Korea Utara kembali menguji coba rudal balistik. Uji coba ketiga dalam waktu hanya dua pekan ini disambut wacana serangan lebih dulu atau ”preemptive strikes” di Korea Selatan, terlebih jika jalan diplomasi buntu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Semenanjung Korea tengah dilanda kekhawatiran sekaligus ”panas hati”. Tahun baru belum dua pekan berjalan, tetapi Korea Utara telah tiga kali menggelar uji coba rudal. Wacana tentang serangan lebih dulu guna mencegah Pyongyang makin serampangan sewaktu-waktu berkembang di tengah dinamika politik Korea Selatan.
Uji coba rudal terbaru dilakukan Pyongyang pada Jumat (14/1/2022). Sebanyak dua rudal balistik jarak pendek diluncurkan dari daerah pedalaman di Pyongan, kata otoritas militer Korsel. Aksi Pyongyang itu juga dilaporkan oleh Kantor Perdana Menteri dan Kementerian Pertahanan Jepang di Tokyo. Pasukan penjaga pantai Jepang bahkan meminta kapal-kapal di perairan Jepang untuk melaporkan setiap benda yang meluncur dan jatuh di kawasan perairan sekitar Jepang.
Pejabat Korut secara terang-terangan menyatakan uji coba itu adalah jawaban atas sanksi baru yang dijatuhkan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Pyongyang juga memperingatkan, tindakan yang lebih kuat dan lebih eksplisit akan dilakukan jika Washington mempertahankan sikap konfrontatif terhadap Korut. Sanksi oleh AS itu adalah sanksi pertama pemerintahan Presiden Joe Biden pada rezim Korut terkait program persenjataan.
Sanksi dijatuhkan menyusul enam uji coba rudal Korut sejak September 2020 dan dua kali sepanjang Januari sebelum yang terbaru pada Jumat. Pada 5 Januari, Pyongyang menguji coba rudal hipersonik. Lalu disusul uji coba rudal balistik yang kemungkinan lebih canggih ketimbang rudal hipersonik awal pekan ini.
Sanksi AS itu merupakan upaya menghalangi Korut mengembangkan program dan teknologi persenjataan. AS juga mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjatuhkan sanksi lebih berat. Dalam pernyataan Departemen Keuangan AS, sanksi itu diberikan kepada enam warga Korut, seorang warga Rusia, dan satu perusahaan Rusia yang bermarkas di Washington. Mereka diduga secara ilegal memasok kebutuhan program pengembangan persenjataan Korut dari luar negeri.
Rudal-rudal yang hanya memiliki jangkauan regional bukanlah ancaman bagi daratan AS. Namun, senjata yang mampu terbang dengan ketinggian atau ruang jelajah rendah dan mengubah arah dengan kecepatan tinggi menggambarkan peningkatan kekuatan serang Korut terhadap negara-negara sekitarnya, khususnya Korsel dan Jepang. Kondisi itu meninggalkan pekerjaan rumah bagi Korsel dan Jepang bersama AS sebagai sekutu utamanya.
”Lomba menyerang-bertahan semacam ini telah berlangsung secara global selama beberapa dekade. Kami secara konsisten melihat bahwa menyerang punya keuntungan,” kata Cameron Tracy, peneliti di Pusat Keamanan dan Kerja Sama Internasional (CISAC) Universitas Stanford di California, AS.
”Korut akan terus mengerahkan lebih banyak rudal dan mengembangkan sistem yang lebih cepat dan lebih bisa bermanuver yang akan membuat Korsel rentan terhadap serangan.”
Dalam skenario terburuk, Korut dapat meluncurkan rudal balistik yang membuatnya tampak seperti uji coba ke laut. Namun, rudal itu lalu diarahkan bermanuver di bawah atau di sekitar sistem radar, bahkan lalu menikung untuk menyerang target di Korsel atau Jepang dengan senjata nuklirnya. Analisis itu diungkapkan Melissa Hanham yang juga peneliti di CISAC.
Sudah beberapa tahun terakhir AS dan sekutunya di Semenanjung Korea memilih jalan dialog dengan Pyongyang. Diplomasi itu diharapkan mengecilkan kemampuan rudal jarak pendek Korut. Kenyataannya, teknologi dan kemampuan persenjataan Korut justru semakin maju.
Chun In-bum, pensiunan jenderal Korsel, mengatakan, memang warga Korsel telah terbiasa hidup di bawah ancaman senjata Korut. Namun, kemajuan sistem persenjataan Korut itu tidak boleh diabaikan.
Kementerian Pertahanan Korsel pada tengah pekan ini meyakinkan, pihaknya tidak hanya mampu mendeteksi rudal baru, tetapi juga mencegatnya. Namun, klaim itu tidak bisa menenangkan para pihak di Seoul. Beberapa calon presiden Korsel yang akan bertarung pada pemilihan Maret mendatang tampaknya tidak begitu yakin.
”Rudal yang bergerak dengan kecepatan lebih dari Mach 5 (artinya berkecepatan supersonik), jika diisi dengan hulu ledak nuklir, akan mencapai wilayah metropolitan Seoul dalam waktu kurang dari 1 menit,” kata capres konservatif terkemuka, Yoon Suk-yeol.
Yoon menilai jalur diplomasi diperlukan guna memastikan perang tidak pernah terjadi. Namun, jika diplomasi itu gagal atau mentok, serangan oleh Seoul dan sekutunya perlu dipertimbangkan. Tujuannya agar Pyongyang tidak merealiasikan serangan berbahaya bagi Korsel dan sekutu-sekutunya.
Perdebatan pun muncul atas pendapat Yoon itu. Ada yang menilai pernyataan itu tidak bertanggung jawab karena serangan lebih dulu oleh Seoul justru akan meningkatkan ketegangan, tidak hanya di Semenanjung Korea, tetapi juga di kawasan Asia Timur.
Muncul pula pendapat bahwa serangan oleh Seoul mungkin diperlukan dalam situasi darurat. Namun, beberapa kalangan menilai bahwa Yoon sengaja mengusulkan hal itu semata demi kepentingan politiknya menjelang pilpres.
Washington tidak tinggal diam dengan perkembangan di Semenanjung Korea. Dalam sebuah wawancara dengan MSNBC, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut Pyongyang terlihat tidak stabil lewat aneka uji coba rudalnya. AS bersama sekutu-sekutunya terus mencermati dinamika itu.
Washington menunggu, apakah Pyongyang sekadar mengulang cara-cara lamanya, yakni meminta perhatian lewat uji coba senjata. Namun, jika Korut dirasa berlebihan, AS bersama sekutunya siap bertindak lebih keras. (AP/REUTERS)