Kepulauan Pasifik Menunggu Tenggelam Jika Dunia Tak Segera Mitigasi Krisis Iklim
Selain erupsi dan tsunami, Pasifik Selatan berada dalam bahaya karena dampak pemanasan global. Ada sejumlah indikasi, bahaya itu telah di depan mata. Beberapa negara di Pasifik telah merasakan dampaknya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
AP/Broadcom Broadcasting/Marian Kupu
Kerusakan yang terjadi di Nuku'alofa, Tonga, Kamis (20/1/2022). Mengutip AP, menurut pejabat kemanusiaan PBB melaporkan sekitar 84.000 orang atau lebih dari 80 persen populasi Tonga, terdampak bencana.
Bencana alam letusan gunung berapi di Tonga masih terus ditangani. Dunia berharap yang terbaik bagi masyarakatnya agar tabah dan segera melalui situasi darurat serta membangun Tonga kembali. Akan tetapi, kenyataannya, dengan bantuan berbagai lembaga internasional dan negara-negara sahabat, risiko bencana yang dihadapi oleh Tonga serta tetangga-tetangganya di Pasifik terus mengintai dan bertambah.
Erupsi Hunga Tonga-Hungan Ha’apai memicu gelombang setinggi 15 meter yang menghantam pantai di pulau-pulau terluar Tonga. Sejumlah permukiman rata dengan tanah, habis tersapu gelombang pasang. Ketinggian gelombang yang dengan mudah menerjang habis sejumlah pulau di Tonga sejatinya mengungkapkan sejumlah indikasi bahwa perubahan iklim mengancam keberadaan pulau-pulau itu, termasuk pulau-pulau lain di wilayah Pasifik Selatan.
Negara-negara kepulauan di Pasifik dan juga di Karibia merupakan kawasan yang paling rentan terdampak langsung oleh krisis iklim. Jangankan letusan gunung berapi dan tsunami, setiap hari, negara-negara ini dihadapkan pada bahaya akibat pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut. Dan dalam beberapa dekade mendatang, kenaikan permukaan air laut diprakirakan akan terus bertambah.
Dalam laporan kantor berita Reuters—mengutip sistem pemantauan kenaikan permukaan laut oleh PBB—permukaan laut di sekitar negara kepulauan berpenduduk 105.000 orang itu meningkat sekitar 6 milimeter per tahun.
Frekuensi siang hari yang panas dan malam yang panas telah meningkat di seluruh Pasifik. Saat ini suhu Tonga dilaporkan meningkat, dengan suhu rata-rata harian 0,6 derajat celsius lebih tinggi daripada tahun 1979. Di Tonga, pada Januari 2020, suhu permukaan lautnya juga pernah tercatat 6 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata di bulan tersebut.
AP/Marco Alpozzi/LaPresse
Demonstran memegang plakat berisi seruan untuk menyelamatkan Bumi dalam unjuk rasa Fridays For Future di Turin, Italia pada Jumat (24/9/2021). Aktivis lingkungan menggelar aksi unjuk rasa di seluruh dunia menuntut para pemimpin dunia mengambil tindakan lebih keras untuk mengekang perubahan iklim.
Dalam catatan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB, pemanasan yang terus berlanjut itu kemungkinan akan membuat tanah lebih kering karena suhu tinggi menyebabkan lebih banyak penguapan dan memengaruhi pola curah hujan regional.
Berdasarkan laporan lembaga tersebut, sejumlah negara di kawasan itu kemungkinan akan mengalami lebih banyak gelombang panas dalam beberapa dekade mendatang, dengan suhu yang sering kali menembus 35 derajat celsius. Panas yang ekstrem itu bisa sangat berbahaya apabila dikombinasikan dengan kelembapan tropis.
Dampak berantainya ialah berkurangnya biota laut, termasuk ikan dan berbagai makhluk laut yang dikonsumsi manusia. Bencana kelaparan mengancam tidak hanya negara-negara Pasifik, tetapi negara-negara lain yang sumber pangannya berasal dari laut, termasuk Indonesia dan Jepang.
Sayangnya, tindakan untuk mencegah terjadinya bencana itu kurang maksimal. Misalnya, di Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 lalu yang dikenal dengan istilah COP 26. Ada banyak harapan, tetapi minim yang terwujud. Masih susah bagi dunia untuk benar-benar menghentikan laju perubahan iklim.
Kebutuhan pembangunan ekonomi, apalagi di negara-negara miskin dan berkembang, terpaksa harus diutamakan dibandingkan dengan menurunkan emisi. Negara-negara berkembang tidak bisa menurunkan emisi sebelum tahun 2030. Pandemi Covid-19 telak memukul perekonomian. Apabila ekonomi dan energi beralih ke sektor terbarukan, pemerintah menganggap biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi, sementara capaian ekonominya tidak banyak. Mau tidak mau, negara-negara kepulauan kecil seperti di Pasifik ini harus pasrah.
”Wilayah kami (negara-negara Pasifik) benar-benar terancam bukan hanya sebagian, tapi ada yang keseluruhannya bisa terendam air laut. Sebuah bangsa beserta kebudayaannya akan lenyap,” kata Duta Besar Fiji untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Satyendra Prasad dalam COP 26.
AP Photo/Czarek Sokolowski, file
Dalam foto yang diambil pada Rabu (28/11/2018) ini, tampak asap tebal terlihat di atas pembangkit listrik lignit terbesar di Eropa yang berada di Belchatow, Polandia.
Berdasarkan sistem pemantauan kenaikan permukaan air laut oleh PBB, negara-negara Pasifik akan kehilangan 30-70 persen ekonomi berbasis daratan jika suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius dalam empat tahun ke depan. Secara umum, permukaan air laut global naik setinggi 3 milimeter per tahun. Khusus di Pasifik, kenaikannya bisa 4-6 milimeter per tahun. Penduduknya akan terpaksa berpindah ke negara lain.
Banjir dan rob
Selain permukaan naik dan mengakibatkan air rob, memanasnya laut akan membuat udara hangat yang memicu pembentukan angin topan. Walhasil, badai dan banjir akan makin banyak terjadi. Di Tonga saja, sejak tahun 2018 sudah dua kali dihantam badai topan kategori lima. Ini adalah angin dengan kecepatan mencapai 280 kilometer per jam. Angin ini dikategorikan sangat berbahaya dan merusak.
Tetangga-tetangganya, yaitu Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, dan Negara Federasi Mikronesia, di akhir tahun 2021 terkena rob serta banjir parah. Demikian pula di beberapa wilayah di Vanuatu. ”Hampir di semua tempat, termasuk di ibu kota Majuro, air laut masuk ke permukiman,” kata Presiden Mikronesia David Panuelo.
AFP/NOEL CELIS
Petugas penyelemat melewati banjir untuk mencari warga yang diduga masih terjebak banjir di Kota Zhengzhou, Henan, China, Jumat (23/7/2021). Banjir membuat permukiman, jalan, kereta bawah tanah, dan pusat bisnis tergenang. AFP/NOEL CELIS
Peneliti perubahan iklim dari Universitas Auckland, Selandia Baru, Murray Ford, menjelaskan, di tahun 1990-an, hujan deras akibat badai maupun La Nina sekalipun tidak ada pengaruhnya di negara-negara Kepulauan Pasifik. Akan tetapi, dalam dua dekade, hal tersebut berubah. Pulau-pulau tersebut terancam tenggelam dalam kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Penduduk Kepulauan Pasifik diprakirakan akan menjadi salah satu kelompok rentan yang bakal menjadi pengungsi iklim global. ”Mungkin pada akhirnya akan seperti itu. Tapi saya harap tidak,” kata Josephine Latu-Sanft, warga Tonga yang sekarang tinggal di London dan bekerja sebagai komunikator iklim. ”Orang-orang tidak mau pindah.”
Ia menegaskan, orang Tonga memilih untuk tetap tinggal di negaranya meskipun risiko yang mereka hadapi berat. Warga Tonga berhasil membangun kembali komunitas mereka setelah porak poranda dihantam topan Gita pada tahun 2018 dan topan Harold pada tahun 2020. ”Orang Tonga sangat tangguh,” ujar Latu-Sanft. ”Kami telah tinggal di sana selama berabad-abad. Akar dan identitas kami ada di darat dan di laut.”
Akan tetapi, di sisi lain, ancaman perubahan iklim dan meningkatkan permukaan air laut tak bisa diabaikan. Dan yang lebih mendesak adalah mencegahnya sedini mungkin.