Kepemimpinan G-20 Indonesia, Kesempatan yang Tak Boleh Meleset
Kementerian Luar Negeri telah menjabarkan target kebijakan politik luar negeri 2022. G-20 menjadi andalan penerapannya. Kini tinggal melihat kepercayaan diri pemerintah melaksanakannya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Tangkapan layar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi saat memberi pernyataan pers tahun 2022 secara daring di Jakarta, Kamis (6/1/2022).
Tahun 2022 semestinya bisa menjadi tahun milik Indonesia. Kepemimpinan kelompok 20 perekonomian terbesar di dunia atau G-20 berada di tangan Indonesia hingga 30 November nanti. Sesuai yang dikatakan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi ketika merampungkan pernyataan pers tahunan, Kamis (6/1/2022), kepemimpinan G-20 akan menjadi senjata pendongkrak kekuatan Indonesia untuk memajukan diplomasi di segala aspek.
Retno menuturkan bahwa kepemimpinan Indonesia di G-20 akan berbeda dengan negara-negara pendahulu. Pasalnya, Indonesia memiliki sejumlah keunikan, antara lain sebagai negara berkembang, berpengaruh di Asia Tenggara, memiliki penduduk mayoritas muslim, dan memiliki perhatian terhadap pemberdayaan perempuan.
Baik dalam pemaparannya maupun berbagai wawancara sebelumnya, Retno menekankan niat serta kapasitas Indonesia sebagai jembatan untuk berbagai isu, mulai dari menjembatani budaya Timur dengan Barat, kepentingan negara kaya dengan berkembang ataupun miskin, serta penengah di tengah panasnya situasi di kawasan Indo-Pasifik.
Pada 2021, persaingan terjadi di mana-mana. Di sektor penanganan pandemi Covid-19, ada perubahan positif dibandingkan tahun 2020. Namun, perubahan itu tidak terjadi secepat yang diinginkan. Kesetaraan pengadaan akses vaksin bagi semua penduduk dunia terhambat.
Retno mengatakan, Indonesia merupakan salah satu pemimpin di Covax, program pengadaan vaksin Covid-19 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, Covax beserta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengampanyekan pentingnya meninggalkan pemikiran nasionalisme vaksin. Namun, imbauan ini tidak didengar oleh negara-negara maju.
AGUS SUPARTO
Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan Menlu AS Antony Blinken di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/12/2021) sore. Hadir mendampingi Presiden Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Adapun Menlu Blinken didampingi Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Y Kim.
Sebanyak 70 persen vaksin global hingga akhir tahun 2021 disuntikkan di negara-negara maju dan berkembang. Bahkan, dilihat lebih rinci, sebanyak 40 persen vaksin terpusat di negara-negara maju. Ketika mereka sudah menyuntik 60 persen penduduk, dunia hendak menarik napas lega karena mengira dosis vaksin yang tersisa bisa segera disumbangkan kepada negara miskin yang membutuhkan. Ternyata, negara maju jalan sendiri dengan program dosis penguat (booster).
Demikian pula di sektor keamanan dan pertahanan. Hubungan antara Amerika Serikat, Rusia, dan China semakin menurun. Puncaknya pada 2021 terbentuk pakta pertahanan antara AS, Inggris, dan Australia (AUKUS) yang dikhawatirkan mengganggu kestabilan Indo-Pasifik. Selain itu, juga ada desakan kepada negara-negara di Asia Tenggara oleh AS untuk menjauh dari China.
”Kebijakan luar negeri Indonesia itu multidimensional. Kerja sama antarnegara sangat tergantung isu yang dihadapi. Jadi, ini salah satu kekuatan kita karena kita merdeka untuk memilih kemitraan yang akan dijalani. Ini pula yang membuat negara-negara adidaya memahami bahwa Indonesia walaupun memiliki berbagai kerja sama intensif dengan suatu pihak, tidak berarti akan bersekutu dengan pihak tersebut,” kata Retno dalam wawancara eksklusif dengan Kompas pada November 2021.
Otonomi strategis
Pernyataan Retno disepakati oleh peneliti isu luar negeri Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Emilia Yustiningrum, ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (8/1/2022). Menurut dia, kekuatan dan kewibawaan Indonesia ada pada otonomi yang strategis ini. Indonesia akan terus menolak pembangunan basis militer asing di wilayahnya sehingga tidak akan bergabung pada aliansi mana pun.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (kanan) dan Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menandatangani Rencana Aksi untuk penguatan hubungan Indonesia-Perancis, Rabu (23/11/2021), di Jakarta. Selain Retno, Le Drian juga menemui Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri.
Menurut Emilia, kekuatan Indonesia adalah pada kapasitas nonmaterial yang dimiliki. Demokrasi di Indonesia telah terlaksana hingga ke pemerintahan terendah; diskusi mengenai G-20 tidak hanya di kalangan pemerintah dan elite politik, tetapi melibatkan pengusaha kecil dan menengah serta peneliti; pemberdayaan perempuan berjalan; dan terlepas dari berbagai permasalahan internal, kerukunan antarumat beragama relatif berjalan. Bahkan, demokrasi di Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan demokrasi yang berusaha dibangun oleh AS melalui kampanye militer mereka di Timur Tengah.
”Ini kekuatan Indonesia untuk mendekati pihak-pihak yang saling bertentangan. Misalnya, kepada Rusia dan China kita jelas tidak disetir oleh Barat. Pada saat yang sama, kepada Barat kita menunjukkan bahwa nilai demokrasi Indonesia terus terlaksana. Soal kesempurnaan penerapannya, ini masalah yang dihadapi semua negara demokrasi. Hal terpenting ialah Indonesia memiliki kekuatan untuk mendesak Barat maupun pihak yang bertentangan dengan mereka,” tuturnya.
Indonesia memiliki berbagai kendaraan yang bisa menyokong kepemimpinan di G-20, mulai dari ASEAN, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), hingga Covax. Ini semua tinggal kepercayaan diri Indonesia untuk maju dan menawarkan ide-ide tersebut kepada forum tingkat dunia.
Kepercayaan diri ini pula yang semestinya bisa menjadi kekuatan pendorong ketegasan ASEAN terhadap situasi di Myanmar. ASEAN bisa dikatakan menjadi panggung pertama untuk melihat seberapa mumpuni Indonesia sebelum terjun ke forum yang lebih besar. Indonesia sebagai salah satu pendiri sekaligus kekuatan terbesar di ASEAN diharapkan bisa mengupayakan terlaksananya lima poin konsensus ASEAN untuk menghentikan kekerasan di Myanmar. Caranya junta berhenti mempersekusi rakyat, bukan meminta rakyat berhenti melawan junta.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional Singapura Kishore Mahbubani dalam kuliah umumnya untuk Golkar Institute pada Oktober 2021 menjelaskan, kestabilan Indonesia menangani pandemi pascapemilu presiden tidak boleh dianggap seperti angin lalu oleh dunia dan warga Indonesia sendiri. ”Indonesia memiliki watak paling berkepala dingin dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Ini kembali ke kepandaian Indonesia memanfaatkan kesempatan,” ujarnya.