Belum ada kabar dari Tonga. Sambil menunggu, bantuan dari sejumlah pihak internasional dalam perjalanan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
SUVA, RABU – Tonga, negara kepulauan di Pasifik, masih menunggu pertolongan internasional setelah meletusnya gunung berapi Hunga-Tonga-Hunga-Ha’apai pada tanggal 15 Januari lalu. Diaspora Tonga masih mencemaskan keluarga mereka karena jalur komunikasi masih terputus. Apalagi, ada tiga pulau yang terkena dampak parah dari letusan tersebut.
Ketiga pulau yang terkena tsunami setinggi 15 meter itu adalah Nomuka, Mango, dan Fonoifua. Diperkirakan ada 150 warga yang tinggal di sana. Nasib mereka tidak diketahui karena akses masih terputus. “Kami hanya bisa memantau dari perahu yang berkeliling pulau. Tidak bisa berlabuh karena kondisi pulau rusak parah,” kata Katie Greenwood, Direktur Wilayah Pasifik Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dari Suva, Fiji, Rabu (19/1/2022).
Koneksi internet masih tidak ada dan diperkirakan butuh dua pekan untuk memperbaikinya. Akan tetapi, jaringan telepon seluler milik penyedia layanan Digicel mulai kembali ada, walaupun baru berbasis satelit. Perdana Menteri Tonga Siaosi Sovaleni sudah berbicara dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
Australia akan mengirim dua unit pesawat Hercules begitu Bandara Internasional Fua’amotu selesai dibersihkan. Bandara di Pulau Tongatapu yang merupakan pulau utama Kerajaan Tonga ini tertutup abu setebal 2 sentimeter. Sejumlah relawan berinisiatif menyapunya agar pesawat-pesawat pembawa bantuan bisa segera mendarat.
Greenwood mengungkapkan, belum ada pemberitahuan secara terperinci mengenai jenis pertolongan yang sangat dibutuhkan masyarakat Tonga. Salah satu faktor yang harus dijaga ialah mencegah penularan Covid-19 di kepulauan dengan penduduk sebanyak 100.200 jiwa ini.
“Selama pandemi, Tonga menutup perbatasan mereka guna mencegah masuknya kasus Covid-19. Kami tengah membahas apabila bisa dilakukan pemberian bantuan tanpa kontak fisik,” tuturnya.
Bantuan yang sudah diluncurkan ke Tonga ialah dari Selandia Baru. Negara ini mengirim dua kapal yang mengangkut tim survey serta pertolongan pertama; 250.000 liter air bersih; dan mesin penyuling yang memiliki kapasitas produksi air bersih 70.000 liter. Kapal ini diperkirakan tiba di Tonga pada hari Jumat.
Mendengar laporan dari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta mengatakan bahwa pihaknya siap menurunkan tim untuk mengevakuasi warga dari ketiga pulau yang terdampak parah itu.
Sementara itu, pejabat senior Bank Dunia, Emma Veve, mengungkapkan bahwa lembaga itu tengah merapatkan situasi Tonga saat ini. Apabila disetujui sebagai keadaan darurat, Tonga diperbolehkan menarik dana kebencanaan sebesar 10 juta dollar Amerika Serikat.
Terbesar tiga dekade
Gunung Hunga-Tonga-Hunga-Ha’apai adalah gunung api yang berada di bawah permukaan laut. Letaknya 65 kilometer dari Pulau Tongatapu. Ketika meletus pada pekan lalu, semburan abunya mencapai ketinggian 30 kilometer. Suara letusannya terdengar hingga 2.300 kilometer di Selandia Baru.
Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) menganalisis, kekuatan letusan gunung itu 500 kali bom atom di Hiroshima, Jepang, yang dijatuhkan pada Perang Dunia II. Ini adalah ledakan gunung api terbesar dalam 30 tahun terakhir, walaupun durasinya 10 menit.
Indonesia belum mengeluarkan pernyataan untuk membantu Tonga. Menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Muhadi Sugiono, hal ini tidak sepenuhnya buruk. Pasalnya, dalam memberi bantuan kemanuasiaan ada dua hal yang tidak boleh sampai terjadi, yaitu kekacauan koordinasi dan mubazir barang bantuan.
“Tonga dari segi jarak memang jauh sekali dari Indonesia dan kondisi di sana mungkin susah diakses dengan sarana transportasi kita. Wajar jika bantuan datang dari tetangga terdekat mereka, Australia dan Selandia Baru,” ujarnya.
Muhadi menerangkan, Indonesia dalam memberi bantuan internasional memiliki kecenderungan tidak latah dan lebih fokus kepada pembangunan dibandingkan pertolongan darurat. Ini karena pengadaan dana bantuan di Indonesia sendiri terbatas. Selain itu, Indonesia belajar dari pengalaman tsunami di Aceh tahun 2006 ketika semua pihak berebut memberi bantuan tanpa berkoordinasi. Hasilnya malah banyak pakaian, obat-obatan, dan makanan yang mubazir karena tidak terpakai.
“Indonesia akan selalu menunggu arahan dari lembaga yang profesional menangani kebencanaan, misalnya Palang Merah Internasional. Setelah mereka mengumumkan jenis-jenis pertolongan yang dibutuhkan, Indonesia akan memberikan agar tidak tumpang tindih dengan negara lain. Selain itu, Indonesia kemungkinan besar akan fokus turun tangan di pemulihan dan pemberdayaan masyarakat nanti,” tuturnya. (AP/Reuters)