Abraham Accord Belum 1,5 Tahun, Sengketa UEA-Israel Muncul ke Permukaan
Israel menuntut pengaturan khusus untuk pengamanan penerbangan maskapai-maskapainya ke Dubai. Otoritas UEA belum memberi jawaban.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
DUBAI, RABU – Belum ada 1,5 tahun setelah ditandatangani, Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accords) antara Uni Emirat Arab dan Israel menghadapi kerikil dan riak-riak pengganggu hubungan. Kedua negara itu terlibat sengketa pengamanan penerbangan maskapai Israel di Dubai, Uni Emirat Arab.
Kedua belah pihak, Rabu (9/2/2022), sepakat memperpanjang tenggat waktu penyelesaian sengketa selama satu bulan ke depan. Jika tak tercapai kesepakatan, Israel memperingatkan, masalah itu berpotensi memicu masalah baru regional.
Kesepakatan Ibrahim ditandatangani oleh Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Israel pada 13 Agustus 2020 di Washington DC, AS. Peristiwa itu menandai normalisasi hubungan diplomatik di antara dua negara Arab Teluk itu dan Israel. Kerja sama sektor penerbangan merupakan salah satu buah kesepakatan mereka.
Selang beberapa pekan setelah penandatanganan, penerbangan perdana maskapai Israel, El Al, mendarat di Bandara Abu Dhabi, UEA, akhir Agustus 2020. Selain El Al, dua maskapai Israel lain juga telah membuka penerbangan langsung Tel Aviv-Dubai, yaitu Israir dan Arkia. Ratusan ribu warga Israel berkunjung ke UEA sejak itu.
Namun, dinas keamanan dalam negeri Israel, Shin Bet, mempersoalkan masalah pengaturan keamanan oleh otoritas penerbangan UEA di Bandara Internasional Dubai. Mereka tidak memerinci secara terbuka masalah pengaturan keamanan yang dimaksud. Namun, mereka memperingatkan potensi krisis ini dapat membesar apabila sengketa tersebut tak kunjung terselesaikan.
Jika tak ada kesepakatan, Shin Bet akan merekomendasikan untuk menghentikan penerbangan tiga maskapai Israel ke wilayah UEA. Saat rekomendasi itu diberlakukan, Israel juga melarang maskapai UEA terbang dan mendarat di Israel.
”Jika El Al tidak bisa terbang ke UEA, perusahaan-perusahaan (maskapai) UEA tidak bisa mendarat di sini,” kata pejabat senior Israel yang tak mau disebut namanya.
Dia juga mengatakan, Menteri Transportasi Israel Merav Michaeli memperpanjang tenggat waktu selama satu bulan agar negosiasi bisa dilanjutkan. Media Israel, mengutip pejabat senior Israel, melaporkan bahwa semula penghentian penerbangan maskapai Israel ke Dubai dimulai, Selasa (8/2).
Beberapa maskapai UEA telah membuka jalur penerbangan langsung ke Tel Aviv. Maskapai Flydubai membuka jalur penerbangan Dubai-Tel Aviv. Sementara Etihad dan Wizz Air membuka jalur penerbangan Abu Dhabi-Tel Aviv. Maskapai lainnya, Emirates, tengah berupaya membuka jalur penerbangan langsung ke Israel.
Otoritas penerbangan UEA sejauh ini belum memberikan komentar mengenai masalah tersebut. Kementerian Luar Negeri UEA juga tak menanggapi permintaan konfirmasi melalui surat elektronik.
Tuntutan Israel
Seperti dilaporkan laman Times of Israel, dalam pernyataan tertulis, Shin Bet mengungkapkan, selama beberapa bulan terakhir terdapat perbedaan dalam pengaturan keamanan penerbangan antara badan-badang berwenang pada Pemerintah UEA dan sistem keamanan penerbangan Israel. Shin Bet tidak memerinci masalah yang dimaksud.
Israel jarang memublikasikan langkah-langkah pengamanan maskapai penerbangannya. Meski demikian, langkah-langkah pengamanan yang mereka minta mencakup pengamanan khusus bagi maskapai penerbangan Israel. Hal itu, antara lain, mencakup pengalokasian area khusus di bandara, penyediaan terminal terpisah bagi penumpang asal Israel, penyediaan area khusus parkir pesawat di bawah penjagaan otoritas keamanan Israel, hingga kehadiran petugas keamanan bersenjata asal Israel di dalam penerbangan maskapai Israel.
Shin Bet mengatakan, apabila Bandara Dubai tidak bisa digunakan sebagai tempat mendarat pesawat-pesawat asal Israel, Bandara Abu Dhabi bisa menjadi alternatif. Namun, opsi itu dikesampingkan. ”Abu Dhabi mungkin bisa menjadi pilihan dari segi keamanan, tetapi itu bukan opsi untuk segi ekonomi,” kata pejabat itu.
Menurut kantor berita UEA, WAM, Kepala Kepolisian Abu Dhabi Faris Khalaf Al Mazrouei, Rabu (9/2), bertemu dengan Komisi Kepolisian Israel Yaakov Shabtai di markas Kepolisian Abu Dhabi. Dalam pertemuan itu, mereka membahas mengenai masalah kerja sama keamanan, tetapi tak dijelaskan apakah isu keamanan penerbangan itu termasuk masalah yang dibahas atau tidak.
Insiden di Abu Dhabi
Sementara itu, insiden kebakaran melanda sebuah gedung di ibu kota Abu Dhabi, Rabu dini hari. Kedutaan Besar AS di UEA mengeluarkan peringatan soal kemungkinan kebakaran karena serangan pesawat nirawak atau roket. Tidak ada perincian mengenai hal itu.
Otoritas keamanan Abu Dhabi, yang dikutip laman Al Arabiya, mengatakan, kebakaran disebabkan ledakan tabung gas di dalam gedung tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir, UEA telah menjadi target serangan pesawat tak berawak dan rudal oleh milisi Houthi dukungan Iran. Pertengahan Januari lalu, serangan lima rudal dan pesawat nirawak milik Houthi menewaskan tiga orang serta melukai beberapa pekerja di kompleks penyimpanan minyak Kawasan Industri Musaffah, Abu Dhabi. Kelompok Houthi mengklaim sebagai pelaku serangan tersebut.
Soal insiden Rabu dini hari itu belum ada klaim dari Houthi. Beberapa hari sebelumnya, UEA menerima kunjungan Jenderal Frank McKenzie, Kepala Komando Tengah Pasukan AS di Timur Tengah.
Dalam kunjungan itu, McKenzie bertemu para pejabat militer UEA. Ia menyatakan akan membantu pertahanan UEA.
"Saya pikir ini waktu yang sangat mengkhawatirkan bagi UEA. Mereka mencari dukungan. Kami di sini untuk membantu mereka memberikan dukungan itu," kata McKenzie.
Untuk membantu UEA, Pentagon mengerahkan jet tempur F-22 dan kapal perang USS Cole. McKenzie mengatakan, F-22 akan memberi UEA salah satu radar pengintai terbaik di dunia, yang mampu mengidentifikasi target, termasuk rudal jelajah serangan darat dan pesawat nirawak. USS Cole akan beroperasi di perairan UEA.
Selain AS, Perancis juga berjanji membantu militer UEA untuk menangkal serangan kelompok Houthi dengan mengerahkan pesawat tempur Rafale mereka di wilayah ini. (AFP/REUTERS)