Eropa Desak Israel Hentikan Perusakan Rumah Warga Palestina dan Pembangunan Permukiman Yahudi
Empat negara Uni Eropa mendesak Israel menghentikan rencana pembangunan pemukiman warga Yahudi di Jerusalem Timur. Mereka juga mengecam perusakan pemukiman dan pengusiran warga Palestina di Sheikh Jarrah.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Tel Aviv, Kamis — Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol mendesak Pemerintah Israel menghentikan pembangunan permukiman baru warga Yahudi di Jerusalem timur. Empat negara berpengaruh ini juga menyatakan keprihatinan tentang pembongkaran dan penggusuran permukiman warga Palestina di Sheikh Jarrah yang terus berlangsung.
Awal bulan ini, Israel menyetujui rencana pembangunan sekitar 3.500 rumah di wilayah Jerussalem timur yang diduduki. Hampir separuhnya akan dibangun di daerah kontroversial Givat Hamatos dan Har Homa.
Dalam pernyataannya, keempat negara menilai ribuan bangunan baru untuk warga Yahudi akan menjadi hambatan tambahan bagi solusi dua negara. Selain itu, pembangunan di wilayah ini juga tidak hanya akan memperkeruh suasana, tapi juga melanggar hukum internasional serta memutuskan hubungan Tepi Barat dan Jerusalem timur.
Pada Perang Enam Hari tahun 1967, Israel mengokupasi Jerusalem dengan alasan hendak membuka akses umat Yahudi ke Tembok Ratapan. Aksi ini dikecam dunia, termasuk Amerika Serikat yang biasanya membela Israel(Kompas, 24 Mei 2021). Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina merdeka di Tepi Barat. Sebaliknya, Israel memandang seluruh kota sebagai ibu kota yang tidak terpisahkan.
Kementerian Luar Negeri Israel tidak segera menanggapi pernyataan yang dikeluarkan ke empat negara anggota Uni Eropa itu.
Berkedok kemanusiaan
Pernyataan empat negara Eropa tidak terlepas dari tindakan polisi Israel menghancurkan rumah sebuah keluarga Palestina dan mengusir penghuninya ke jalanan. Polisi menangkap 18 orang warga Palestina, termasuk beberapa anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.
Pihak berwenang di Jerusalem mengatakan, di atas bangunan rumah miliki keluarga Mahmoud Salhiya nantinya akan dibangun sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Keluarga Salhiya juga telah mendapatkan pemberitahuan soal rencana ini sejak tahun 2017. Mereka menolak dan hingga saat ini proses banding atas putusan pengadilan masih berlangsung.
Dalam pernyataan, kepolisian Israel mengatakan, mereka menuntaskan perintah eksekusi penggusuran gedung-gedung ilegal yang dibangun di atas lahan yang akan dipergunakan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Polisi juga mengatakan, keluarga yang tinggal di atas lahan itu sudah memiliki waktu sangat banyak untuk keluar dan mencari perumahan baru untuk tempat tinggal mereka.
”Anggota keluarga yang tinggal di bangunan ilegal diberi kesempatan yang tak terhitung jumlahnya untuk menyerahkan tanah dengan persetujuan,” kata pernyataan polisi. Polisi menambahkan, penangkapan belasan orang warga, termasuk beberapa penghuni rumah tersebut, karena mereka telah mengganggu ketertiban umum.
Pemerintah kota Jerusalem Timur dan polisi, dalam pernyataan bersama mengatakan, berdirinya bangunan ilegal itu menghalangi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak. ”Bangunan ilegal ini telah mencegah pembangunan sekolah yang dapat bermanfaat bagi anak-anak dari seluruh komunitas Sheikh Jarrah,” kata mereka.
Tindakan keras polisi Israel ini berlangsung di tengah hujan lebat yang mengguyur kawasan Sheikh Jarrah, Rabu (19/1/2022). Dua hari sebelumnya, polisi hendak melaksanakan penggusuran, tetapi dibatalkan. Anggota keluarga Salhiya naik ke atap gedung dengan membawa tabung gas serta mengancam akan membakar diri dan seluruh gedung jika polisi bersikeras mengusir mereka dari rumah tersebut.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengecam pengusiran keluarga Palestina oleh polisi Israel dan menyebutnya sebagai kejahatan perang. Dia juga menyatakan, Israel memikul tanggung jawab penuh atas dampak yang ditimbulkannya. Abbas juga meminta Amerika Serikat turun tangan dan menghentikan kejahatan Israel yang terus berlanjut terhadap rakyat Palestina.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki menyatakan bahwa Israel terus mengobarkan perang terhadap rakyat Palestina. Dalam pandangannya, dunia internasional tidak melakukan tindakan apa pun terhadap negara tersebut.
Gilad Erdan, Duta Besar Israel untuk PBB, menjawab bahwa itu adalah permasalahan Pemerintah Kota Jerusalem, bukan urusan dunia internasional. Dia juga menyebut keluarga Salhiya sebagai pencuri properti publik dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi mereka.
Pengacara keluarga Salhiya Walid Abu-Tayeh mengatakan, keluarga tersebut telah menempati tanah itu sejak 70 tahun lalu. Saat Israel mencaplok Jerusalem timur, kata Abu-Tayeh, keluarga Salhiya telah menempati lahan itu selama puluhan tahun. Salhiya menikah dengan seorang perempuan Yahudi Israel bernama Meital Abu-Tayeh. Sejak 2017 mereka telah mengajukan kasus itu ke pengadilan. Meski kalah, dan hakim menilai bangunan rumah mereka sebagai bangunan ilegal, keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap karena proses banding masih berlangsung.
Hagit Ofran, peneliti untuk kelompok antipermukiman Peace Now, mengatakan, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus bisa dibangun di tempat lain, termasuk di lokasi yang diberikan pada sekolah asrama Yahudi ultra-ortodoks. Rumah keluarga Salhiya bisa dibiarkan utuh. ”Pembangunan bisa dilakukan tanpa menggusur mereka,” katanya.
Laura Wharton, anggota dewan kota memprotes keras tindakan itu. ”Saya memprotes, keberatan, dan menyesali semua tindakan ini, serta berharap pemerintah mulai memperlakukan setiap penduduk dengan kesetaraan dan rasa hormat,” katanya. (AP/AFP/Reuters)