Kenaikan Harga Minyak dan Fenomena Stagflasi Global
Para analis dan pelaku pasar menyebut kembali fenomena stagflasi layaknya di lima dekade lalu. Ini kondisi ketika ekonomi mengalami kenaikan inflasi dan perlambatan pertumbuhan pada saat yang bersamaan.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Suasana pasar-pasar saham utama di dunia dibayangi kesuraman menjelang akhir triwulan pertama tahun ini. Bursa saham Wall Street disebut kembali mengalami fase di era 1970-an. Penyebab utamanya adalah lonjakan harga minyak dan komoditas lain. Belum lagi kekhawatiran tentang sikap yang akan diambil bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserved atau The Fed. Agresi Rusia atas Ukraina juga belum terlihat ujungnya.
Para analis dan pelaku pasar menyebut kembali fenomena stagflasi layaknya di lima dekade lalu. Ini kondisi ketika ekonomi mengalami kenaikan inflasi dan perlambatan pertumbuhan pada saat yang bersamaan. Dinamika kondisi terbaru secara global dikhawatirkan menyebabkan kembali terjadinya stagflasi. Mereka mengalibrasi ulang portofolio untuk periode inflasi tinggi dan pertumbuhan yang lebih lemah.
Sanksi-sanksi Barat terhadap Rusia selaku eksportir komoditas utama telah turut mendongkrak harga minyak mentah Brent. Harganya melonjak 80 persen dibandingkan harga tahun lalu menembus level 100 dollar AS per barel. Hal itu memicu kekhawatiran bahwa biaya energi yang lebih tinggi akan terus mendorong kenaikan harga konsumen sambil menekan pertumbuhan global. Pada Senin (7/3/2022), harga minyak Brent berada di level 126,01 dollar AS per barel. Adapun minyah mentah WTI naik 6,67 dollar AS per barel ke level 122,35 dollar AS per barel.
Lonjakan harga minyak itu akan membebani konsumen dan berpotensi memukul pertumbuhan ekonomi global. Pada saat yang sama, volatilitas pasar yang berasal dari perselisihan geopolitik telah membuat investor kurang yakin tentang seberapa agresif The Fed akan mengetatkan kebijakan moneter untuk menjinakkan inflasi yang melonjak. Investor sekarang mengharapkan The Fed akan menaikkan suku bunga dari nol menjadi 1,5 persen pada Februari 2023, dibandingkan dengan 1,75 persen yang diproyeksikan beberapa pekan sebelumnya.
Mengutip Reuters, survei dari BoFA Global Research menunjukkan, persentase para manajer dana yang percaya stagflasi akan terjadi dalam 12 bulan ke depan mencapai 30 persen, dibandingkan dengan 22 persen pada bulan lalu. Ancaman stagflasi sangat mengkhawatirkan investor karena melintasi kelas aset, hanya menyisakan sedikit tempat untuk bersembunyi atau menghindar. Model uji stres oleh tim peneliti Solusi Manajemen Risiko MSCI menyebutkan, portofolio yang terdiversifikasi dari ekuitas global, surat utang, dan real estat dapat kehilangan keuntungan hingga 13 persen jika kenaikan harga minyak menyebabkan stagflasi.
Merujuk pada sejarah, periode stagflasi besar, khususnya di AS, terakhir dimulai pada akhir 1960-an. Melonjaknya harga minyak, meningkatnya pengangguran, dan longgarnya kebijakan moneter mendorong indeks harga konsumen inti naik 13,5 persen pada 1980. Hal itu mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga hampir 20 persen di tahun itu. Merujuk pada data Goldman Sachs, Indeks S&P 500 turun rata-rata 2,1 persen secara triwulanan dalam periode terjadinya stagflasi selama 60 tahun terakhir.
Kekhawatiran terjadinya stagflasi di Eropa lebih besar dan sekaligus bakal lebih keras efeknya. Ini tidak terlepas karena ketergantungan ”Benua Biru” yang lebih besar pada impor energi. Paul Christopher, kepala strategi pasar global di Wells Fargo Investment Institute, menilai, kemungkinan itu akan menyebabkan investor menjauh dari aset-aset di kawasan Eropa. Ini berkebalikan dengan kondisi akhir tahun lalu. Kala itu kalangan investor memilih memindahkan asetnya dari pasar AS ke Eropa mengingat saham-saham AS yang dinilai telah kemahalan.
Christopher menyebutkan, stagflasi di Eropa kemungkinan akan menyerupai periode panjang pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi yang dialami AS di era 70-an. Harga minyak mentah Brent sebesar 120 dollar AS per barel akan melemahkan 2 poin persentase dari ekonomi Uni Eropa. Adapun bagi AS, kenaikan harga minyak kemungkinan akan memangkas 1 poin persentase dari ekonominya, sebagian karena pasokan domestik negara yang lebih besar dan pajak yang lebih rendah. ”Di Eropa, jika harga energi terlalu tinggi, pabrik-pabrik harus tutup,” kata Christopher.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam pernyataan terbaru pada Sabtu (5/3/2022) mengingatkan efek serius dari perang Rusia-Ukraina yang terus berlanjut. Organisasi pemberi pinjaman global itu mengatakan, perang di Ukraina telah mendorong harga energi dan biji-bijian lebih tinggi. ”Lantaran situasinya sangat fluktuatif dan prospeknya tunduk pada ketidakpastian yang luar biasa, konsekuensi ekonominya sangat serius,” sebut pernyataan IMF setelah rapat dewan yang dipimpin Direktur Pelaksana Kristalina Georgieva.
IMF menyatakan, perang yang sedang berlangsung di Eropa Timur dan sanksi-sanksi terkait yang diterapkan Barat juga akan berdampak parah pada ekonomi global. Lembaga itu memperingatkan, krisis geopolitik menciptakan kejutan yang merugikan bagi kegiatan-kegiatan ekonomi pada saat tekanan harga sudah tinggi. Guncangan harga akan terasa di seluruh dunia. IMF menyarankan negara-negara harus memberikan dukungan fiskal untuk rumah tangga miskin.