Mimpi Modi tentang "Kashmir Baru" dan Ladang Baru Gerakan Militan
Visi "Kashmir Baru", yang dikampanyekan India lebih dari dua tahun lalu, bagi warga di wilayah itu bagaikan mimpi yang justru merusak wilayah Kashmir.
Pasukan New Delhi menggencarkan operasi keamanan di wilayah Kashmir yang dikontrol India. Dalam perkembangan terbaru, lima terduga pemberontak dibunuh pada akhir Januari 2022. Di antara korban, menurut laporan kantor berita Reuters, terdapat seorang komandan senior kelompok bersenjata Jaish-e-Muhammad (JeM), Zahid Wani, dan seorang warga Pakistan, Kafeel.
Selama lebih dari dua tahun terakhir, yakni sejak Perdana Menteri India Narendra Modi mencabut status khusus (status semiotonomi) Kashmir pada Agustus 2019, situasi di Kashmir bukannya semakin tenang, tetapi terus mengalami kemunduran. Kekacauan, kekerasan, dan pengangguran meningkat. Ekonomi wilayah yang tertatih-tatih telah diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Lonjakan kekerasan di Kashmir antara Oktober 2021 hingga Januari 2022 telah menewaskan puluhan orang. Di antara para korban, terdapat para korban serangan berantai oleh kelompok terduga pemberontak terhadap warga sipil serta para korban akibat tindakan keras yang meluas oleh pasukan India. Sedikitnya 189 anggota militan tewas tahun lalu di wilayah yang kini dijaga ketat oleh aparat militer India itu.
Baca juga : Kematian Dua Tokoh Separatis Memicu Pemogokan di Kashmir
Ketika Negara Bagian Jammu & Kashmir bergabung dengan India di awal kemerdekaan pada Oktober 1947, warga di sana tidak punya banyak pilihan. Pasukan suku yang didukung Pakistan saat itu menyerbu mereka, tetapi hanya pasukan India yang bisa mengalahkannya. Pilihan mereka pun ialah bergabung dengan India, walau Pakistan tetap berusaha merebutnya dari India.
Kashmir kemudian diberikan status khusus dengan konstitusi dan bendera yang terpisah dari India. Warga luar dilarang membeli properti di Kashmir. Namun, selama beberapa dekade terakhir, pemberontak Kashmir bangkit menuntut kemerdekaan atau bergabung dengan Pakistan.
New Delhi melihat ada bahaya bahwa pemberontakan dan tuntutan bisa mengancam keutuhan India. Pemerintah India secara radikal merombak hubungan dengan Kashmir. New Delhi mencabut status otonomi khusus Kashmir melalui instruksi presiden, 5 Agustus 2019.
Sebelum dicabut, selama sekitar 70 tahun status itu memberi jaminan hukum dan perlindungan bagi warga Kashmir. Wilayah itu kini tidak lagi menjadi negara bagian, tetapi menjadi “wilayah persatuan” yang diperintah langsung New Delhi.
Ketentuan utama yang dihapus oleh New Delhi ialah Pasal 370 Konstitusi India, yang memberikan otonomi penuh untuk mengendalikan sebagian besar urusan wilayah, kecuali bidang pertahanan, telekomunikasi, dan hubungan luar negeri. Ketentuan lain yang diubah ialah Pasal 35A yang memberi penduduk asli hak untuk memiliki properti, dan mempersulit warga luar Kashmir untuk memiliki properti di Kashmir.
Modi, ketika menghapus status otonomi khusus Kashmir, menguraikan bahwa visi "Kashmir baru" yang damai dan makmur, yang lebih erat bersatu dengan India. Dia menjanjikan, investasi akan mengalir ke kawasan itu, lapangan kerja baru akan tercipta. Dengan demikian, generasi muda yang sebelumnya memilih bergabung dengan kelompok militan akan keluar dari kelompoknya dan mendapatkan pekerjaan.
Modi mengklaim, tindakan berani New Delhi ini akan mengakhiri dekade pemerintahan India yang tidak efektif di Kashmir. Penghapusan status khusus mengintegrasikan Kashmir ke dalam India.
Kekerasan meningkat
Namun, seperti diulas jurnalis dan Pemimpin Redaksi harian independen The Kashmir Walla, Fahad Shah, dalam jurnal Foreign Affairs, lebih dari dua tahun sejak 15 Agustus 2019 mimpi akan “Kashmir baru” tampak seperti khayalan belaka. Permusuhan di Kashmir terhadap India justru bertumbuh. Ini buah dari kebijakan Modi dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
Lihat foto-foto : Konflik Kashmir Kembali Telan Korban
Aktivitas gerilyawan dilaporkan terus meningkat karena mereka telah mendapatkan tenaga rekrutan baru, yang kebanyakan adalah anak muda. Mereka telah melancarkan lebih banyak serangan pada tahun 2021. Ekonomi kawasan itu juga tertatih-tatih, berjalan seret. Gambaran situasi dan kondisi di Kashmir saat ini adalah kebalikan dari visi “Kashmir baru” yang dijual Modi kepada dunia.
Jika pada Juli 2019, sebulan sebelum status otonomi Kashmir dicabut, tingkat pengangguran di Kashmir adalah 16,3 persen. Saat ini tingkat pengangguran di wilayah itu telah mencapai 21,4 persen. Angka itu tertinggi di antara semua negara bagian dan teritori federal di India serta jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 7,4 persen.
Pemerintahan langsung New Delhi atas Kashmir telah menimbulkan banyak pertentangan karena salah urus oleh pemerintah federal dan ketidakpuasan masyarakat di wilayah itu. Birokrat dan pejabat senior dari luar Kashmir menjalankan urusan sehari-hari di wilayah itu. Banyak posisi strategis di lembaga pemerintahan dan penegakan hukum tidak diisi penduduk setempat.
New Delhi telah membela atau membenarkan atas tindakannya menghapus otonomi khusus Kashmir. Pemerintah India mengklaim bahwa langkah itu akan menarik investasi dan membuka lapangan kerja baru bagi warga lokal. Juga diklaim bahwa kebijakan tersebut dapat mendorong perusahaan India memasuki ke Kashmir dengan lebih mudah. Namun, semuanya itu belum terwujud. Tokoh-tokoh Kashmir juga kemudian menuntut status semiotonomi dikembalikan.
Pembatasan kegiatan masyarakat dan pemutusan saluran komunikasi pada awal 2020 selama lima bulan setelah penghapusan status khusus Kashmir melumpuhkan Kashmir dan menyebabkan ekonomi wilayah itu ambruk. Kondisi ini diperparah lagi oleh muncul pandemi Covid-19 dan penguncian yang ketat untuk meredam laju Covid-19.
Antara Agustus 2019 dan Juli 2020, kawasan itu menderita kerugian ekonomi sebesar 5,3 miliar dollar AS. Pemerintah Modi berusaha menarik lebih banyak orang India untuk pindah ke Kashmir, tetapi upaya itu sejauh ini terbukti sia-sia.
Tuduhan ubah demografi
Berbagai undang-undang (UU) yang disahkan sejak Kashmir menjadi wilayah federal tampaknya mengancam karakter mayoritas Muslim di wilayah tersebut. Setelah pemerintah menghapus Pasal 35A Konstitusi India, pemerintah mengeluarkan UU baru kependudukan.
Baca juga : Terkait Wilayah Kashmir, Pakistan Kecam India sebagai Penjajah
UU baru itu membolehkan siapa saja yang telah tinggal di Kashmir selama 15 tahun menjadi penduduk tetap. Sebelumnya, selama tujuh dekade, ketentuan hukum yang menjamin otonomi Kashmir mencegah warga luar Kashmir untuk menetap dan membeli properti di wilayah tersebut.
New Delhi telah menerapkan lebih dari 890 UU federal ke wilayah Kashmir. Salah satunya adalah UU agraria. yang menyebutkan bahwa pihak berwenang dapat mengambil alih lahan di mana saja di Kashmir untuk industri, kepentingan publik atau untuk digunakan angkatan bersenjata.
Pemerintah India memicu kekhawatiran lain setelah para pejabat mendorong minoritas Hindu Kashmir untuk menuntut ganti rugi atas properti yang hilang selama pergolakan pada akhir 1980-an dan 1990-an. Mereka juga membujuk warga luar Kashmir untuk pindah ke Kashmir, dan mulai pengalihan kawasan hutan untuk angkatan bersenjata.
Langkah-langkah tersebut telah memicu ketakutan di kalangan warga Kashmir bahwa pemerintah India bertekad untuk mengubah demografi daerah. Kelompok-kelompok militan memperingatkan peningkatan serangan jika orang luar mulai tinggal di Kashmir. Dalam beberapa bulan terakhir, mereka mulai memenuhi janji mengerikan itu.
Perlawanan baru
Pencabutan otonomi Kashmir justru melahirkan perlawanan yang lebih ditingkatkan oleh kelompok masyarakat dan milisi, bahkan memicu lahirnya kelompok perlawanan baru dan gelombang kekerasan baru.
Menurut South Asia Terrorism Portal, situs web pemantau keamanan yang dikelola oleh Institute of Conflict Management yang berbasis di York, Inggris, ada 937 insiden militansi sejak 2019. Terjadi peningkatan serangan granat dan baku tembak yang stabil. Antara 2019 dan 2020, jumlah orang yang direkrut oleh kelompok militan meningkat menjadi 22 persen.
Pada Oktober 2019, kelompok baru bernama The Resistance Front (TRF) mengumumkan kehadirannya dengan serangan granat di Srinagar, ibu kota Kashmir. TRF sejak itu terus mengeluarkan ancaman dan serangan. Mereka bersikeras bahwa “setiap orang India yang datang dengan niat untuk menetap di Kashmir akan diperlakukan bukan sebagai warga sipil dan akan ditangani dengan tepat.”
Baca juga : Saat Kebutuhan Ekonomi Lebih Mendesak dari Sengketa Wilayah
Pada November-Desember 2021, kelompok militan telah membunuh delapan warga dari luar Kashmir. Banyak pengamat yakin, saat ini kelompok pemberontak di Kashmir telah terinspirasi oleh Taliban Afghanistan. Seorang pejabat keamanan mengatakan, kemenangan Taliban akan berdampak pada Kashmir dalam jangka panjang dengan memicu militansi lebih lanjut.
Sementara pasukan pemerintah India terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan yang menargetkan warga sipil. Kebijakan keras pemerintah Modi dalam menangani kerusuhan yang meningkat hanya memperburuk situasi. Pemberontakan sipil di Kashmir kemungkinan akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Pemerintah India terlalu sering mengandalkan kekerasan untuk memadamkan keresahan di Kashmir. Pendekatan tangan besinya terhadap pemberontakan pada 1990-an mendorong pemberontakan berikutnya yang lebih brutal. Penindasan dalam dekade berikutnya menyebabkan pemberontakan sipil besar pada 2008, 2010, dan kemudian 2016.
Hanya pendekatan yang memprioritaskan kerja sama dan pemberdayaan warga Kashmir yang akan membawa perdamaian, tetapi pemerintah Modi dinilai tidak banyak menawarkan hal itu kepada Kashmir kecuali menuntut loyalitas. Dalam pandangan Modi, memoderasi Kashmir akan merusak posisinya di seluruh negeri. Selama kalkulasi politik itu tetap ada, perjuangan Kashmir pun bakal tetap ada.
Modi dan partai politiknya telah lama ingin mengintegrasikan Kashmir lebih kuat ke India. Namun, sejak Modi berkuasa pada 2014, India sendiri telah berubah dalam cara menghadapi kaum minoritas dan pluralisme. Di bawah Modi, India menjadi kurang ramah terhadap perbedaan agama, kurang berkomitmen pada cita-cita pendirian pluralisme dan sekularisme, dan semakin tidak toleran terhadap minoritas.
Baca juga : India Diusulkan Masuk ”Daftar Hitam” Negara Tidak Toleran dan Praktik Demokrasi India Dinilai Merosot, Persekusi terhadap Minoritas Berulang
Perdamaian dan stabilitas yang dijanjikan Modi bagi Kashmir masih merupakan impian yang belum terwujud, jika tidak dikatakan khayalan yang belum menjadi kenyataan. Pada tahun-tahun mendatang mungkin dunia akan melihat warga Kashmir tumbuh semakin terasing dari India.
Hubungan India dengan tetangganya dan musuhnya, Pakistan—pihak lain dalam konflik Kashmir—telah menjadi lebih tegang dalam dua tahun terakhir. Dalam konteks ini, tanpa adanya keterlibatan yang berarti dan damai antara warga Kashmir dan pemerintah India, hanya akan ada lebih banyak kekerasan. (AFP/AP/REUTERS)