Rakyat Tunisia Melawan Upaya Bangkitnya Kekuasaan Otokratik
Tunisia terus diguncang aksi protes sejak presiden memecat perdana menteri dan membekukan parlemen, Juli 2021. Rakyat melawan upaya bangkitnya kekuasaan otokratik.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
AP PHOTO/RIADH DRIDI
Orang-orang memegang poster atau plakat saat memperingati ulang tahun revolusi Tunisia, di kota Sidi Bouzid, Jumat, 17 Desember 2021.
TUNIS, SABTU — Situasi politik di Tunisia sedang tidak stabil karena terus dilanda aksi protes masyarakat dalam enam bulan terakhir. Massa menentang langkah Presiden Kais Saied karena ia telah memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi, membekukan parlemen, dan melanggar konstitusi, Juli 2021.
Ratusan demonstran kembali memprotes Saied, Jumat (14/1/2021), di Tunis, ibu kota negara itu. Langkah Saied yang dinilai tidak sesuai dengan semangat revolusi Tunisia itu juga dilihat sebagai upayanya menghidupkan kembali kekuasaan otokratik, yang ditumbangkan revolusi rakyat, 11 tahun silam.
Bentrokan fisik antara demonstran dan aparat keamanan Tunisia tidak terhindarkan. Sejumlah orang terluka dan puluhan orang ditangkap. Wartawan pun menjadi korban kekerasan dan pelecehan oleh polisi. Kekerasan itu membangkitkan kembali kenangan buruk yang memicu gelombang protes Musim Semi Arab.
Sebagian massa pengunjuk rasa yang marah berusaha menerobos barikade polisi, yang direspons dengan semprotan gas air mata dan tembakan meriam air. Selain menuntut Saied mengakhiri perampasan kekuasaan, massa juga menentang pembatasan berkumpul karena lonjakan kasus infeksi Covid-19.
Lebih dari 1.000 orang terkonsentrasi di Jalan Mohamed V, pusat kota Tunis, bertepatan dengan peringatan 11 tahun kejatuhan pemerintahan diktator Zine El Abidine Ben Ali, 14 Januari 2011. Ben Ali jatuh akibat gelombang protes yang berawal pada 18 Desember 2010, sehari setelah Mohamed Bouazizi, pedagang kaki lima, membakar diri untuk memprotes perlakuan buruk polisi terhadapnya.
Gelombang protes di Tunisia hingga kejatuhan Ben Ali menjadi pemicu pemberontakan besar-besaran di Dunia Arab, yang dikenal dengan Musim Semi Arab (Arab Springs), 11 tahun silam. Protes menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye berupa serangan, demonstrasi, pawai, dan penggunaan hampir semua saluran media sosial.
AP PHOTO/RIADH DRIDI
Gambar Mohammed Bouazizi terpampang di fasad gedung kantor pos, di Sidi Bouzid, Tunisia, Jumat, 17 Desember 2021.
Para pengunjuk rasa kembali berkumpul di pusat kota Tunis meskipun sudah ada pembatasan pertemuan yang diberlakukan sejak Kamis (13/1/2022). Pembatasan perkumpulan dalam jumlah besar itu diambil pemerintah untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19 galur Omicron di negara itu. Namun, massa yang menentang Saied menyebut pembatasan itu bermotif politik.
Amnesty International mengatakan, pembatasan perkumpulan orang itu secara efektif memberlakukan larangan menyeluruh terhadap demonstrasi publik, dan dengan demikian menghalangi hak orang untuk bebas berekspresi dan berkumpul secara damai.
Massa yang sedang terkonsentrasi di Jalan Raya Mohamed V berusaha bergerak menuju Jalan Raya Habib Bourguiba yang ikonik, pusat aksi protes yang menggulingkan Ben Ali pada 2011. Namun, polisi mencegah dengan menyemprotkan gas air mata dan menembakkan meriam air. Massa mundur.
Wartawan menyaksikan sejumlah orang terluka dan puluhan orang ditangkap polisi. Wartawan peliput aksi protes juga mendapat kekerasan. Surat kabar Perancis, Liberation, mengatakan bahwa reporternya di Tunisia, Mathieu Galtier, menjadi sasaran kekerasan polisi saat dia merekam tindakan keras polisi terhadap seorang pengunjuk rasa. Ponselnya dirampas.
Situs berita lokal, Hakaekonline, juga mengatakan bahwa polisi menyita telepon korespondennya. Sebelumnya di hari yang sama, pemilik surat kabar Business News, Nizar Bahloul, mengatakan bahwa seorang videografernya ditangkap tetapi kemudian dibebaskan lagi.
”Ini adalah intervensi paling kejam dari pasukan keamanan yang kami alami dalam satu tahun terakhir. Baik itu dari segi metode yang digunakan maupun dari jumlah penangkapan,” kata Fethi Jarray, Ketua Badan Anti-penyiksaan Independen INPT.
”Hari ini satu-satunya respons Saied terhadap lawan dengan menggunakan kekuatan dan pasukan keamanan. Sangat menyedihkan melihat Tunisia berubah menjadi barak tentara, yang bertepatan dengan tanggal peringatan revolusi kita,” kata aktivis oposisi, Chayma Issa, mengacu pada pengerahan besar-besaran pasukan keamanan untuk mengamankan aksi massa.
AFP/FETHI BELAID
Aparat keamanan Tunisia menahan pengunjuk rasa di luar gedung parlemen di Tunis, Tunisia, Senin (26/7/2021). Unjuk rasa mendukung Presiden Kais Saied itu berlangsung menyusul langkah Saied menangguhkan parlemen dan memberhentikan Perdana Menteri Hichem Mechichi.
”Mencegah warga Tunisia yang bebas untuk menggelar aksi protes pada peringatan revolusi sangatlah memalukan. Ini merupakan serangan terhadap kebebasan dan penurunan besar di bawah otoritas kudeta,” kata Imed Khemiri, politisi partai Ennahda di parlemen yang ditangguhkan.
Beberapa pengunjuk rasa meneriakkan, ”Akhiri kudeta!”, mengacu pada langkah Saied pada 25 Juli 2021. Saat itu Saied memecat perdana menteri, menangguhkan parlemen, dan mengambil alih otoritas eksekutif. Langkah itu oleh massa disamakan dengan ”kudeta”.
Dua bulan setelahnya, Saied mengumumkan ”langkah-langkah luar biasa” yang memungkinkan dia untuk memerintah dengan dekrit. Segelintir warga Tunisia yang jenuh dan tidak menyukai sistem parlementer yang tidak kompeten dan sarat dengan korupsi menyambut baik langkah Saied.
Namun, bagi para pengkritiknya, termasuk partai Ennahda ataupun kelompok kiri, menentangnya. Ennahda, partai yang menguasai sebagian besar kursi parlemen, menyebut tindakan Saied sebagai kudeta dan pengkhianatan terhadap Revolusi Musim Semi Arab. Mereka khawatir akan kembalinya praktik otokratis yang lazim terjadi di masa Ben Ali.
Aktivis HAM terkemuka Tunisia, Sihem Bensedrine, yang mengepalai Komisi Kebenaran dan Martabat (IVD), menuduh pihak berwenang merampas hak rakyat Tunisia untuk mengekspresikan protes bebas mereka. Langkah aparat mengancam kebebasan yang diperoleh dengan susah payah di negara itu. ”Kami di sini untuk membela institusi republik,” katanya.
”Orang-orang ini, yang dahulu pernah menggulingkan pemerintahan dikator selama 23 tahun, tidak akan membiarkan diktator lain menggantikannya,” kata Bensedrine, merujuk Ben Ali yang memerintah selama lebih dari dua dekade dengan tangan besi dan merujuk langkah Saied.
AFP/FETHI BELAID
Demonstran meneriakkan slogan-slogan selama protes di Tunis, ibu kota Tunisia, pada 26 September 2021, menentang tindakan terbaru Presiden Kais Saied untuk memperketat cengkeramannya pada kekuasaan. Pada 22 September dia mengumumkan ”langkah-langkah luar biasa” yang memungkinkan dia untuk memerintah dengan dekrit.
Salah satu langkah Saied yang diprotes demonstran adalah pergeseran tanggal peringatan revolusi Tunisia dari 14 Januari (hari kejatuhan Ben Ali, 14 Januari 2011) ke 17 Januari (saat Bouazizi membakar diri, 17 Januari 2011). Langkah itu diprotes massa karena dilihat sebagai simbol pandangan Saied bahwa revolusi telah “dirampas”.
”Ada yang mati sahid, darah berceceran, dan masih ada orang yang terluka dalam revolusi,” kata Olfa Laabidi, seorang demonstran. Dia mengatakan, 14 Januari tetap menjadi simbol revolusi. ”Saied seharusnya membiarkan orang-orang mengekspresikan diri dan merayakan pada tanggal itu.”
Pendukung Ennahda membandingkan Saied dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi yang menindak tegas demonstran pada tahun 2013 dan menyebabkan ratusan orang tewas. Seorang perempuan pengunjuk rasa mengatakan kepada seorang polisi, ”Anda bekerja untuk Sisi dan Uni Emirat Arab!”
Anggota parlemen Ennahda, Yamina Zoghlami, mengatakan bahwa Tunisia menghadapi regresi besar dalam soal HAM. ”Kami tidak akan takut dan kami tidak akan mundur,” katanya. ”Kami percaya pada kebebasan dan demokrasi.” (AFP/REUTERS)