Setelah sempat membaik pada 2021, perekonomian akan melambat sampai 2023 karena ancaman baru varian Covid-19, meningkatnya inflasi, utang, dan kesenjangan pendapatan.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Laju Inflasi China 2021
WASHINGTON, SELASA — Laporan Prospek Ekonomi Dunia dari Bank Dunia pada 11 Januari 2022 menyebutkan, setelah sempat membaik pada 2021, perekonomian dunia melambat karena adanya ancaman baru varian Covid-19, inflasi, utang, dan ketimpangan pendapatan yang meningkat. Ini diprediksi akan membahayakan pemulihan ekonomi di negara berkembang. Pertumbuhan global juga diperkirakan akan melambat dari 5,5 persen pada 2021 menjadi 4,1 persen pada 2022 dan 3,2 persen pada 2023. Penyebabnya, tidak ada permintaan serta dukungan fiskal dan moneter yang dibatalkan di seluruh dunia.
Pelambatan ekonomi akan terjadi bersamaan dengan melebarnya kesenjangan tingkat pertumbuhan antara negara maju dan berkembang. Pertumbuhan di negara maju diperkirakan akan turun dari 5 persen pada 2021 menjadi 3,8 persen pada 2022 dan 2,3 persen pada 2023. Ini dinilai akan cukup untuk memulihkan output dan investasi pada kondisi seperti sebelum pandemi di negara-negara itu. Pertumbuhan di negara berkembang juga diperkirakan akan turun dari 6,3 persen pada 2021 menjadi 4,6 persen pada 2022 dan 4,4 persen pada 2023. Pada 2023, output semua perekonomian negara maju akan pulih sepenuhnya, tetapi output di negara berkembang akan tetap 4 persen di bawah tren sebelum pandemi. Kondisi negara-negara yang perekonomiannya lemah, seperti negara korban konflik atau negara kepulauan yang kecil, akan semakin parah.
Dalam laporan Bank Dunia itu antara lain disebutkan, pandemi Covid-19 berdampak pada kesenjangan global. Pandemi menyebabkan kesenjangan pendapatan dunia dan memperparah ketidaksetaraan dalam ketersediaan vaksin, pertumbuhan ekonomi, akses ke pendidikan, dan perawatan kesehatan. Perempuan dan pekerja berketerampilan rendah serta pekerja informal semakin berisiko kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
Direktur Kelompok Prospek Bank Dunia Ayhan Kose mengatakan, negara berkembang perlu hati-hati dalam mengalibrasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, perlu ada pula reformasi untuk memulihkan diri dari pandemi. ”Reformasi harus dirancang untuk meningkatkan investasi dan modal manusia, membalikkan pendapatan dan ketidaksetaraan jender, dan mengatasi tantangan perubahan iklim,” ujarnya.
Iklim
Memasuki tahun ketiga pandemi, faktor iklim dianggap paling dikhawatirkan akan mengganggu perekonomian dunia. Sementara, menurut Laporan Risiko Global 2022 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF), risiko jangka pendeknya mencakup perpecahan sosial, krisis penghidupan, hingga memburuknya kesehatan mental. Para ahli meyakini pemulihan ekonomi global tidak akan stabil dan timpang dalam tiga tahun ke depan. Laporan edisi ke-17 ini mendorong berbagai negara untuk membuat kebijakan pengelolaan risiko dan perencanaan agenda di tahun mendatang.
Di dalam laporan ini dikupas empat risiko yang muncul, yakni keamanan siber, kompetisi di ruang angkasa, transisi iklim yang tidak teratur, dan tekanan migrasi. Direktur Utama WEF Saadia Zahidi mengatakan, disrupsi kesehatan dan ekonomi memperburuk keretakan sosial. Untuk memulihkan kondisi perekonomian dunia dengan lebih cepat dan merata perlu ada kolaborasi di antara masyarakat dan komunitas internasional. ”Para pemimpin dunia harus bersatu dan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan global dan membangun ketahanan untuk mengatasi krisis selanjutnya,” ujarnya
Faktor iklim ini yang harus menjadi perhatian mengingat bencana alam yang kerap terjadi dan banyaknya anggaran yang dibutuhkan untuk bantuan dan proses pemulihan. Seperti pascabencana longsor di ibu kota Sierra Leone, Freetown, pada 2017 yang menewaskan 1.141 orang dan membuat 3.000 orang kehilangan rumah. Pemerintah setempat membuat rencana pemulihan yang antara lain memberikan pelatihan bagi warga untuk menanam 21.000 pohon di wilayah perbukitan yang gundul. Harapannya, pada akhir 2022, 50 persen wilayah yang gundul akan kembali ditumbuhi pohon-pohon lebat. Pertumbuhan pohonnya bisa dipantau melalui aplikasi di ponsel.
Kasus lain di Seoul, Korea Selatan, misalnya, pemerintah kota dan penduduk setempat bekerja sama memulihkan aliran Sungai Cheonggyecheon yang tertutup jalan layang selama beberapa dekade. Proyek yang dilakukan pada awal 2000-an itu berhasil menurunkan risiko banjir dan mendorong pembangunan kembali kota. Contoh-contoh seperti ini menunjukkan kota-kota di seluruh dunia harus berinvestasi lebih banyak untuk memperluas ruang hijau dan memelihara alam yang menyediakan air, udara bersih, dan makanan. Ini tidak hanya untuk menjaga kesehatan masyarakat dan mengatasi risiko perubahan iklim, tetapi juga untuk meningkatkan perekonomian.
”Alam bisa menjadi tulang punggung pembangunan perkotaan. Dengan mengakui kota sebagai sistem kehidupan, kita bisa mendukung kesehatan manusia, planet, dan ekonomi perkotaan,” kata Kepala Bidang Alam dan Keanekaragaman Hayati WEF Akanksha Khatri.
Jika kota gagal melindungi habitat alami mereka dari ancaman bencana, 44 persen dari produk domestik brutonya, atau 31 triliun dollar AS secara global, terancam. Ancaman itu antara lain berupa bencana banjir yang disebabkan karena hilangnya hutan bakau pasir yang seharusnya menahan gelombang badai atau aliran sungai yang tersumbat sampah. Ancaman lain dari kerusakan alam adalah kekeringan, gelombang panas, dan polusi air serta udara yang berdampak pada kesehatan manusia.
Kerugian ekonomi bisa dihindari dengan lebih banyak menginvestasikan anggaran kota untuk program-program infrastruktur hijau, seperti taman, pohon di jalan, danau, area lahan basah, dan taman di atap. Ilmuwan pada Konservasi Alam dan anggota komisi global BiodiverCities, Robert McDonald, mengatakan, menggandakan anggaran untuk infrastruktur hijau ini akan membuat perubahan besar bagi kota. Hanya, sampai saat ini, pemerintah kota kerap kali lebih mengutamakan membangun infrastruktur dengan beton.”Butuh kerja sama antarpemerintah kota, perusahaan atau swasta, dan masyarakat,” ujarnya.
Keuntungan dari solusi berbasis alam, seperti menanam pohon untuk menyejukkan jalanan, kata McDonald, mulai terbukti efektif saat gelombang panas menerjang sejumlah kota.”Ini bukti jelas nilai investasi pada alam dan saya rasa orang menyadari ini. Bahkan, orang yang hanya memikirkan uang saja menyadari ini,” ujarnya. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)