Isyarat Riyadh Picu Kekhawatiran Harga Minyak Bisa Tembus 100 Dollar AS Per Barel
Ancaman kenaikan harga minyak membuat khawatir Washington. Presiden AS Joe Biden mengirim dua pejabat terasnya ke Arab Saudi untuk membujuk Riyadh agar menambah produksi minyak. Namun, Riyadh memberi isyarat sebaliknya.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
DUBAI, JUMAT — Arab Saudi mengisyaratkan tidak mau memompa lebih banyak produksi minyak. Riyadh juga tidak akan mendorong perubahan kesepakatan dengan Rusia dan produsen lain yang telah membatasi tingkat produksi minyak. Dinamika itu, ditambah dengan ketegangan keamanan terkait konflik Ukraina dalam hubungannya dengan Rusia, telah membuat harga minyak mendekati level 100 dollar AS per barel.
Kenaikan harga minyak itu membuat khawatir Washington. Pemerintahan Presiden Joe Biden mengirim Koordinator Dewan Keamanan Nasional Timur Tengah Brett McGurk dan Utusan Energi Departemen Luar Negeri AS Amos Hochstein ke Riyadh pada Rabu (16/2/2022). Pasokan minyak global menjadi salah satu materi utama pembicaraan dengan Riyadh, di samping perang yang sedang berlangsung di Yaman.
Ditanya oleh wartawan di Washington, apakah para pejabat AS itu juga mendesak Arab Saudi memompa lebih banyak minyak mentah untuk menekan harga minyak yang terus naik, juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan bahwa dia tidak memiliki rincian lebih lanjut tentang pertemuan itu. Seorang pejabat Gedung Putih yang tidak ingin disebutkan namanya bersikeras bahwa kedua pejabat AS itu tidak meminta Saudi untuk meningkatkan produksi minyak pada pertemuan mereka di Riyadh.
Media The Wall Street Journal melaporkan bahwa dalam forum energi di Riyadh pada Rabu lalu, Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman menolak seruan untuk memompa lebih banyak produksi minyak. Ia mengatakan, negosiasi ulang kuota di antara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) berisiko memicu lebih banyak volatilitas di pasar minyak. Interceptadalah media yang pertama kali melaporkan bahwa Arab Saudi telah menolak permohonan Biden untuk meningkatkan produksi minyak.
Pada Kamis, Emily Horne, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, mengatakan bahwa para pejabat membahas ”pendekatan kolaboratif” dengan Arab Saudi untuk mengelola potensi tekanan terhadap pasar minyak global yang berasal dari kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina. Dua sumber dari kalangan pejabat Arab Saudi mengungkapkan bahwa Menteri Energi Arab Saudi memberi tahu OPEC tentang komitmen Riyadh terhadap peta jalan kelompok itu. Isinya adalah Arab Saudi berhati-hati menyikapi dinamika munculnya spekulasi hingga usulan peningkatan produksi minyak secara bulanan.
Raja Salman juga mengatakan hal itu dalam pembicaraan melalui telepon dengan Presiden AS Joe Biden pekan lalu. Seperti diungkapkan Pemerintah Arab Saudi, Raja Salman menyoroti ”pentingnya mempertahankan perjanjian” yang ada antara OPEC dan Rusia. OPEC sendiri merupakan ”kartel” minyak yang notabene dipimpin oleh Arab Saudi sebagai raksasa produsen minyak secara global.
Aliansi yang dipimpin Saudi dan Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, menyerukan peningkatan bertahap pada produksi minyak karena dunia bangkit dan mencoba pulih dari pandemi Covid-19. Namun, peristiwa geopolitik telah berkembang pesat dan mendorong volatilitas di pasar komoditas, termasuk minyak.
Harga minyak yang lebih tinggi menjadi isu dalam politik dalam negeri AS. Posisi Partai Demokrat rawan tertekan dalam pemilihan paruh waktu beberapa waktu mendatang. Biden telah memperingatkan bahwa harga gas bisa naik lebih tinggi lagi jika Presiden Rusia Vladimir Putin menginvasi Ukraina.
Minyak mentah Brent diperdagangkan sekitar 95 dollar AS per barel. Itu adalah level harga tertinggi minyak patokan dalam delapan tahun. Harga rata-rata bensin secara nasional AS saat ini untuk satu galon bensin reguler adalah 3,50 dollar AS, melonjak sekitar 40 persen dari rata-rata 2,50 dollar AS dibandingkan waktu yang sama pada tahun lalu.
Dalam sebuah wawancara dengan media CNN pada Oktober tahun lalu, Biden mengatakan, harga minyak naik karena ”pasokan ditahan oleh OPEC”. Dia menambahkan bahwa ada banyak negosiasi yang terjadi tentang biaya gas. Pada saat yang sama ia menyebut banyak kalangan di Timur Tengah ingin berbicara dengan dirinya. ”Saya tidak yakin saya akan berbicara dengan mereka. Tetapi, intinya ini tentang produksi gas,” tambahnya.
Biden-MBS tak harmonis
Pernyataannya itu secara luas ditafsirkan sebagai tamparan terhadap Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). MBS adalah sosok yang mengawasi keputusan kebijakan utama dan urusan sehari-hari Kerajaan Arab Saudi. Arab Saudi memiliki kemampuan untuk memproduksi sekitar 12 juta barel minyak per hari, tetapi produksinya sekitar 10 juta barel per hari sejalan dengan pembatasan OPEC+ yang dibuat selama pandemi Covid-19.
Pemerintahan Biden telah menekankan kepentingan strategis AS dengan Arab Saudi. Ini relatif berbeda dengan hubungan Washington-Riyadh di masa pemerintahan Donald Trump. Di masa Trump, hubungan AS dengan Riyadh, khususnya dengan Pangeran MBS, dibina Washington melalui Penasihat Senior Presiden Jared Kushner.
Di awal masa kepresidenannya, Biden menolak penyebutan kelompok teroris bagi pemberontak Houthi di Yaman. Padahal, sebutan itu diperjuangkan oleh koalisi pimpinan Arab Saudi, yang memimpin koalisi Arab untuk menyerang Houthi. Belakangan keputusan Biden itu dilobi untuk dipertimbangkan atau dibatalkan.
Biden juga mendeklasifikasi laporan intelijen yang menyimpulkan bahwa Pangeran MBS kemungkinan menyetujui operasi pembunuhan atas jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada 2018. Sepanjang masa kepresidenannya, Biden dilaporkan juga menghindari berbicara langsung dengan putra mahkota Saudi itu. Ia memilih menghubungi secara langsung Raja Salman, ayah sang pangeran yang berusia 86 tahun.
Kelompok OPEC+ secara konsisten menolak tekanan dari Biden untuk memompa lebih banyak minyak secara signifikan. Kelompok itu memutuskan untuk tetap dengan kesepakatan menaikkan tingkat produksinya secara bulanan dengan hati-hati. Harga minyak yang lebih tinggi merupakan keuntungan bagi ekonomi Arab Saudi dan Rusia karena Moskwa menghadapi kemungkinan sanksi Barat atas Ukraina. (AP)