Tertatih-tatih, Covax Akhirnya Bisa Mengantar 1 Miliar Dosis Vaksin Covid-19
Dua tahun pandemi Covid-19 berjalan, egoisme masih menjadi momok bagi keadilan vaksin.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
GENEVA, MINGGU — Skema distribusi vaksin di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, Covax, berjuang selama hampir dua tahun untuk memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 bagi 91 negara berkembang ataupun miskin di dunia. Target awal Covax bisa mengirim 2 miliar dosis vaksin pada akhir 2021. Kenyataannya, baru pada akhir pekan lalu Covax mampu mengirim 1 miliar dosis.
”Masalah ada dari tahap awal, yaitu penyediaan vaksin, logistik pengantaran, distribusi di negara tujuan, dan sistem vaksinasi nasional,” kata Seth Berkley, Ketua Aliansi Vaksin dan Imunisasi Global (GAVI), lembaga yang mengelola Covax, di Geneva, Swiss, Minggu (23/1/2022).
GAVI bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menganalisis kebutuhan distribusi vaksin Covid-19 untuk tahun 2022. WHO menargetkan pada pertengahan tahun ini setidaknya 70 persen penduduk Bumi sudah divaksin lengkap. Semakin lama suatu komunitas menunggu untuk divaksin, risiko berkembangnya Covid-19 galur baru kian meningkat, seperti yang terjadi dengan galur Omicron di Afrika Selatan.
Berdasarkan data WHO per 13 Januari 2022, dari 194 negara anggotanya, ada 109 negara yang tidak akan bisa mencapai target vaksinasi 70 persen itu jika laju penyuntikan masih seperti sekarang. Bahkan, di Benua Afrika yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa, baru 10 persen warganya yang telah divaksin lengkap. Adapun perhitungan global menunjukkan bahwa sudah 9,8 miliar dosis vaksin yang disuntikkan. Hampir semuanya berada di negara dengan perekonomian kuat.
Secara keseluruhan, WHO mendata ada 88 negara yang vaksinasinya kurang dari 40 persen dan ada 36 negara yang vaksinasinya kurang dari 10 persen. Mereka membutuhkan penanganan khusus. Apalagi, di negara-negara miskin dan berkembang tersebut, Covax adalah sumber dari 82 persen vaksin Covid-19 mereka. Negara-negara ini ada yang tidak memiliki akses langsung ke produsen vaksin dan ada yang tidak diprioritaskan karena kekurangan biaya.
”Oleh sebab itu, Covax membutuhkan dana 5,2 miliar dollar AS untuk tiga bulan ke depan. Ini untuk pembelian vaksin langsung dari produsen, logistik, dan distribusi. Saat ini baru terkumpul 192 juta dollar AS,” tutur Berkley.
Berkley mengungkapkan, Covax akan menyimpan 600 juta dosis vaksin Covid-19 sebagai cadangan yang bisa dipakai sewaktu-waktu. Jumlah ini mencakup dosis yang bisa dipakai sebagai penguat (booster) bagi negara yang membutuhkan. Selain itu, akan ada pula persediaan vaksin yang dikhususkan untuk menangani Covid-19 galur spesifik, misalnya Omicron dan Delta. Perhitungan idealnya ialah dana dan sistem ini bisa mencakup 45 persen vaksinasi penduduk termiskin di 91 negara.
Andalkan sumbangan
Sejatinya, ketika didirikan pada Juni 2020, Covax berambisi bisa mengamankan pasokan vaksin Covid-19 langsung dari perusahaan farmasi pembuat vaksin. Kenyataannya, negara-negara kaya sudah lebih dulu menumpuk vaksin. Bahkan, perusahaan Aspen Pharmaceuticals di Afrika Selatan yang tujuan awalnya menyediakan vaksin Johnson&Johnson untuk warga Benua Afrika ternyata memprioritaskan 40 juta dosis yang telah dipesan oleh Uni Eropa. Vaksin-vaksin ini akhirnya dikembalikan setelah Uni Eropa diprotes keras oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional.
Di samping itu, sejumlah vaksin yang diproduksi di negara berkembang juga kena pelarangan ekspor. Misalnya, India dan Thailand. Kedua negara ini mendapat izin memproduksi vaksin Covid-19 merek AstraZeneca, tetapi pemerintah masing-masing melarang pengiriman ke luar negeri guna memenuhi kebutuhan masyarakat lokal terlebih dahulu.
Akibatnya, Covax mengandalkan vaksin-vaksin sisa dari negara-negara maju. Metode ini memiliki sisi negatif, yaitu mayoritas vaksin sumbangan ini sudah mendekati kedaluwarsa. Nigeria dan Malawi, misalnya, terpaksa menghancurkan vaksin-vaksin sumbangan dari negara maju karena kedaluwarsa. Apalagi, transportasi vaksin di negara-negara berkembang ataupun miskin kerap terkendala kondisi geografis yang susah.
Kepala Badan Pengembangan Layanan Kesehatan Primer Nigeria Faisal Shuaib mengatakan, keputusan tersebut sangat berat, mengingat jumlah warga yang bisa diselamatkan. Sejauh ini, baru 2,5 persen penduduk negara itu yang sudah divaksin lengkap.
”Hingga Januari 2022, Benua Afrika telah menerima 572 juta dosis vaksin sumbangan. Dari jumlah ini, ada 2,8 juta dosis yang terpaksa dihancurkan karena sudah lewat masa berlaku. Ini tindakan yang emosional, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Vaksinasi menjadi isu sensitif karena narasi yang berkembang di negara-negara Afrika ialah mereka tidak diprioritaskan,” kata Direktur Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Afrika John Nkengasong kepada Al Jazeera.
Nkengasong mengungkapkan, pemerintah negara-negara di Afrika kemudian menetapkan kebijakan. Semua vaksin sumbangan harus memiliki masa kedaluwarsa maksimal tiga bulan. Jika tenggat kedaluwarsa di bawah tiga bulan, mereka tidak mau menerima.
Sementara itu, Direktur Serum Institute India (SII) yang memproduksi AstraZeneca, Adar Poonawalla, mengatakan, kapasitas produksi telah ditingkatkan. Pemerintah India juga sudah menghapus larangan ekspor. SII ditargetkan bisa menghasilkan 1 miliar dosis pada dua triwulan pertama tahun 2022. (AFP/Reuters)