Dengan haluan Islam moderat, Muhammadiyah sudah menjadi bagian dari diplomasi dan kekuatan lunak Indonesia di panggung dunia. Memasuki usia abad ke-2, organisasi itu lebih banyak berkiprah di level global.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
KOMPAS/MUSTAFA A. RAHMAN
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kelima dari kiri), Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti (kedua dari kanan), dan Dubes RI untuk Mesir Helmy Fauzi (keempat dari kiri) berfoto seusai peresmian Markas Dakwah Muhammadiyah Mesir di Kairo, 5 April 2018.
Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dikenal sebagai salah satu poros global berhaluan Islam moderat (wasathiyah). Slogannya, Islam yang rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi semesta), tampak sudah diadopsi menjadi bagian diplomasi Indonesia. Muhammadiyah, salah satu ormas keagamaan terbesar di negeri ini, memegang peran sangat penting dalam diplomasi itu. Keberadaannya seolah menjadi kekuatan lunak (soft power) Indonesia.
Dalam usianya lebih dari seabad, peran Muhammadiyah di tingkat global pun merupakan keniscayaan. Di kalangan internal Muhammadiyah, tekad untuk lebih mengglobal itu disebut sebagai gerakan internasionalisasi Muhammadiyah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan, tekad itu mulai mengkristal pada ”Muktamar Satu Abad” di Yogyakarta tahun 2010 sebagai landasan perjalanan menuju abad ke-2 Muhammadiyah.
”Bagaimana Muhammadiyah bisa berperan lebih besar tidak hanya pada level nasional, tetapi juga pada level internasional,” kata Mu’ti dalam wawancara khusus secara daring dengan Kompas, Senin (7/2/2022).
Tekad internasionalisasi Muhammadiyah itu terus menggelinding. Dalam muktamar ke-48 di Solo, 18-20 November 2022, gagasan tersebut akan terus dikumandangkan, salah satunya kemungkinan mengenai wacana keanggotaan organisasi bagi warga asing. Bahkan, saat ini, ujar Mu’ti, ada warga asing non-Muslim yang menjadi anggota Muhammadiyah di luar negeri.
Bagi organisasi yang dulu dikenal puritan, orientasi keanggotaan lintas negara dan lintas agama seperti itu tentu bakal menjadi perubahan cukup radikal di Muhammadiyah. ”Tema muktamar di Solo nanti (adalah) ’Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta’. Tema itu menggambarkan bagaimana Muhammadiyah akan berusaha untuk hadir secara lebih luas lagi tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga di mancanegara,” jelas Mu’ti.
KOMPAS
-
Soal kapasitas dan potensi, tidak ada keraguan. Mu’ti memaparkan, telah terbentuk realitas baru wajah global Muhammadiyah, terutama sejak tahun 2000-an. Di banyak negara, berdiri pimpinan cabang istimewa Muhammadiyah (PCIM). Para mahasiswa dari keluarga dan kader Muhammadiyah yang kuliah di luar negeri berperan penting dalam melebarkan sayap organisasi itu di mancanegara.
Keanggotaan di PCIM-PCIM tersebut berkembang meluas hingga warga yang berstatus pemukim tetap (permanent resident), warga negara setempat, termasuk warga non-Muslim. Beberapa PCIM itu bahkan telah menjadi badan hukum di negara setempat. Mu’ti menyebut PCIM Amerika Serikat (dengan nama USA Muhammadiyah Incorporated), Australia, Jepang, Taiwan, dan Thailand telah berstatus badan hukum di negara setempat.
Cerdaskan antarbangsa
PCIM Australia telah mendirikan sekolah di Melton, Negara Bagian Victoria, Muhammadiyah Australia College (MAC). Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut MAC sebagai salah satu rangkaian internasionalisasi Muhammadiyah yang memasuki babak baru. Pendirian lembaga pendidikan di luar negeri itu, kata Haedar, saat peluncurannya dalam pidato refleksi akhir tahun 2021, bagian dari program jangka panjang ”menghadirkan Islam yang rahmatan lil ’alamin” dengan mencerdaskan kehidupan antarbangsa.
Faktor lain yang juga menjadi fondasi internasionalisasi Muhammadiyah adalah pengalaman Muhammadiyah bekerja dan berinteraksi dengan lembaga-lembaga internasional. Proses ini sudah berlangsung lama. Namun, menurut Mu’ti, proses itu mengalami akselerasi dan ekstensifikasi setelah bencana tsunami Aceh tahun 2004. Beberapa perwakilan negara dan lembaga asing, antara lain Asia Foundation, US Aid, AUS Aid, dan Japan Foundation, menjadikan Muhammadiyah sebagai mitra dalam berbagai program bantuan kemanusiaan, pemberdayaan perempuan, demokratisasi, dan sebagainya.
”Tsunami dan berbagai peristiwa bencana yang terjadi pascatsunami itu memang menjadi tonggak penting bagaimana Muhammadiyah bekerja secara lebih luas dengan berbagai lembaga internasional,” tutur Mu’ti. ”Muhammadiyah tanpa disadari telah menjadi bagian dari jaringan internasional.”
Pada 2011, Muhammadiyah terdaftar sebagai anggota tetap konsultasi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB (Ecosoc). Ini salah satu dari enam badan utama, termasuk Dewan Keamanan, di PBB yang bertanggung jawab mengoordinasikan bidang ekonomi dan sosial organisasi antarnegara tersebut.
Di beberapa kawasan konflik, Muhammadiyah terlibat dalam perundingan damai. Mu’ti menyebut, misalnya, konflik di Filipina selatan, Thailand selatan, krisis Rohingya di Rakhine (Myanmar), dan Cox’s Bazar (Bangladesh), serta krisis pengungsi Palestina di Lebanon. Pada perundingan damai di Mindanao, Filipina selatan, Muhammadiyah menjadi bagian dari International Contact Group (ICG) sejak 2009.
ICG merupakan tim pendamping perundingan beranggotakan unsur pemerintah, seperti Arab Saudi, Jepang, Turki, Inggris, dan lembaga-lembaga internasional, yakni Muhammadiyah, Community of Sant’ Egidio (Italia), Conciliation Resource UK/CPCS (Kamboja), Center for Humanitarian Dialog/Henry Dunant Center (Swiss), dan The Asia Foundation. Pada 27 Maret 2014, Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) menandatangani kesepakatan damai di Istana Kepresidenan Manila.
Bergerak di jalur kemanusiaan dan bina damai, Muhammadiyah memberikan beasiswa bagi remaja di wilayah-wilayah konflik itu untuk kuliah di perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah di Tanah Air. Dalam krisis Rohingya, tergabung dalam Aliansi Indonesia with Myanmar, Muhammadiyah mendirikan dua sekolah di Cox’s Bazar, kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, dan mengirimkan sukarelawan dokter yang bekerja selama satu tahun di sana. Adapun terkait krisis Palestina, Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah membeli dua rumah di Beirut, Lebanon, untuk menampung pengungsi Palestina di negara itu.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (kiri) didampingi Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meninggalkan ruang pertemuan di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (12/2/2020). Mereka mengadakan pertemuan tertutup membahas sejumlah isu, termasuk konsistensi Indonesia mendukung perjuangan Palestina.
Internasionalisasi Muhammadiyah bergulir melalui penyebaran Tapak Suci, organisasi pencak silat di bawah persyarikatan itu, ke sejumlah negara. Mu’ti menyebut bahwa di sejumlah negara, seperti Mesir, Inggris, Jerman, dan Belanda, Tapak Suci cukup populer.
Islam yang ramah
Internasionalisasi Muhammadiyah juga diperkuat dengan penyemaian gagasan tentang Muhammadiyah oleh para Indonesianis. Beberapa akademisi asing, seperti Mitsuo Nakamura, James L Peacock, Robert Hefner, Mark R Woodward, dan Hyung Jun Kim, yang selama ini intens mengamati isu-isu terkait Muhammadiyah, disebut Mu’ti, seolah menjadi ”jubir” persyarikatan di luar negeri.
”Mereka menganggap internasionalisasi gagasan Muhammadiyah diperlukan untuk memberikan wacana di ranah global, (bahwa) Islam itu tidak hanya Timur Tengah, tetapi ada Islam yang lebih terbuka, yang pada tahun 1980-an atau 1990-an oleh majalah Time disebut the smiling Islam (Islam yang penuh senyuman),” ujar Mu’ti.
Dalam salah satu catatan kolomnya di harian Kompas, profesor sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menulis, Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama serta ormas Islam lain di seluruh Tanah Air menjadi tulang punggung moderasi Islam. Melalui jalan tengah Islam atau Islam jalan tengah, peran mereka sangat penting menghadapi ancaman ekstremisme Islam transnasional dari Timur Tengah dan Asia Selatan (Kompas, 19 November 2020).
Mengenai peran internasionalisasi Muhammadiyah, termasuk melalui pendirian lembaga pendidikan antarnegara, Haedar menyebutnya sebagai ”kado Muhammadiyah” untuk dunia. ”Mungkin kelihatannya kecil sekarang ini. Namun, insya Allah ini akan punya daya sentrifugal yang meluas pada masa-masa yang akan datang, baik oleh Muhammadiyah (atau) mungkin oleh organisasi yang lain,” katanya.