Kejahatan terhadap Warga Asia di San Francisco Meningkat
Rasialisme adalah penyakit. Penting bagi sebuah wilayah untuk mengakui keberadaan masalah ini dan mengambil tindakan tegas mengatasinya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SAN FRANCISCO, RABU – Kejahatan berbasis rasialisme terhadap komunitas Asia dan Pasifik di kota San Francisco, Amerika Serikat, meningkat sepanjang periode 2020-2021. Pandemi Covid-19 serta ujaran kebencian yang diutarakan oleh mantan Presiden AS Donald Trump diduga menjadi alasan warga yang frustasi melimpahkan kemarahan mereka kepada komunitas tersebut.
Fakta itu diungkapkan dalam laporan tahunan Kepolisian San Francisco yang diterbitkan pada hari Rabu (26/1/2022) atau Selasa (25/1/2022) waktu setempat. Pada tahun 2020, tercatat ada sembilan kasus kejahatan berbasis rasialisme terhadap warga Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI). Pada tahun 2021, jumlahnya menjadi 60 kasus atau naik 56 persen.
Diskriminasi terhadap komunitas AAPI meningkat setelah pandemi Covid-19. Di tahun 2019, ketika penyakit ini masih disebut dengan istilah “pneumonia Wuhan”, mulai muncul kasus sporadis penyerangan terhadap etnis Asia. Hal ini diperparah ketika Presiden Donald Trump menyebut Covid-19 sebagai salah China.
Separuh dari kasus di tahun 2021 dilakukan oleh satu orang, yakni Derik Barretto (36). Ia tertangkap kamera pengawas memecahkan kaca toko-toko milik warga keturunan AAPI pada tengah malam. Dalam satu malam, ia pernah memecahkan kaca di 16 toko. Barretto sudah ditangkap oleh polisi dan menunggu sidang.
“Ini bukan hanya masalah kelompok AAPI, tetapi masalah kita semua sebagai masyarakat dan sebagai bangsa AS,” kata Wali Kota San Francisco London Nicole Breed.
Breed yang berdarah Afrika-Amerika membandingkan pengalaman komunitas AAPI sekarang dengan berbagai pelecehan yang dialami oleh kelompok kulit hitam AS dulu. Rasialisme dan diskriminasi adalah penyakit, terlepas dari subyek maupun obyeknya. Breed menekankan bahwa warga San Francisco harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kota itu aman bagi semua orang.
“Saya marah sekaligus malu dengan kekerasan yang terjadi di antara kita. Lebih parahnya, kebanyakan korban adalah warga lansia,” tutur Breed.
Kepala Polisi San Francisco Bill Scott menekankan bahwa pihaknya akan memberi tindakan tegas kepada setiap pelaku aksi diskriminasi. Khusus untuk persiapan Tahun Baru Imlek, pihak kepolisian menyediakan saluran pengaduan dengan berbagai bahasa Asia seperti Mandarin, Korea, Jepang, dan Tagalog. Petugas juga akan turun ke jalan mengawal pawai Imlek pada 19 Februari nanti.
Sejatinya, jumlah kasus yang dicatat oleh kepolisian itu merupakan puncak gunung es. Universitas Negeri San Francisco (SFSU) memiliki koalisi antikekerasan terhadap komunitas AAPI. Sepanjang bulan Maret 2020 hingga 2021, mereka mencatat ada 10.000 kejadian diskriminatif terhadap warga AAPI.
Diansir dari harian SF Gate, warga malas melapor kepada aparat penegak hukum karena mereka menilai ada ketidakseriusan dalam menangani kekerasan berbasis rasialisme. Apalagi, pihak kepolisian baru bisa menindak pelaku jika ada bukti mereka mengutarakan ujaran kebencian. Mayoritas kejadian tidak direkam oleh korban maupun saksi mata sehingga mereka tidak memiliki bukti untuk dibawa ke polisi.
Salah satu warga yang tidak puas adalah Ahn Le (69). Ia menggugat Jakwa Wilayah San Francisco Chesa Boudin ke pengadilan. Alasannya ialah Boudin dinilai menyepelekan kasus penyerangan yang dialami oleh Le sehingga ia tidak menerima keadilan yang semestinya.
Kejadiannya pada November 2019 ketika Le sedang berjalan-jalan di kawasan Pecinan. Ia disergap oleh dua laki-laki yang kemudian memukulinya memakai pentungan bisbol. Le diselamatkan oleh sejumlah saksi mata yang memanggi petugas polisi.
“Peristiwa itu adalah hal paling menakutkan, brutal, dan memalukan sepanjang hidup saya,” kata Le kepada media CBS.
Namun, Kantor Jaksa Wilayah tidak memproses kasus kekerasan tersebut sebagaimana mestinya. Jaksa menawarkan kepada kedua pelaku agar mau disidang atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Hukuman untuk pasal ini jauh lebih ringan dibandingkan jika pelaku digugat memakai pasal penyerangan, penganiayaan, dan kejahatan berbasis rasialisme. (AP)