Bayang-bayang ”Perang Bintang” Setelah Rusia Tembak Satelit Usangnya
Sukses rudal Rusia menghancurkan satelit usangnya di orbit Bumi dikhawatirkan memicu perlombaan senjata ruang angkasa. Dalam skenario terburuk, perlombaan ini bisa menggiring negara adidaya ke dalam "perang bintang".
Penghancuran satelit mata-mata Rusia, Kosmos 1408, di luar angkasa dalam uji coba senjata terbaru negara itu pada 15 November 2021 masih menjadi perbincangan berbagai kalangan. Para pakar keamanan, militer, ilmuwan, pemerhati atau peminat antariksa khawatir akan dampaknya.
Tindakan Rusia bisa memicu perlombaan senjata canggih dari aktor lain yang memiliki kepentingan untuk mengamankan aset-aset berbasis antariksa berawak maupun tak berawak mereka. Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa telah mengecam Rusia. Sejumlah pengamat menilai tindakan Rusia merupakan bentuk intimidasi yang lebih luas dan memancing kekuatan lain.
Kosmos 1408 adalah satelit yang sudah usang, diluncurkan ke orbit Bumi rendah (LEO) di era Uni Soviet, 16 September 1982, untuk menggantikan Kosmos 1378. Satelit seberat sekitar 2,5 ton—berat raksasa menurut standar satelit—itu dihancurkan dalam sebuah uji coba sistem rudal antibalistik dan antisatelit baru Rusia, A-235 PL-19 Nudol (PL-19 Nudol).
Baca juga: Uji Rudal Rusia Hasilkan Ribuan Sampah Antariksa, Ancam Keselamatan Astronot
Uji coba itu dilakukan tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu dari Kremlin ke seluruh dunia. Apalagi karena satelit yang ditembaki rudal PL-19 Nudol tersebut, menurut Komando Luar Angkasa AS, telah hancur menjadi lebih dari 1.500 keping dan mengancam banyak pihak.
Ribuan keping atau sampah satelit ini pada gilirannya berpotensi ”menghasilkan ratusan ribu keping puing orbital yang lebih kecil,” seperti dilaporkan The New York Times kala itu.
Puing atau sampah luar angkasa ini merupakan bahaya yang mengancam aset-aset berbasis luar angkasa berawak ataupun tak berawak. Dengan terciptanya bidang baru puing-puing luar angkasa berbahaya di orbit rendah Bumi, uji coba rudal Rusia juga menimbulkan ancaman bagi satelit sipil dan militer serta struktur orbital lainnya, seperti Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Lembaga pemerintah dan astrofisikawan AS memperingatkan, puing-puing baru dapat bertabrakan dengan pesawat luar angkasa besar dan kecil dalam beberapa dekade mendatang. Juga berbahaya bagi aset luar angkasa lainnya.
Orbitnya, kini berupa orbit awan puing yang menyebar, kurang dari 111 km (60 mil) di atas ISS dan kurang dari 111 km di bawah beberapa konstelasi komersial, termasuk satelit internet Starlink-nya SpaceX. Ada risiko tabrakan terhadap operasi luar angkasa yang tengah berlangsung, mengancam personel AS, Rusia, dan Jerman di ISS serta personel China di stasiun luar angkasa Tiangong.
Puing atau sampah luar angkasa sebenarnya bukan monopoli Rusia. Puing juga ditimbulkan oleh penghancuran satelit cuaca AS, NOAA-17, pada 10 Maret 2021. Pada pertengahan bulan yang sama, sensor Space Force mendeteksi adanya puing-puing baru dari satelit Yunan 1-02 milik China yang bertabrakan dengan obyek 48078, bagian dari pecahan roket Zenit-2 Rusia.
Baca juga: Era Baru Persaingan Luar Angkasa
Hal yang membedakannya adalah cara Rusia menghancurkan satelitnya. Rusia mempertontonkan peningkatan kemampuannya yang pesat untuk meledakkan satelitnya di luar angkasa dari darat dengan menggunakan sistem senjata barunya tanpa peringatan lebih dahulu.
Penghancuran Kosmos 1408 menggunakan senjata PL-19 Nudol yang tengah dikembangkan sejak bertahun-tahun lalu oleh Almaz-Antey, kontraktor pertahanan Rusia. Almaz-Antey masuk daftar hitam AS dan Uni Eropa setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 2014. Dilaporkan, PL-19 Nudol dirancang untuk menangkis serangan nuklir ke Moskwa dan kawasan industri Rusia.
Keberhasilan uji coba rudal antisatelit Rusia itu merupakan peningkatan besar operasi militer di luar angkasa negara itu sekaligus menjadi preseden bagi kekuatan besar lainnya untuk meniru langkah serupa. PL-19 Nudol adalah kategori baru teknologi senjata yang belum pernah digunakan Rusia selama ini.
W Robert Pearson dari Pusat Kajian Internasional dan Global di Duke University dan Benjamin L Schmitt dari Harvard University dan Duke University, AS, mengatakan, PL-19 Nudol memiliki dua kemampuan utama. Senjata ini dapat beroperasi sebagai sistem rudal antibalistik di atmosfer dan juga dapat mencapai luar angkasa untuk menghancurkan satelit di LEO.
”Mampu dikerahkan dari platform peluncuran seluler, rudal itu membawa apa yang disebut kendaraan pembunuh kinetik yang mencegat target satelit. Tabrakan yang dihasilkan cukup untuk menghancurkan satelit menjadi berkeping-keping meski tanpa muatan bahan peledak konvensional,” kata keduanya dalam artikel mereka di Foreign Policy, 1 Desember 2021.
Belakangan ini minat pada ruang angkasa sebagai domain militer semakin meningkat. Selama ini angkasa luar umumnya masih terbatas sebagai area penyebaran sistem militer non-ofensif seperti komunikasi, navigasi, pencitraan, dan pengintaian. Belakangan, arsitektur militer luar angkasa meluas, semakin komprehensif, dikembangkan untuk mendukung kegiatan militer di Bumi.
Luar angkasa menjadi wilayah yang semakin diperebutkan. Beberapa tahun terakhir kita telah melihat proliferasi dalam jumlah dan jenis aktor yang beroperasi di luar angkasa. Tiga aktor utama adalah AS, China, dan Rusia. Sejumlah besar negara lain berbaris di belakangnya, antara lain Inggris, Jepang, India, Kanada, Jerman, dan Perancis.
Perancis, misalnya, pada Oktober 2021 telah meluncurkan satelit militer Syracuse-4A ke orbitnya. Satelit ini akan menjamin komunikasi militer negara itu tak akan terhadang. Syracuse adalah bagian dari pengembangan program luar angkasa militer Perancis.
Baca juga: Perancis Luncurkan Satelit Komunikasi Militer, Cegah Agresi Darat-Luar Angkasa
Menurut data Union of Concerned Scientists (UCS) yang dirilis pada 8 Desember 2005 dan dimutakhirkan lagi pada 1 Januari 2021, terdapat 3.372 satelit bertengger di orbit Bumi. Sekitar 77 persen (2.612 unit) berada di orbit Bumi rendah (LEO). Selanjutnya 16,6 persen (562 unit) berada di orbit geosinkron atau geostasioner (GEO) dan 4 persen (139 unit) berada di orbit menengah (MEO).
Dari total satelit itu, 15,5 persen (516 unit) memiliki tujuan militer atau penggunaan ganda. Lebih dari separuh satelit untuk kepentingan militer tersebut (265 unit) berada di LEO. Data mutakhir UCS menyebutkan, terdapat penambahan 1.178 satelit baru hanya dalam kurun waktu 8 bulan, dari Januari hingga Agustus 2021. Dengan demikian, kini total jumlahnya telah menjadi 4.550 satelit di orbit Bumi.
Kombinasi ketinggian yang tergolong rendah dan periode orbit yang pendek menjadikan satelit militer di LEO sangat ideal untuk pengamatan bumi, pencitraan, pengawasan, dan pengintaian. Mengingat sebagian besar satelit militer, komersial, dan sipil juga berada di lingkungan yang sama, saling ketergantungan antara sektor luar angkasa militer, sipil, dan komersial pun tumbuh.
Oleh karena itu, melindungi aset-aset penting berbasis angkasa luar, baik sipil maupun militer, menjadi prioritas negara atau kekuatan besar. Luar angkasa semakin dipandang sebagai domain militer tersendiri karena negara-negara berupaya memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan dan keamanan militer mereka sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, investasi besar digelontorkan beberapa negara, terutama Rusia dan China, demi meningkatkan kemampuan counterspace ofensif yang berpotensi mengancam penggunaan luar angkasa oleh AS dan sekutunya. AS menanggapi dengan menyerukan peningkatan kemampuan counterspace serta adopsi kebijakan dan postur luar angkasa yang lebih agresif.
Baca juga: China Menggoyahkan Kejayaan AS di Luar Angkasa
Apa itu counterspace? Pertama perlu dipahami bahwa tidak ada definisi yang disepakati secara universal tentang ”senjata luar angkasa” atau ”persenjataan luar angkasa”. Secara umum diterima bahwa counterspace adalah kemampuan yang dapat digunakan untuk mengganggu, mengingkari, memindahkan atau menurunkan, dan menghancurkan sistem berbasis luar angkasa.
Claire Mills dari The House of Commons Library, bagian layanan penelitian dan informasi Parlemen Inggris, menyebutkan, kemampuan counterspace bisa bersifat kinetik dan non-kinetik. Bersifat kinetik artinya melibatkan serangan fisik langsung pada aset ruang angkasa atau gangguan fisik terhadap obyek untuk memindahkannya keluar dari orbit yang stabil.
Sementara kemampuan non-kinetik memiliki dampak atau efek pada target tanpa kontak fisik yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengganggu kapasitas aset dalam mengirim dan menerima, melalui jamming atau spoofing (elektronik) atau berbasis saiber, yang menargetkan sistem luar angkasa lewat data dan perangkat lunak mereka.
Kemampuan itu juga bisa diluncurkan dari darat (earth-to-space) atau berbasis luar angkasa (space-to-space). Dalam pembahasan ”senjata luar angkasa”, para analis juga semakin fokus pada kemungkinan jangka panjang dari aset berbasis luar angkasa yang mampu menyerang target di Bumi (space-to-earth).
Kemampuan counterspace beragam. Bisa digunakan baik dalam serangan satu kali maupun sebagai bagian dari perluasan konflik yang ada. Jenderal AS David Thompson kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat pada April 2021 menyebutkan, ”satu-satunya tantangan terbesar terletak pada kebutuhan untuk melawan semuanya sekaligus”, seperti dikutip situs internal komite.
Saat ruang menjadi lebih intensif digunakan oleh berbagai kekuatan, terutama oleh tiga negara yang sering bersitegang, yakni Rusia, China, dan AS, maka ketegangan geopolitik bisa meningkat di banyak bidang. Akan menjadi bencana jika tiga kekuatan luar angkasa utama dunia itu terperangkap saling curiga dan melihat eskalasi militer sebagai satu-satunya pilihan mereka.
Sudah saatnya untuk memastikan penggunaan yang aman dari orbit dekat Bumi dan menangani eskalasi berbahaya dari teknologi antisatelit. Washington ketika mengecam uji coba Rusia sebagai ”tindakan sembrono”, belum juga mengambil upaya diplomatik. Kelambanan ini disayangkan para pengamat, mengingat uji coba itu merupakan bagian dari rangkaian intimidasi yang lebih luas oleh Moskwa, termasuk dalam isu Ukraina, senjata nuklir, dan dunia maya.
Ketika Presiden AS Joe Biden terlibat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai Ukraina, destabilisasi luar angkasa Moskwa harus menjadi agenda diplomasi ke depan. Selain keterlibatan bilateral AS-Rusia, penetapan norma peraturan untuk kegiatan luar angkasa merupakan tantangan global yang membutuhkan pendekatan multilateral.
Baca juga: Sensitivitas Hubungan AS-Rusia
Beberapa ahli menduga uji coba senjata luar angkasa Rusia dapat menjadi upaya untuk menunjukkan kemampuan strategis baru sebelum penetapan norma yang bisa membatasi pengujian di masa depan. Perlu diadakan pertemuan puncak global untuk membahas masa depan keamanan luar angkasa, termasuk soal kode tata perilaku yang bertanggung jawab untuk perdamaian.
Komitmen terhadap keselamatan dan keamanan lingkungan operasi ruang angkasa yang bebas dari gangguan perlu diperkuat. Namun, minimnya peraturan atau norma internasional yang mengatur kode tata perilaku yang bertanggung jawab di luar angkasa dan rendahnya keinginan untuk memajukan agenda itu bisa memicu ketakutan akan perlombaan senjata baru. (AFP/REUTERS/AP)