keluarga terdampak pandemi tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkan anaknya.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membawa dampak signifikan di dunia pendidikan. Setidaknya 1,6 miliar anak secara global terkena imbas penutupan sekolah. Risiko generasi yang hilang masih menghantui.
Para siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah merasakan dampak terberat. Dari India hingga Uganda, ketimpangan melonjak akibat penutupan sekolah. Meski beberapa bulan terakhir sekolah-sekolah sudah mulai dibuka, jutaan anak tidak kembali ke bangku sekolah dengan beragam alasan.
Seperti dituturkan Raju Usmani, pemandu wisata di Taj Mahal, India, yang resah akan masa depan putrinya. Pandemi Covid-19 memangkas pendapatannya dari 13 dollar AS (sekitar Rp 186.000) menjadi hanya 5 dollar AS (Rp 71.000) per hari. Istrinya sakit. Anak-anaknya ketinggalan pelajaran karena tidak ada akses internet untuk pembelajaran daring. Usmani harus membayar 20 dollar AS (Rp 286.000) per bulan untuk biaya sekolah swasta karena sekolah negeri di negara bagian tempatnya tinggal kurang bagus.
Putrinya, Areeba, akhirnya kembali ke sekolah, Januari lalu. Namun, ia mengulang kelas yang sama dengan yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Ia sudah lupa pelajaran penjumlahan, padahal sebelumnya ia jagoan di mata pelajaran itu. Adiknya, Ayazudiin, kembali ke taman kanak-kanak dan sudah lupa semua pelajaran bahasa Inggris dan aksara Hindi.
”Masa depan anak-anak saya bergantung pada pendidikan yang mereka dapatkan sekarang. Saya tidak ingin mereka dapat pendidikan kurang matang seperti saya,” ujar Usmani.
Menurut pakar pendidikan PBB, Robert Jenkins, hal serupa menimpa banyak siswa di dunia, terutama di negara berkembang dan miskin. Di Uganda, misalnya, tercatat 30 persen dari seluruh siswa tidak kembali ke kelas. Sekolah-sekolah sudah dibuka sejak Januari sejak ditutup selama 22 bulan.
Anak-anak itu tidak lagi sekolah, di antaranya karena bekerja sebagai buruh anak, hamil, atau menikah dini. Orangtua juga sering kali memilih untuk menyekolahkan kembali anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terlebih apabila uangnya pas-pasan.
Tahun 2020, lembaga World Vision memperkirakan 1 juta anak perempuan di sepanjang sub-Sahara Afrika berhenti sekolah karena hamil. Rwanda dan Sierra Leone dipuji karena langkah-langkah mereka mengembalikan para ibu muda itu ke sekolah. Sayangnya, stigma, kemiskinan, dan kurangnya perawatan anak masih memicu banyaknya siswa perempuan tak kembali ke sekolah.
Teman sekolah saya menjuluki saya ’omuyiribi’, artinya pekerja keras. Kadang-kadang saya menangis melihat mereka pulang dari sekolah dengan gembira, sementara saya berkeringat di bengkel. (Kareem Kato)
Selain itu, banyak orangtua dari keluarga terdampak pandemi tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkan anaknya. Ini dialami keluarga Kareem Kato di Kampala, ibu kota Uganda. Kato bercita-cita menjadi insinyur. Ia baru mulai sekolah menengah saat pandemi melanda. Akibat pembatasan total, pendapatan orangtuanya merosot tajam. Mimpi Kato kandas. Pada usia 14 tahun, ia mulai bekerja sebagai tukang kayu untuk membantu keluarga.
Saudara kembarnya, Sumaya, juga bercita-cita menjadi pengacara. Namun, ia terpaksa berhenti sekolah dan kini membantu ibunya berjualan di pasar. ”Teman sekolah saya menjuluki saya ‘omuyiribi’ artinya pekerja keras. Kadang-kadang saya menangis melihat mereka pulang dari sekolah dengan gembira, sementara saya berkeringat di bengkel,” ujar Kato.
Para pendidik mengatakan, dunia pendidikan berada di persimpangan. Pembukaan kembali sekolah tidak akan cukup. Sekolah mesti mengkaji dan mengadaptasi kurikulum agar para siswa bisa mengejar ketertinggalan. Hilangnya pembelajaran akan bertambah besar jika siswa kembali ke sekolah, tetapi metode pembelajaran tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Para siswa juga kehilangan kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan sosial melalui pertemanan dan kegiatan fisik. Banyak siswa yang harus berjuang mengatasi rasa kesepian. Diperkirakan 5,2 juta anak juga berduka karena kehilangan orangtua atau pengasuh akibat Covid-19.
Jenkins mengatakan, sekolah harus mengambil pendekatan menyeluruh saat menyambut kembali anak-anak ke sekolah. Selain kurikulum, sekolah juga perlu meninjau kesehatan mental, fisik, dan psikologis siswa. ”Kita berisiko mengalami generasi yang hilang. Tanpa tindakan segera, banyak negara tidak akan memiliki pekerja terampil yang diperlukan untuk pembangunan di masa depan,” kata Jenkins yang juga Kepala Bidang Edukasi pada Unicef.
Sebelum pandemi, Uganda bahkan sudah kekurangan tenaga kerja terampil. ”Kita mungkin tidak akan melihat dampaknya sekarang, tetapi kita akan mengalaminya di masa depan. Dua tahun penutupan sekolah sangat berat. Dampaknya akan panjang dan masif,” kata Muhire, ekonom pada Makerere University Business School.
Hilang sudah hari-hari ketika orangtua harus menyeret anak-anaknya dari kasur untuk pergi ke sekolah. Menurut Jenkins, sekarang saatnya membalikkan keadaan atau tidak akan ada kesempatan sama sekali. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)