Bayar Mahal demi Hindari Ajal
Takut dengan kelompok Taliban, banyak warga Afghanistan berusaha keluar dengan cara apa pun, termasuk lewat jalur penyelundup. Tarifnya sangat mahal, minimal 700 dollar AS atau sekitar Rp 10 juta per orang.
Begitu kelompok Taliban kembali berkuasa di Afghanistan, 15 Agustus 2021, Shafiqa Sae (26) panik dan ketakutan. Sebagai pengacara, ia sudah banyak mengirimkan anggota Taliban ke penjara. Bukan hanya itu, Sae juga seorang perempuan aktivis yang vokal memperjuangkan hak-hak kaumnya dan sering ikut aksi protes melawan Taliban. Ditambah lagi, Sae datang dari komunitas etnis Hazara yang dulu menjadi target sasaran Taliban ketika berkuasa pada 1996-2001.
Begitu Taliban hadir kembali, yang ada di pikiran Sae hanya bagaimana caranya bisa segera keluar dari Afghanistan. Ia tidak tahu bahwa ternyata biayanya sangat mahal.
Baca Juga: Potret Warga Sipil Afganistan Yang Terdesak Serangan Taliban
Sejak Taliban masuk, banyak warga Afghanistan berusaha keluar dari negerinya demi menyelamatkan diri dari Taliban. Segala cara ditempuh, termasuk menggunakan jasa kelompok penyelundup. Padahal, biaya yang dipatok para penyelundup sangat mahal. Biaya itu menjadi semakin mahal akibat permintaan yang tinggi, sementara pintu perbatasan semakin sulit dilewati.
Warga Afghanistan yang berhasil melarikan diri ke Pakistan menceritakan pengalaman mereka soal itu. Mereka mengungkapkan telah dimintai uang suap oleh tentara-tentara Pakistan hingga pemilik rumah sewaan yang menaikkan harga sewa rumah atau kamar dua sampai tiga kali lipat dari harga normal.
”Semua orang menarik keuntungan dari kami,” kata Sae yang kini tinggal sementara di Islamabad, Pakistan.
Ketika Taliban berkuasa, rakyat Afghanistan berbondong-bondong keluar dari negeri mereka. Pada awal-awal dulu, perjalanan mengungsi itu masih lancar dan tidak ada masalah. Namun, kini negara-negara tetangga Afghanistan, seperti Pakistan dan Iran, sudah menutup pintu perbatasan mereka.
Proses pengurusan paspor dan visa juga semakin sulit sehingga banyak yang terpaksa meminta bantuan ke para penyelundup. Berbekal kartu identitas palsu, mereka pun diselundupkan keluar melewati rute-rute yang berat dan berisiko karena harus melewati padang pasir dan pegunungan. Bahkan, ada juga rute yang harus melewati terowongan di bawah pagar perbatasan.
Pusat Migrasi Campuran, yang bermarkas di Geneva, Swiss, memantau biaya yang dipatok kelompok penyelundup. Organisasi itu menyebutkan bahwa biaya keluar dari Afghanistan sebenarnya sudah naik sejak pandemi Covid-19 ketika kebijakan pembatasan diberlakukan. Akan tetapi, harganya kemudian melangit sejak Agustus 2021.
Infus palsu-salam tempel
Sae harus merogoh kocek sampai 5.000 dollar AS atau sekitar Rp 71,700 juta demi membawa ibu dan tujuh saudaranya keluar dari Afghanistan, 25 Agustus 2021. Uang sebesar itu didapat dari temannya yang tinggal di luar negeri. Sebelum keluar dari Kabul, ibu Sae sampai dipasangi infus palsu dan harus berpura-pura sakit supaya tak ada masalah dengan penjaga perbatasan.
Baca Juga: Afghanistan Tuding Biden Mencuri Dana Rakyat Miskin dan Lapar
Ini karena Pakistan masih memperbolehkan warga Afghanistan menyeberang keluar untuk keperluan darurat, seperti berobat. Mereka boleh menyeberang tanpa perlu mengantongi visa.
Sae juga berharap, dengan menggunakan trik infus palsu itu, penjaga perbatasannya akan merasa kasihan. Cara itu berhasil, tetapi tetap dengan salam tempel beberapa lembar uang dollar AS.
Setelah berhasil menyeberang, bukan berarti selesai persoalan. Sae masih harus keluar uang lagi sekitar 300 dollar AS atau sekitar Rp 4,3 juta untuk menyuap para penjaga di 14 pos perbatasan. Sesampainya di Islamabad, Sae harus membayar uang sewa tiga kali lipat lebih mahal dari harga normal. Ia juga masih harus menyuap polisi sampai 700 dollar AS atau sekitar Rp 10 juta. Polisi harus disuap karena sebenarnya menyewakan rumah atau kamar untuk warga Afghanistan tanpa visa itu ilegal.
Kelompok penyelundup kini memasang tarif 140-193 dollar AS atau Rp 2 juta-2,7 juta per orang untuk menyeberang sampai ke Pakistan melalui kota perbatasan Spin Boldak. Sebelumnya, tarifnya sekitar 90 dollar AS atau Rp 1,2 juta. Sementara rata-rata tarif menyeberang ke Iran melalui Zaranj sekitar 360-400 dollar AS (Rp 5,1 juta-5,7 juta), naik dari yang sebelumnya 250 dollar AS (Rp 3,5 juta).
Penetapan tarif juga tidak jelas dan berbeda-beda, tergantung pada jarak tempuh dan tingkat kesulitan rute, tingkat kesejahteraan, dan latar belakang etnis orang yang akan menyeberang. Selain itu, juga dipengaruhi oleh apakah orang itu memiliki kontak di tempat tujuan atau tidak, dan jumlah orang yang akan diberi suap.
Beberapa orang yang diwawancarai Thomson Reuters Foundation mengaku harus membayar sangat mahal. Ada yang sampai 1.000 dollar AS (Rp 14,3 juta) untuk ke Islamabad membawa dua anak.
Abdullah Mohammadi dari Pusat Migrasi Campuran mengatakan, para penyelundup umumnya merupakan bagian dari jaringan kejahatan terorganisasi. Namun, ada juga yang bukan bagian dari jaringan itu, tetapi warga biasa atau bahkan petani yang sedang susah karena krisis ekonomi dan kekeringan. Mereka butuh uang untuk makan.
”Mereka tahu yang mereka lakukan itu sangat salah, tetapi mereka mengaku tidak ada pilihan lain. Jaringan kejahatan menjadi untung karena mereka bisa memanfaatkan orang-orang yang sedang susah seperti ini untuk memperluas jaringan operasinya,” ujar Mohammadi.
Baca Juga: Menyelamatkan Rakyat Afghanistan
Kelompok Taliban juga sebenarnya diuntungkan. Situs BBC menyebutkan, para penyelundup secara terbuka sering terlihat menyeberangkan warga Afghanistan dari Zaranj ke Iran dan membayar anggota-anggota Taliban sekitar 10 dollar AS untuk setiap satu truk penjemput.
Rute berbahaya
Dewan Pengungsi Norwegia menyebutkan pada November lalu bahwa sekitar 5.000 warga Afghanistan lari ke Iran setiap harinya. Banyak di antara mereka itu kemudian dideportasi. Sebagian besar lari lewat Pakistan, tetapi belakangan para penyelundup menggunakan rute yang lebih pendek dan lebih berbahaya karena harus melalui jalan menanjak, bahkan memanjat serta masuk ke terowongan di bawah perbatasan sepanjang perbatasan Iran.
Rute itu sebenarnya tak sepenuhnya aman dan berpeluang besar ditangkap. Rute itu kerap dipilih warga beretnis Hazara. Jika mereka lewat rute-rute biasa, seperti melewati Pakistan, mereka berisiko diserang kelompok-kelompok militan.
Para penyelundup bisa mematok tarif tiga kali lipat lebih mahal terhadap mereka yang beretnis Hazara dibandingkan dengan warga non-Hazara karena tingginya risiko dari Taliban, Jundallah, dan kelompok-kelompok milisi lainnya. Wartawan Ismail Lali (28) yang juga beretnis Hazara mengatakan bahwa para penyelundup menjadi kaya karena krisis ini.
”Orang sudah putus asa untuk pergi dari Afghanistan sehingga tarifnya suka-suka para penyelundup saja. Ini bisa menguntungkan bagi penyelundup dan polisi Pakistan,” kata Lali yang membayar 700 dollar AS untuk menyeberang ke kota Quetta, Pakistan.
Baca Juga: Dunia Bagi-bagi Tampung Pengungsi Afghanistan
Biaya itu termasuk untuk uang suap. Sejak tiba di Quetta, Lali juga sudah memberikan uang suap 200 dollar AS kepada polisi setelah beberapa kali dicegat polisi dan diancam akan dideportasi. Sekarang ia tak berani keluar rumah sama sekali. Kini, tarifnya minimal mencapai 800 dollar AS.
Para pakar migrasi memperkirakan, warga Afghanistan yang kini berada di Pakistan dan Iran kemungkinan akan berpindah ke Turki dan Eropa pada musim semi. Pada Januari lalu, Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mengajukan permohonan anggaran 623 juta dollar AS untuk membantu warga Afghanistan yang berada di negara-negara tetangga dan di masyarakat tempat mereka tinggal sekarang. UNHCR juga meminta negara-negara tetangga Afghanistan untuk tetap membuka pintunya dan menghentikan deportasi.
UNHCR menyebutkan, sampai sejauh ini Iran sudah mendeportasi sekitar 1.100 warga Afghanistan setiap harinya pada Januari lalu. Ada juga yang dideportasi dari Pakistan, termasuk ibu dan ketiga saudara perempuan Sae yang dideportasi pada Desember lalu.
Kelompok Taliban sudah mendatangi keluarga Sae di Kabul dan menanyakan keberadaan Sae. Karena itu, kini Sae jarang sekali meninggalkan apartemennya karena takut dideportasi. ”Bisa saja kelompok Taliban membunuh saya atau anggota Taliban yang sudah bebas akan melakukannya,” kata Sae. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)