Perang siber antara Rusia dan Ukraina sudah terjadi. Sejauh ini, perang itu dikabarkan masih sporadis. Namun, jika perang siber meluas, dampaknya dikhawatirkan akan sangat luas dan merusak.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Sejak Rusia mulai menyerang Ukraina dari segala penjuru, baik darat, laut, maupun udara, perhatian publik lantas tertuju pada dunia siber atau dunia maya. Ada harap-harap cemas Rusia akan menggunakan kekuatan para peretas terbaiknya untuk mengacaukan dunia maya dengan menggunakan malware atau peranti lunak untuk menyusup atau merusak sistem komputer, server, atau jejaring komputer.
Malwarebisa merusak sistem komputer dan memungkinkan terjadi pencurian data atau informasi. Rusia bisa dan sangat mampu melakukan itu karena memiliki beberapa peretas terbaik di dunia. Namun sampai sekarang, kekhawatiran serangan siber Rusia yang akan mengacak-acak dunia belum terdeteksi masif.
Khawatir dengan serangan siber Rusia, Pemerintah Ukraina mengajak sukarelawan-sukarelawan peretas di seluruh dunia untuk bersama-sama melawan Rusia. Ajakan negara pada peretas untuk melawan negara lain di dunia maya baru kali ini terjadi. Para ahli siber khawatir ini malah akan berisiko memperparah ketegangan karena Presiden Rusia Vladimir Putin sudah menyiagakan persenjataan nuklirnya.
Sampai sejauh ini, jaringan internet Ukraina masih berfungsi di sebagian wilayah. Ukraina masih bisa menggalang dukungan dari dunia karena jaringan komunikasi, pembangkit listrik, dan infrastruktur penting lainnya masih berfungsi.
Mantan Koordinator Keamanan Siber di Gedung Putih, Amerika Serikat, Michael Daniel, mengatakan, Rusia belum melakukan serangan siber tetapi bukan berarti itu tidak akan terjadi. Serangan itu bisa terjadi kapan saja. Tidak diketahui alasan Rusia belum mengeluarkan kekuatan sibernya.
Rusia barangkali menganggap dampaknya tidak akan serius karena basis industri Ukraina juga tidak terdigitalisasi seperti di negara-negara Barat lainnya. Atau bisa jadi Rusia mungkin berpikir serangan siber ke Ukraina itu akan membawa dampak yang terlalu besar dari dunia. Para pakar keamanan siber menduga, Rusia setidaknya untuk saat ini lebih memilih membuka komunikasi dengan Ukraina untuk kepentingan intelijen.
Sebelum serangan Rusia per 24 Februari 2022, para peretas Rusia merusak situs Pemerintah Ukraina. Sebagai balasan, pasukan peretas ad hoc yang sebagian dikerahkan oleh badan keamanan Ukraina, SBU, mengklaim berhasil merusak situs pemerintah dan media Rusia. Kelompok sukarelawan yang menyebut dirinya dengan Pasukan Teknologi Informasi Ukraina dan memiliki sekitar 230.000 pengikut di media sosial telegram itu sudah membuat daftar berisi sasaran yang akan diretas, seperti bank-bank Rusia dan pertukaran mata uang kripto.
SBU Ukraina, Senin lalu, membuat pengumuman perekrutan resmi untuk sukarelawan peretas. ”Front siber dibuka! Bantu pakar siber Ukraina meretas platform penjajah!” Bahkan, di dalam pengumuman itu juga ada permintaan informasi kelemahan pertahanan siber Rusia, termasuk peranti lunak bugs dan kredensial untuk masuk ke situs-situs.
"Untuk pertama kalinya negara secara terbuka mengajak rakyat dan sukarelawan untuk menyerang negara lain lewat dunia maya,” kata Guru Besar Ilmu Antropologi di Harvard University Gabriella Coleman.
Ajakan ini menunjukkan ketergantungan Ukraina pada rakyatnya untuk urusan pertahanan. Wajar jika Ukraina memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada untuk melawan Rusia yang jauh lebih kuat. ”Sama seperti warga sipil yang ikut perang di jalanan, tidak heran jika mereka juga mencoba mengajak warga sipil untuk berperang di dunia siber,” kata Penasihat Umum Komando Siber AS Gary Corn.
Kelompok peretas yang mulai muncul tahun lalu, Partisan Siber Belarus, mengklaim berhasil mengganggu sejumlah layanan transportasi kereta di Belarus yang telah membantu pasukan Rusia menyerbu Ukraina.
Mantan pekerja jawatan kereta Belarus yang kini mengelola kelompok di Telegram terkait kereta, Sergey Voitekhovich, mengatakan, kelompok itu, Minggu, sudah menyabotase dan melumpuhkan lalu lintas kereta Belarus selama 90 menit. Ini sudah dua kali dilakukan selama sebulan terakhir. ”Serangan yang terakhir menghambat perjalanan dua kereta militer Rusia ke Belarus dari kota Smolensk, Rusia,” kata Voitekhovich.
Kelompok kriminal pro-Rusia yang melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang tebusan baru-baru ini bertekad akan menggunakan segala sumber dayanya untuk menyerang infrastruktur penting musuh jika Rusia diserang. Para ahli khawatir jika kedua belah pihak bersumpah akan saling menyerang dengan serangan siber, situasinya dikhawatirkan akan bisa lepas kendali.
”Mengupayakan agar ketegangan mereda dan berdamai saja sudah susah tanpa ada serangan dari para peretas,” kata pakar konflik siber di University of Colombia, Jay Healey, yang tidak setuju sektor swasta Ukraina dibiarkan meretas balik Rusia dan serangan siber negara lain.
Ada juga risiko lain yang akan membuat situasi semakin runyam, yakni para peretas bisa saja berpura-pura menjadi orang lain saat menyerang. Ini biasa terjadi dalam konflik dunia maya. Pada setiap serangan siber, hampir selalu susah untuk mengetahui siapa pelakunya.
Ini dikabarkan sudah terjadi beberapa jam sebelum serangan Rusia ke Ukraina. Serangan siber destruktif sudah menghantam infrastruktur digital Ukraina dan merusak ratusan komputer dengan malware ”penghapus”. Ini juga dialami lembaga keuangan dan organisasi yang berkantor di Latvia dan Lituania.
Presiden Microsoft Brad Smith dalam pernyataan tertulisnya mengatakan, serangan siber sudah terjadi pada pertengahan Januari lalu dan tepat sasaran. Namun, Smith belum melihat penggunaan teknologi malware sembarangan yang mengganggu sektor ekonomi Ukraina dan di luar Ukraina seperti dalam serangan NotPetya tahun 2017.
Serangan itu menimbulkan kerusakan di seluruh dunia hingga 10 miliar dollar AS karena mengganggu perusahaan yang berbisnis di Ukraina. Malware menyebar melalui pembaruan peranti lunak persiapan pajak.
Negara-negara di Barat menuding badan intelijen militer Rusia, GRU, yang melakukan serangan siber itu dan juga serangan-serangan siber yang paling merusak lainnya seperti pada 2015 dan 2016. Serangan pada waktu itu sempat melumpuhkan sebagian jaringan pembangkit listrik Ukraina. Sampai sejauh ini, serangan sedahsyat itu belum terjadi tetapi bukan berarti tidak akan terjadi. (AP)