Korban Banjir di Australia Keluhkan Lambatnya Penanganan
Cuaca ekstrem melanda Australia dan mengakibatkan banjir besar. Bahkan, di negara semaju ini, bantuan dari pemerintah dinilai lama dan tidak cukup.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SYDNEY, SENIN — Sepekan lebih banjir menggenangi Negara Bagian Queensland dan New South Wales di Australia, masyarakat mengeluhkan praktik tanggap darurat pemerintah daerah dan federal yang lama. Apalagi, prakiraan cuaca menyebutkan dalam beberapa hari ke depan, pesisir timur Australia tetap akan didera hujan deras sehingga evakuasi maupun pembenahan kota akan terus terkendala.
Banjir masih menggenangi, antara lain, Brisbane dan Lismore di Queensland pada Senin (7/3/2022). Di negara bagian ini, 18 orang tewas akibat tenggelam ataupun terseret arus sejak pekan lalu. Bagi negara maju seperti Australia, ini jumlah korban jiwa yang tidak sedikit.
Pekan lalu, selama dua hari negara bagian ini diguyur hujan dengan curah mencapai 611 milimeter. Akibatnya, sungai dan kanal yang meluap dan merendam kota. Di Brisbane tercatat ketinggian air mencapai 8,5 meter. Bahkan, di Lismore bisa sampai 14 meter. Warga terpaksa menyelamatkan diri ke atap rumah masing-masing. Itu pun di tengah guyuran hujan lebat.
”Ini fenomena hujan La Nina yang ekstrem akibat perubahan iklim. Badan Meteorologi juga mengungkapkan beberapa hari ke depan tetap hujan. Akan tetapi, menurut saya, pemerintah federal dan daerah melakukan respons yang cukup baik,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
Ia memerintahkan Menteri Pertahanan Peter Dutton untuk menurunkan angkatan bersenjata Australia guna membantu warga. Tercatat, ada 5.000 personel militer yang diturunkan ke Queensland dan New South Wales. Selain itu, angkatan bersenjata Singapura juga membantu dengan menurunkan beberapa helikopter untuk evakuasi maupun mengangkut bantuan.
Badan Meteorologi Australia memperkirakan, dalam dua hari ke depan, pesisir timur Australia akan dilanda hujan dengan curah 120-150 milimeter. Bahkan, di New South Wales, wilayah pesisir sepanjang 1.000 kilometer dinyatakan sebagai daerah berbahaya. Warga diminta untuk mengungsi karena diperkirakan akan terjadi banjir.
Menteri Besar New South Wales Dominic Perrottet mengungkapkan, ini hujan dan banjir terparah yang melanda negara bagiannya. Pada tahun 2011, wilayah ini juga terkena banjir hingga ketinggian 15 meter, tetapi itu setelah hujan selama lebih dari sepekan.
“Ini gara-gara hujan dua hari pekan lalu dan airnya lama sekali surut. Lalu di tengah kendala evakuasi warga, muncul peringatan akan hujan lagi. Begitu banyak pekerjaan yang belum selesai menjadi terkendala,” katanya kepada surat kabar The Telegraph.
Di New South Wales, tercatat ada 2.000 rumah rusak parah dan dinyatakan tidak layak huni lagi. Sementara itu, di Brisbane saja, tercatat ada 15.000 orang kehilangan tempat tinggal. Dewan Asuransi Australia mengungkapkan, sejauh ini, perhitungan kerugian materi mencapai 1,3 miliar dollar Australia. Mereka telah menerima 86.703 klaim asuransi atau sekitar 28 persen dari jumlah korban tercatat.
Perumahan tak layak
Permasalahannya, tidak semua korban banjir memiliki asuransi. Media garis kiri Australia, World Socialist Web, mencatat bahwa mayoritas korban banjir tidak memiliki asuransi apa pun, apalagi asuransi kerusakan akibat banjir. Para korban ini adalah masyarakat kelas pekerja ataupun ekonomi bawah yang tidak mampu mengakses tempat tinggal yang layak.
Mereka kemudian membeli rumah atau mengontrak di wilayah dataran rendah yang sejatinya langganan banjir karena harga tanah yang murah. Umumnya, para korban banjir juga baru menempati wilayah rawan banjir itu setelah tahun 2011. Pemilik rumah sebelumnya atau para induk semang tidak transparan memberi tahu penghuni sekarang bahwa wilayah itu rawan banjir.
Pemerintah Queensland memberi santunan 1.000 dollar Australia untuk korban banjir di Brisbane dan Lismore. Akan tetapi, ternyata tidak semua korban yang bisa mengaksesnya. Hanya mereka yang tercatat sebagai pemilik rumah yang menerimanya. Bagi warga yang statusnya mengontrak, belum ada bantuan dalam bentuk apa pun. Mereka terpaksa bertahan di rumah yang terendam air tanpa makanan maupun bahan bakar untuk pencahayaan ataupun penghangat. (REUTERS/AP)