AS-Jepang Sepakati Pencabutan Tarif Impor Baja Guna Redam China
Dengan mencabut tarif impor baja dari Jepang, Amerika Serikat berharap mampu bersaing melawan China di perdagangan global. China hingga kini masih menyumbang sebagian besar produksi baja global.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Pemerintah Amerika Serikat, Senin (7/2/2022), menyatakan, pihaknya mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Jepang untuk mencabut tarif impor baja sebesar 25 persen yang dikenakan Washington di masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Kesepakatan terbaru itu diharapkan dapat memperkuat Washington dalam bersaing melawan China di dunia perdagangan global.
”Kesepakatan yang kami capai akan memperkuat industri baja Amerika dan memastikan tenaga kerja kami tetap kompetitif sekaligus juga menyediakan lebih banyak akses ke baja yang lebih murah dan mengatasi masalah utama antara Amerika Serikat dan Jepang, salah satu sekutu terpenting kami,” kata Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo dalam sebuah pernyataan.
Kesepakatan AS-Jepang akan mengecualikan 1,25 juta metrik ton baja yang telah dikirimkan di antara kedua pihak. Jumlah baja itu sama dengan rata-rata jumlah baja yang diimpor Amerika dari Jepang pada 2018 dan 2019. Kesepakatan terbaru itu juga secara efektif meniadakan tarif sementara dan memungkinkan pajak untuk dikenakan pada setiap impor yang melebihi jumlah itu.
Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai, mengatakan, perjanjian dengan Jepang akan menempatkan mereka di tempat yang lebih baik untuk bersaing dengan China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Kepercayaan diri Washington itu bertambah dengan kesepakatan serupa yang telah dicapai AS-Uni Eropa secara terpisah pada tahun lalu.
Washington di bawah kendali Presiden Joe Biden secara blak-blakan memusatkan kebijakannya pada persaingan melawan China. Merujuk pada Asosiasi Baja Dunia yang berbasis di Belgia, China masih menyumbang sebagian besar produksi baja global.
Pada Maret 2018, Trump mengumumkan pengenaan tarif impor baja sebesar 25 persen dengan alasan keamanan nasional. Namun, kebijakan itu pada awalnya menghantam banyak sekutu AS. Trump menggunakan Bagian 232 dari Undang-Undang Perluasan Perdagangan Tahun 1964, yang memungkinkan pengenaan tarif barang yang diimpor dalam jumlah besar guna menjamin keamanan nasional. Risikonya, perusahaan memberikan harga yang lebih tinggi ke bisnis dan konsumen. Itu berarti bahwa pajak pada akhirnya dibayar secara tidak langsung oleh warga AS.
Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan sekutu AS lainnya mengatakan bahwa mereka tidak mau tunduk pada tarif logam yang dikenakan pada 2018 itu. Industri baja Jepang sangat bergantung pada produksi pembakaran sembur berbahan bakar batubara. Adapun lebih dari 70 persen baja AS dibuat dengan pembakaran lewat busur listrik yang menghasilkan lebih sedikit karbon.
Sumber dari kalangan Pemerintah AS menyebutkan perjanjian AS-Jepang soal baja terbaru itu sangat berbeda dibandingkan dengan kesepakatan AS-Uni Eropa (UE) yang diumumkan tahun lalu. AS dan UE sepakat menghapus tarif terhadap impor lebih dari 4 juta ton baja setiap tahun dan membuat aluminium Jepang dikenakan tarif 10 persen oleh AS. Jepang sendiri dilaporkan tidak akan berpartisipasi dalam pembicaraan AS-UE tentang kesepakatan global untuk mencegah perdagangan baja yang dibuat dengan emisi karbon tinggi.
Sementara itu, dari London dilaporkan, Pemerintah Inggris dan Korea Selatan (Korsel) pada Senin menandatangani perjanjian untuk memperkuat jalur pasokan yang terganggu akibat pandemi Covid-19. Kesepakatan itu ditandatangani Menteri Perdagangan Internasional Inggris Anne-Marie Trevelyan dengan mitranya dari Korsel, Yeo Han-koo. Kedua pejabat juga membahas peningkatan perdagangan dan kolaborasi di bidang-bidang utama seperti digital, lingkungan, dan dukungan terhadap usaha kecil.
”Sebagai sepuluh besar kekuatan ekonomi dan industri, Korsel menawarkan pada Inggris peluang ekspor dan investasi yang fantastis. Negara ini juga merupakan bagian dari keinginan strategis Inggris untuk berdagang lebih banyak dengan kawasan Indo-Pasifik,” kata Trevelyan.
Perdagangan antara Inggris dan Korsel mencapai 13,3 miliar poundsterling pada periode Januari-September 2021, naik sekitar 11 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020. Ekspor Inggris ke Korsel meningkat sebesar 12 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Departemen Perdagangan Internasional Inggris mendukung berbagai perusahaan Inggris, seperti Ceres Power dan Oxford Instruments, untuk mengamankan ekspornya ke Korsel. Eksportir barang juga mendapat untung dari pasar yang berkembang di Korsel untuk produk buatan Inggris berkualitas tinggi. Produsen sejumlah produk Inggris, seperti Whittards, Denby Pottery, dan Brompton Bikes, hingga barang-barang teknis lainnya, seperti peralatan medis dan jaket pelampung Survitec, telah masuk ke Korsel.
Sebaliknya, Inggris telah menjadi tujuan utama bagi investasi hijau Korsel. Departemen Perdagangan Internasional Inggris baru-baru ini menandatangani perjanjian dengan Korporasi Investasi Korea tentang peningkatan investasi Korsel ke dalam proyek-proyek hijau dan berkelanjutan di Inggris.
Perusahaan Korea Selatan, SeAH, misalnya, telah menginvestasikan 260 juta poundsterling untuk meningkatkan kapasitas listrik tenaga angin lepas pantai di timur laut Inggris. Investasi itu diproyeksikan menciptakan ratusan pekerjaan baru dan membantu Inggris membangun kembali dengan sumber energi yang ramah lingkungan. (AFP/REUTERS)