Unjuk Rasa Tak Kunjung Henti, Presiden Kazakhstan Bubarkan Kabinet
Protes kenaikan harga elpiji di Kazakhstan melebar menjadi protes terhadap kinerja pemerintah. Presiden pun membubarkan kabinet.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
ALMATY, RABU — Protes kenaikan harga bahan bakar di sejumlah kota di Kazakhstan mengakibatkan Presiden Kassym-Jomart Tokayev memutuskan mengumumkan situasi gawat darurat. Upaya dia memangkas harga bahan bakar hingga setengahnya tidak ditanggapi dengan hangat oleh publik. Kabinet di bawah Perdana Menteri Askar Mamin pun dibubarkan.
Tokayev menerima surat pengunduran diri dari Mamin di Almaty, pusat ekonomi dan keuangan negara tersebut pada Selasa (5/1/2022). Wakil Perdana Menteri Kazakhstan Alikhan Smilov maju sebagai pelaksana tugas perdana menteri sampai kabinet yang baru dibentuk presiden.
”Menyusul pembubaran kabinet, saya mengumumkan bahwa kota Almaty dan Provinsi Mangystau masuk ke dalam keadaan darurat selama dua pekan ke depan,” kata Tokayev. Ia juga meminta agar massa pengunjuk rasa segera pulang ke rumah masing-masing.
Almaty dan Mangystau merupakan dua daerah dengan unjuk rasa terbesar. Di tempat ini, akan diberlakukan jam malam pukul 23.00 hingga 07.00 setiap hari selama dua pekan. Pemerintah Kazakhstan juga memblokir aplikasi komunikasi Whatsapp, Telegram, dan Signal agar tidak ada unggahan yang bisa memicu kemarahan massa. Dalam unjuk rasa sejak 2 Januari ini, tercatat 100 petugas polisi luka-luka akibat bentrok dengan massa.
Inflasi
Kazakhstan merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tengah yang kaya akan mineral. Di negara ini, bahan bakar minyak dan gas memiliki harga yang sangat murah. Akan tetapi, sama seperti Rusia dan negara-negara tetangganya, pandemi Covid-19 mengakibatkan inflasi yang meningkatkan harga berbagai macam komoditas.
Selama ini, Kazakhstan memiliki harga gas cair (LPG/elpiji) murah sehingga masyarakat beramai-ramai mengganti kendaraan mereka agar berbahan bakar LPG, bukan bensin ataupun solar. Gara-gara inflasi, harga elpiji naik dua kali lipat menjadi 120 tenge atau setara dengan Rp 3.954 per liter. Hal ini memicu kenaikan harga komoditas lebih banyak lagi setelah sebelumnya naik semenjak pandemi dan pelambatan ekonomi.
Masyarakat di Provinsi Mangystau yang bergantung pada harga elpiji yang murah untuk transportasi dan pengangkutan logistik melakukan unjuk rasa. Tidak lama, protes menjalar ke kota Almaty dan beberapa kota lain di luar Mangystau. Para pendemo membakar ban dan menyerang kendaraan polisi.
Tokayev kemudian memberlakukan pembatasan harga elpiji menjadi 50 tenge per liter. Ia juga mengumumkan bahwa pembatasan harga turut diberikan untuk bensin, solar, dan barang-barang kebutuhan pokok. Pemerintah daerah diminta segera membuat kebijakan masing-masing yang bisa meringankan beban masyarakat.
”Silakan kembangkan peraturan daerah terkait kepailitan pribadi. Ini juga diiringi dengan pembekuan sementara cicilan utang ataupun sewa rumah bagi keluarga miskin,” kata Tokayev.
Namun, kebijakan ini tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat. Unjuk rasa yang menentang kenaikan harga elpiji itu kemudian melebar menjadi protes terhadap kinerja pemerintah, korupsi, nepotisme, dan birokrasi yang berbelit-belit.
Ekonom dari Renaissance Capital, Charlie Robertson, ketika diwawancara Financial Times, menjelaskan bahwa permintaan masyarakat ini harus dipenuhi dengan cara pemerintah memberikan sesuatu yang lebih. Wujudnya bisa berupa meningkatkan standar upah minimum rata-rata, insentif pajak, ataupun pembekuan cicilan utang yang lebih luas.
”Ini sudah melebar ke isu politik. Jadi, penyelesaiannya harus berupa sesuatu yang dianggap bermakna bagi masyarakat yang memilih pemerintahan,” ujarnya. (Reuters)