Kuwait, negara yang dulu pernah dianggap lumayan progresif dalam isu perempuan dibanding negara-negara Teluk Arab lainnya, kini berjalan mundur. Otoritas konservatif menerapkan aturan represif terhadap perempuan.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Baru-baru ini, isu perempuan mencuat di Kuwait gara-gara ada instruktur yoga Kuwait di negara itu yang mengiklankan rencana perjalanan kelompok yoga ke gurun pasir. Bagi kalangan konservatif seperti ulama dan anggota parlemen, iklan itu menyerang Islam. Bagi mereka, posisi-posisi dalam yoga itu tidak pantas dilakukan perempuan, apalagi di depan umum. Akhirnya, rencana perjalanan itu dilarang.
Heboh isu iklan yoga ini menunjukkan adanya perang budaya yang sudah berlangsung lama di Kuwait, negara di mana suku dan kelompok Islam konservatif berkuasa. Semakin banyak politisi konservatif melawan gerakan feminis yang tengah berkembang belakangan ini di Kuwait. Kelompok konservatif menganggap gerakan itu menggerus nilai-nilai tradisional Kuwait di tengah ketidakmampuan pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan yang lebih penting dan genting.
"Negara kita semakin mundur. Belum pernah seburuk ini," kata aktivis perempuan, Najeeba Hayat, baru-baru ini kepada kantor berita The Associated Press saat tengah berdemo di gedung parlemen.
Rakyat Kuwait resah dengan pembatasan ruang gerak perempuan itu. Padahal, dulu Kuwait pernah bangga menjadi negara yang progresif dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Teluk Arab. Belakangan, perubahan justru mulai terjadi di Semenanjung Arab yang konservatif. Misalnya di Arab Saudi yang bahkan menjadi tuan rumah festival yoga terbuka pertama pada bulan lalu.
"Permusuhan terhadap perempuan di Kuwait selama ini berbahaya dan tidak terlihat. Sekarang permusuhan itu bahkan sudah masuk ke ranah kebebasan pribadi kita,” kata Alanoud Alsharekh, aktivis hak-hak perempuan yang mendirikan kelompok pejuang hak perempuan, Abolish 153.
Beberapa waktu lalu, otoritas Kuwait menutup tempat olahraga yang terkenal dengan kursus kelas tari perutnya. Kalangan ulama mendesak polisi segera menangkap penyelenggara acara yoga yang diiklankan itu yang disebut dengan "The Divine Feminine". Alasannya, mereka melakukan penistaan.
Selain kasus yoga itu, Pengadilan Tinggi Kuwait juga akan membuka sidang gugatan yang menyatakan pemerintah harus melarang operasional Netflix. Kasus ini berawal dari kegemparan pada film berbahasa Arab pertama yang diproduksi Netflix.
Hamdan al-Azmi, seorang Islamis konservatif yang memulai gerakan menentang yoga itu menuding orang luar sudah menginjak warisan Arab. Lagipula yoga juga dianggapnya sebagai parodi budaya. "Jika menjaga putri Kuwait dianggap sebagai bentuk kemunduran maka saya merasa terhormat untuk melakukannya," ujarnya.
Serangkaian keputusan terhadap kasus yang melibatkan perempuan yang bermotivasi agama memicu kemarahan perempuan Kuwait. Situasinya semakin tidak menguntungkan bagi perempuan karena saat ini tidak ada seorang perempuan pun yang duduk di parlemen. Inilah mengapa kasus-kasus yang mengerikan seperti "pembunuhan demi kehormatan perempuan" ditentang keras oleh kelompok aktivis perempuan. Salah satu kasus yang mengerikan dialami Farah Akbar yang diseret dari mobilnya lalu ditikam hingga tewas oleh seorang pria yang kemudian dibebaskan hanya dengan memberi jaminan.
Kecaman terhadap pembunuhan Akbar itu mendorong parlemen merancang undang-undang yang akan menghapus Pasal 153 terkait "pembunuhan demi kehormatan perempuan" itu. Artikel itu menyebutkan seorang pria yang menangkap istrinya melakukan perzinahan atau kerabat perempuannya terlibat dalam segala jenis seks "tidak resmi" dan membunuhnya hanya akan dipenjara selama tiga tahun. Bisa juga hanya dihukum membayar denda senilai 46 dollar Amerika Serikat. Perkembangan baru ini sudah disambut baik oleh aktivis-aktivis perempuan yang sudah mengampanyekan isu itu selama bertahun-tahun.
Hanya saja, ketika tiba saatnya mempertimbangkan kembali penghapusan pasal itu, komite parlemen Kuwait yang menangani isu-isu perempuan memilih mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Komite yang beranggotakan laki-laki semua itu meminta pendapat ulama Islam negara untuk mengeluarkan fatwa atau aturan agama yang tidak mengikat mengenai pasal itu. Dan para ulama pun memutuskan hukum tetap harus ditegakkan. "Sebagian besar anggota parlemen menganggap pembunuhan demi kehormatan ini hal yang normal,” kata Sundus Hussain, salah satu pendiri kelompok Abolish 153.
Setelah pemilu Kuwait pada 2020, pengaruh kelompok Islam konservatif dan suku meningkat. Aturan-aturan pun justru semakin mengekang perempuan. Belum selesai urusan Abolish 153 itu, kini para ulama kembali memancing kemarahan perempuan dengan melarang perempuan menjadi tentara.
Padahal Kementerian Pertahanan Kuwait sebelumnya sudah membuka pintu pada perempuan yang hendak mendaftar menjadi tentara. Ini sudah lama juga menjadi tuntutan perempuan Kuwait. Menurut para ulama, perempuan hanya bisa bergabung ke militer untuk mengisi posisi-posisi non-pertempuran, harus mengenakan jilbab, dan mendapat izin dari wali laki-laki.
Keputusan itu mengejutkan rakyat Kuwait yang selama ini terbiasa dengan pemerintah yang tidak peduli apakah perempuan mengenakan jilbab atau tidak. "Mengapa pemerintah sekarang berkonsultasi dengan ulama? Ini jelas cara pemerintah mencoba menenangkan konservatif dan menyenangkan parlemen saja. Menekan perempuan adalah cara termudah untuk mengatakan bahwa mereka membela kehormatan nasional," kata Dalal al-Fares, pakar studi gender di Universitas Kuwait.
Parlemen dan pemerintah malah lebih sibuk menangani isu perempuan ketimbang memperbaiki persoalan defisit anggaran dan melaksanakan reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan negara. Peraturan atau perundang-undangan yang sudah disetujui sebelumnya pun tak direalisasikan. Misalnya adalah UU Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang sudah disahkan dua tahun lalu.
Sampai sekarang, tidak kunjung ada tempat penampungan atau layanan perempuan yang dikelola pemerintah untuk korban kekerasan terhadap perempuan sebagaimana diperintahan undang-undang itu. Faktanya justru kekerasan terhadap perempuan meningkat selama penerapan kebijakan pembatasan terkait pandemi Covid-19.
"Kita harus merombak total kelemahan sistem hukum kita terkait perlindungan perempuan. Kita menghadapi sistem yang tidak bertanggung jawab dan tidak stabil yang membuat reformasi apapun hampir mustahil," kata anggota parlemen Abdulaziz al-Saqabi yang kini tengah menyusun aturan terkait kekerasan berbasis gender pertama di Kuwait.
Kelompok pendukung otoritas yang konservatif merasa masyarakat sudah berubah. Mereka semakin panik saat pada tahun lalu para aktivis perempuan meluncurkan gerakan #MeToo yang mengecam pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.
Ratusan laporan penyerangan terhadap perempuan mengalir ke akun instagram kampanye itu sehingga menciptakan perubahan besar dalam wacana perempuan di Kuwait. Penyelenggara kampanye selama beberapa bulan terakhir juga berjuang mempertahankan momentum karena mereka sendiri menghadapi ancaman pemerkosaan dan pembunuhan.
"Jumlah korban ternyata sangat banyak. Kami juga sampai tidak bisa keluar rumah dengan tenang karena diganggu terus,” kata Hayat yang membantu menciptakan gerakan itu tahun lalu.
Meski situasi yang dihadapi perempuan semakin tidak kondusif, Hayat masih sedikit percaya pemerintah akan bisa melakukan perubahan apapun untuk perempuan Kuwait. Meski masih percaya, bukan berarti perempuan menyerah dan tak lagi berjuang. "Kalau ada protes, tentu saja saya akan ikut. Jika ada siapa yang perlu diyakinkan bahwa perjuangan ini harus kita lakukan, saya akan melakukannya," ujarnya. (AP/LUK)