Boris Johnson, Karier Politik Anak Bandel yang di Ujung Tanduk
Karier politik Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di ujung tanduk gara-gara kasus pesta Tahun Baru lalu. Selama ini, ia selalu lepas dari krisis politik. Kali ini, akankah keberuntungan masih menaunginya?
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
AFP/ISABEL INFANTES
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meninggalkan 10 Downing Street, London, Inggris, Selasa (29/10/2019). Johnson mengupayakan kembali percepatan pemilu setelah sempat ditolak Parlemen Inggris. Kubu oposisi, Partai Buruh, kini mendukung pelaksanaan pemilu yang dipercepat.
Bagi Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, fakta kerap bisa dipelintir. Karier Johnson selama ini penuh dengan informasi kutipan dari para ahli yang terkadang berlebihan, bahkan tidak akurat. Ketika dipanggil untuk ditanya parlemen terkait satu isu tertentu, misalnya, ia biasanya kemudian hanya mengangkat bahu dan meminta maaf atau menunjukkan seringai bersalah dan berlalu begitu saja. Dan, ia pun dimaafkan. Namun, itu dulu karena sekarang sepertinya para pendukungnya di Partai Konservatif pun sudah lelah melindungi Johnson.
Kasus terakhir soal pesta Tahun Baru Johnson dengan para stafnya yang membuat kesabaran para pendukungnya menipis. Pesta Tahun Baru Johnson itu membuat berang rakyat Inggris karena dilakukan saat Inggris sedang menjalani kebijakan pembatasan terkait pandemi Covid-19. Saking kesalnya, Partai Konservatif pun sedang menimbang untuk mencopot Johnson dari posisi perdana menteri (PM).
Dulu, Partai Konservatif memilih Johnson karena ia dikenal sebagai orang yang ceria, tetapi bandel karena suka melanggar aturan. Ia juga seperti anak sekolah yang nakal di dunia politik Inggris. Kedua hal ini yang pada waktu itu dianggap sebagai kemampuan langka untuk bisa dekat dengan rakyat.
Namun, sepertinya banyak yang mulai berubah pikiran. Guru Besar Sejarah Politik di University of Nottingham, Steven Fielding, mengatakan, para pendukung Johnson menilai Johnson sebagai orang yang tidak akan membiarkan ada orang lain yang menghalangi jalannya. ”Terkadang dia ketahuan melakukan sesuatu, tetapi kemudian entah bagaimana bisa lolos begitu saja. Tetapi, kan, sekarang semakin banyak orang yang tahu faktanya,” ujar Fielding.
REUTERS/POOL
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (depan, keenam dari kiri) memimpin rapat perdana kabinetnya di Downing Street, London, Inggris, Kamis (25/7/2019).
Johnson memang banyak akalnya sehingga sering bisa lolos dari krisis. Politisi lulusan Oxford University itu dikenal lihai memanfaatkan kata-kata untuk menampilkan dirinya sebagai komedian berambut pirang kusut dan tidak menganggap dirinya terlalu serius. Ia juga kerap melontarkan guyonan, terkadang dalam bahasa Latin atau Yunani kuno. Memiliki citra diri sebagai orang humoris, Johnson menjadi tamu yang populer dalam acara televisi Have I Got News for You pada akhir 1990-an hingga kemudian membawanya naik ke panggung dunia sebagai Wali Kota London periode 2008-2016.
Dari dulu sebenarnya banyak orang yang tidak yakin Johnson akan bisa menjadi PM karena dianggap kurang serius. Johnson tidak menyangkal dan malah bergurau peluangnya menjadi PM Inggris itu sama mustahilnya dengan ”mencari Elvis di Planet Mars” atau ”dilahirkan kembali sebagai buah zaitun”.
Meski berkelakar seperti itu, Johnson sebenarnya sudah lama memimpikan posisi PM Inggris. Rachel Johnson, saudari Johnson, pernah menceritakan tentang Johnson kecil yang sering sesumbar ingin menjadi raja dunia. Tak disangka, hal itu menjadi kenyataan di kemudian hari. Hanya saja, jalan menuju ke kekuasaan tidak tertata jelas dan terkesan serampangan.
Ketika masih menjadi wartawan muda di The Times of London, Johnson pernah mengarang sendiri kutipan tidak benar tentang Raja Edward II dari sejarawan yang kebetulan juga ayah baptisnya. Akibatnya, ia dipecat. Tidak kapok, ia lalu menjadi koresponden harian Daily Telegraph di Brussels, Belgia, awal 1990-an. Ia menulis isu limbah Uni Eropa (UE) yang dianggap terlalu dibesar-besarkan. Johnson dikenal karena menulis ”euromyths” atau mitos Eropa. Salah satu tulisannya adalah tentang UE yang akan mengatur ukuran peti mati, bahkan ukuran dan bentuk pisang. Kondom juga disebutnya hanya akan tersedia satu ukuran.
REUTERS/RUSSELL CHEYNE
Para pengunjuk rasa memperlihatkan poster berisi tuntutan dan pendapat di luar gedung Mahkamah Agung, tempat berlangsungnya sidang untuk memaksa Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menunda Brexit, di Edinburgh, Inggris, Senin (21/10/2019).
Gara-gara tulisan Johnson yang tidak akurat, opini Inggris berubah melawan UE. Dan, Johnson lantas digadang-gadang bisa menjadi calon kuat untuk memimpin Inggris. Pilihan Brexit kemudian menang dalam kampanye referendum pada 2016. Padahal, banyak klaim yang masih dipertanyakan, salah satunya tuduhan bahwa Inggris memberikan kontribusi dana ke UE setara dengan 350 juta pound per minggu. Untuk memanas-manasi rakyat Inggris, Johnson mengatakan uang sebesar itu seharunya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan Inggris.
Namun, Johnson kemudian kena batunya dan mulai mengalami kemunduran politik ketika pemimpin Partai Konservatif waktu itu, Michael Howard, memecat Johnson pada 2004 karena berbohong soal satu kasus perselingkuhan di luar nikah. Kelompok penentang Johnson sejak lama sudah menilai Johnson tidak layak menjadi pemimpin, apalagi PM, karena Johnson tidak peduli dengan fakta. Johnson juga dinilai kerap mengeluarkan komentar yang menyakitkan dan menyinggung perasaan orang lain.
Misalnya, saat Johnson menyebut penduduk Papua Niugini dengan kanibal. Ia juga pernah menyebut nenek moyang Barack Obama dari Kenya tidak suka dengan Inggris. Ia juga pernah membandingkan perempuan Muslim berjilbab dengan kotak surat.
Jika ada yang protes atau marah, Johnson biasanya berkelit dan menyanggahnya dengan mengatakan ”itu hanya bercanda” atau menuding wartawan sengaja menggali komentar-komentar lamanya. Menyerang media seperti itu menjadi taktik populis Johnson selama ini. Penulis biografi Johnson, Andrew Gimson, menyebut Johnson sebagai ”PM Inggris yang Ceria” yang kerap menggambarkan lawan-lawan politiknya sebagai orang-orang puritan yang tidak gembira.
REUTERS/SIMON DAWSON
Pengunjuk rasa anti-Brexit mengangkat poster berisi kecaman terhadap Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Dalam unjuk rasa yang digelar Sabtu (20/7/2019) di London itu, mereka menyerukan, Tidak pada Boris, ya untuk Eropa.
Kini, para pendukung Johnson mulai khawatir kondisi akan berubah. Johnson akhirnya meminta maaf karena mengadakan pesta yang jelas melanggar kebijakan pembatasan. Permintaan maafnya pun diucapkan dengan kata-kata yang hati-hati, tidak seperti yang pernah ia lakukan pada kejadian-kejadian sebelumnya.
Meski minta maaf, ia tidak mengakui melakukan kesalahan secara personal dan tetap bersikeras bertindak sesuai aturan. Banyak warga Inggris yang kesal karena sudah patuh pada kebijakan pembatasan dan terpaksa tidak bisa bertemu dengan keluarga dan teman atau sekadar menengok keluarga di rumah sakit atau panti jompo. Klaim Johnson sebelumnya yang mengaku itu bukan pesta kebun melainkan acara kantor, tidak dipercaya warga.
Kepala Jajak Pendapat Politik di Penelitian Opinium, Chris Curtis, mengatakan, kepercayaan publik dan tingkat dukungan kepada Johnson sudah anjlok. Pada pekan depan, penyelidikan terkait kasus tuduhan pesta Johnson itu akan selesai dan hasilnya akan diumumkan.
Jika Johnson dinyatakan tidak melanggar aturan pembatasan, anggota parlemen dari Partai Konservatif bisa jadi tidak akan mengajukan mosi tidak percaya untuk mengganti Johnson. Meski demikian, menurut Fielding, citra Johnson sudah telanjur rusak dan tidak akan bisa diperbaiki sekalipun selamat dari pelengseran. ”Saya tidak yakin Konservatif akan tetap memakai Johnson. Dia sudah selesai,” ujarnya. (AP/LUK)