Krisis di Ukraina mendorong Turki mengambil langkah pencegahan eskalasi. Ankara memutuskan menutup Selat Bosporus dan Dardanela untuk semua kapal perang.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
Turki akhirnya pada hari Selasa (1/3/2022) menutup Selat Bosporus dan Dardanella untuk semua kapal perang milik negara-negara yang bertepi ke Laut Hitam maupun yang tidak bertepi ke Laut Hitam. Sebagai catatan, ada enam negara yang bertepi di Laut Hitam, yaitu Rusia, Ukraina, Bulgaria, Romania, Georgia, dan Turki.
Selat Bosporus dan Dardanella dinilai sangat strategis karena menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara.
Sesuai dengan Konvensi Montreux 1936, Turki memiliki hak melarang kapal-kapal perang menggunakan Selat Bosporus dan Dardanella semasa perang. Perkembangan situasi di kawasan dalam beberapa waktu terakhir diduga menjadi alasan bagi Turki untuk menutup selat strategis itu.
Segera setelah keputusan Turki tersebut, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan hari Selasa lalu menegaskan, Turki tidak memutus hubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina. Erdogan tampaknya tengah berusaha meyakinkan bahwa keputusan Turki bukan ditujukan kepada siapa-siapa, yakni baik Rusia maupun Ukraina. Larangan itu berlaku umum. Bahkan, Amerika Serikat atau negara Barat lain juga dilarang mengirim kapal perang melalui Selat Bosporus menuju Laut Hitam untuk membantu Ukraina.
Meskipun demikian, sesungguhnya keputusan Turki itu lebih banyak berpengaruh terhadap Rusia. Sebagaimana diketahui, Rusia merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar, khususnya angkatan laut, di kawasan Laut Hitam.
Sudah lumrah kapal perang Rusia lalu lalang antara Laut Mediterania dan Laut Hitam dengan melalui Selat Bosporus dan Dardanella. Selain itu, Rusia juga memiliki pangkalan laut di Tartus-Suriah yang bertepi di Laut Mediterania.
Kapal perang Rusia sudah terbiasa tukar-menukar posisi dan patroli secara rutin dari pangkalan laut Rusia di Laut Hitam ke pangkalan laut Rusia di Tartus (Laut Mediterania) dan sebaliknya. Oleh karena itu, bagi Rusia, keputusan Turki menutup Selat Bosporus dan Selat Dardanella untuk semua kapal perang negara-negara yang bertepi di Laut Hitam maupun yang tidak bertepi di Laut Hitam merupakan pukulan telak.
Dari fakta itu, tak dapat disangkal, Selat Bosporus bagi Rusia sangat strategis. Setelah Rusia memiliki pangkalan di Tartus, kedua selat itu tak ubahnya urat nadi bagi operasi Angkatan Laut Rusia di kawasan. Selat itu menjadi jalur perlintasan kapal-kapal perang Rusia antara Laut Hitam dan Laut Mediterania.
Kapal-kapal perang Rusia di pangkalan laut Tartus dan yang beroperasi di Laut Mediterania saat ini tidak bisa lagi melintas Selat Bosporus menuju Laut Hitam untuk memperkuat gugusan kapal perang Rusia di Laut Hitam yang terlibat dalam perang Ukraina.
Meskipun demikian, keputusan Turki menutup Selat Bosporus itu tetap tidak memengaruhi gerak invasi militer Rusia di Ukraina. Kekuatan mainstream militer Rusia dalam invasi militer ke Ukraina berasal dari angkatan darat dan udara yang bergerak dari Rusia sendiri dan Belarus. Rusia juga mengepung Ukraina dari Laut Hitam dan Crimea, tetapi tidak mengandalkan kekuatan laut Rusia yang berada di kawasan laut Mediterania.
Keuntungan politik
Meski secara militer tidak ada pengaruh atas invasi militer Rusia ke Ukraina saat ini, secara politik, penutupan itu lebih menguntungkan Ukraina. Sebelumnya, Ukraina meminta Turki menutup Selat Bosporus sesuai dengan Konvensi Montreux 1936.
Melihat situasi itu, keputusan Turki menutup Selat Bosporus secara politik merupakan langkah berani. Keputusan itu bisa mengganggu hubungan bilateral Turki-Rusia yang cukup kuat selama ini.
Turki-Rusia terlibat dalam satu forum dengan misi mencari solusi politik di Suriah yang dikenal dengan Forum Astana. Turki dan Rusia sering berhasil membangun kesepahaman di Suriah, khususnya terkait Provinsi Idlib, terutama untuk mencegah konflik militer di provinsi tersebut. Provinsi Idlib bisa terus dikontrol kelompok oposisi Suriah sampai saat ini berkat tercapainya kesepahaman Turki-Rusia.
Dalam bidang pertahanan, Turki tetap berkomitmen membeli sistem anti-serangan udara canggih buatan Rusia, S-400, meskipun mendapat protes keras dari AS.
Oleh karena itu, setelah Turki menutup Selat Bosporus itu, muncul beragam spekulasi tentang masa depan hubungan Turki-Rusia, khususnya terkait isu Suriah. Tentang hal itu, dampaknya akan dilihat pada dinamika di Suriah setelah Turki menutup Selat Bosporus.
Sejauh ini tidak ada reaksi dari Rusia yang mengancam masa depan hubungan Turki-Rusia pascapenutupan Selat Bosporus tersebut.
Barangkali tujuan Turki menutup Selat Bosporus dalam upaya menaikkan nilai strategis Turki di mata dunia, khususnya Rusia dan Ukraina, sehingga mendorong Rusia dan Ukraina menerima peran Turki sebagai mediator konflik Rusia-Ukraina.
Selama ini, Turki sering menyampaikan bersedia menjadi mediator bagi Rusia-Ukraina. Bahkan pada awal Februari lalu, Presiden Erdogan berkunjung ke Ukraina dalam upaya menurunkan ketegangan Rusia-Ukraina. Namun, upaya Erdogan itu mengalami kegagalan.
Kini Erdogan menutup Selat Bosporus—diduga—sebagai cara membangun tekanan politik kepada Presiden Rusia Vladimir Putin agar menerima lagi tawaran Turki, dan mengizinkan Turki menjadi mediator konflik Rusia-Ukraina.