Junta Myanmar Terima Yurisdiksi Mahkamah Internasional
Junta militer Myanmar tidak diduga-duga menerima niat Mahkamah Internasional melakukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
NAYPYITAW, RABU — Junta militer Myanmar mengakui kewenangan Mahkamah Internasional untuk melakukan penyelidikan atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis Rohingya. Tindakan junta ini cukup mengagetkan masyarakat global mengingat mereka merupakan aktor utama dalam aksi genosida dan pengusiran warga Rohingya.
Hal tersebut diumumkan oleh Mahkamah Internasional pada Selasa, (1/2/2022) di markasnya di Den Haag, Belanda. Mahkamah berkomunikasi dengan perwakilan Myanmar di Brussels, Belgia, yang merupakan orang-orang militer Myanmar atau Tatmadaw.
Pemerintah Myanmar yang dikudeta oleh Tatmadaw, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), maupun pemerintahan bayangan saat ini, Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG), sebelumnya menolak tuduhan pelanggaran HAM yang diutarakan oleh Gambia, sebuah negara di Benua Afrika.
Pemimpin terpilih Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 2018 menentang gugatan dari Gambia yang mengatakan bahwa Myanmar telah berlaku diskriminatif, bahkan sengaja melakukan penghapusan etnis terhadap warga Rohingnya. Tercatat per tahun 2017 ada 730.000 orang etnis Rohingya yang meninggalkan Negara Bagian Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh.
Suu Kyi pada tahun 2018 juga datang ke Den Haag untuk menghadiri sidang Mahkamah Internasional. Di sana, ia justru membela tindakan Tatmadaw melakukan pembersihan etnis. Akibatnya, Suu Kyi kehilangan simpati global dan almamaternya, Universitas Oxford, mencopot penghargaan kemanusiaan yang pernah mereka anugerahkan kepadanya.
Pengusiran etnis Rohingya telah terjadi beberapa kali di Myanmar. Beberapa operasi besar, antara lain Operasi Nagamin tahun 1978 ketika Tatmadaw mengusir 250.000 warga Rohingya ke Bangladesh. Kemudian juga ada operasi yang dilakukan oleh militer Rakhine pada tahun 1991-1992 untuk mengusir sisa-sisa warga Rohingya yang tertinggal. Tercatat, ada 70.000 orang Rakhine yang hilang dalam dua operasi tersebut. Saat ini, setidaknya ada 1 juta orang Rakhine yang mengungsi di Cox Bazaar, Bangladesh.
Terkait dengan keputusan Tatmadaw menerima yurisdiksi Mahkamah Internasional, NUG mengeluarkan pernyataan resmi yang mengutarakan keberatan mereka. ”Mahkamah Internasional melakukan kesalahan dengan mengakui Tatmadaw sebagai pemerintah di Myanmar, padahal mereka tidak dipilih oleh rakyat. Pengakuan semacam ini berisiko membuat Tatmadaw semakin percaya diri melakukan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat,” demikian kutipan pernyataan itu.
NUG meminta agar Mahkamah Internasional mengalihkan komunikasi kepada Kyaw Moe Tun. Ia adalah perwakilan permanen Myanmar di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dipilih oleh pemerintahaan di bawah Suu Kyi. Baik Tatmadaw maupun NUG tidak memberi komentar mengenai isu Rohingya.
Isu Rohingya merupakan isu yang sensitif bagi Myanmar, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Pemerintah Bangladesh sudah berkali-kali mengajukan keberatan kepada PBB mengenai beban pengungsi yang harus mereka tanggung selama hampir enam tahun.
Para pengungsi tinggal di kemah-kemah seadanya di Cox Bazaar ataupun daerah perbatasan Bangladesh dengan Myanmar. Banyak konflik yang terjadi antara pengungsi Rohingya dan penduduk lokal Bangladesh yang mengaku tidak tahan dengan jumlah pengungsi. Para pengungsi juga rentan menjadi mangsa sindikat perdagangan manusia yang menambah pelik keadaan.
Pada Oktober 2021, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan bahwa keberadaan kemah pengungsi semata-mata menjadi lahan mencari uang bagi berbagai lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi kemanusiaan. ”Jika kemah ditutup dan para pengungsi direpatriasi ke Rakhine, para petugas LSM ini akan kehilangan pekerjaan. PBB dan lembaga-lembaga internasional tidak memberi jalan keluar selain memastikan pengungsi bisa hidup layak di kemah. Bantuan kemanusiaan bagaimanapun juga bukan solusi permanen bagi semua pihak,” ujarnya seperti dikutip oleh BD News 24.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Binus, Dinna Prapto Rahardjo menjelaskan bahwa Tatmadaw memang merupakan wadah untuk mengekalkan kekuasaan melalui teror dan kekerasan. Akan tetapi, NLD dan NUG sekalipun belum memiliki konsep kenegaraan yang egaliter, majemuk, dan tanpa diskriminasi. Ini yang membuat baik Tatmadaw ataupun pihak yang semestinya demokratis sama-sama tidak perhatian terhadap kelompok etnis Rohingya.
”Myanmar secara internal memiliki masalah serius soal nasib manusia yang hidup di wilayah mereka,” tutur Dinna.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang semestinya bisa memberi jalan keluar dan panduan juga tidak berdaya karena masih banyak anggotanya yang menganggap masalah Myanmar itu urusan internal, bukan urusan kawasan. Indonesia yang terus mendorong penyelesaian isu tersebut justru dikucilkan. (Reuters)