Arah Baru Pembangunan Global dan Orkestrasi Indonesia di G-20
Paradigma baru pembangunan, yang dilandasi pada keberpihakan pada manusia dan lingkungan, harus menjadi fondasi utama pemulihan pascapandemi Covid-19. Ini semua untuk masa depan dan generasi mendatang yang lebih baik.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Kompas
Pemanfaatan energi kincir angin meningkat pascabencana Fukushima. Sebanyak 22.287 turbin di Jerman telah menghasilkan 30 gigawatt listrik. Energi ramah lingkungan akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menggantikan nuklir dan fosil. Suasana di kawasan area kincir angin Ulrichstein, Jerman, Minggu (15/7).
Keputusan Pemerintah Jerman menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklir dari enam PLTN miliknya pada akhir 2021 bukanlah keputusan yang dibuat dalam satu hari. Bukan dadakan. Ini keputusan yang telah digaungkan sejak tahun 1990-an dan kemudian ditetapkan sebagai desain ketersediaan energi Jerman di era 2000-an oleh kanselir Jerman saat itu, Gerhard Schroeder.
Schroeder memutuskan agar Jerman mencari sumber energi alternatif baru sebagai pengganti nuklir. Meski banyak kalangan menilai nuklir sebagai sumber energi dengan emisi rendah, Pemerintah Jerman memutuskan tetap menghentikan penggunaannya karena efek jangka panjangnya. Bahan radioaktif berbahaya tidak hanya untuk satu atau dua generasi, tetapi hingga puluhan ribu generasi mendatang.
Kini, tiga dekade berselang, ketergantungan Jerman pada energi fosil dan nuklir jauh berkurang. Melihat data pemanfaatan energi yang tersaji di laman Kementerian Ekonomi dan Aksi Iklim Pemeritah Federal Jerman dan Clean Energy Wire, penggunaan energi terbarukan memuncaki daftar sumber energi yang digunakan di negara itu. Penggunaan gas alam dan sumber matahari sebagai sumber energi juga terus meningkat.
Masih ada penggunaan batu bara, tetapi jumlahnya sudah jauh berkurang. Minyak sebagai sumber energi berada di paling bawah sumber energi di Jerman saat ini.
Masa depan
Di luar pandemi Covid-19 yang sudah mendekap manusia hampir dua tahun terakhir dan meluluhlantakkan perekonomian global, bencana datang silih berganti. Di Amerika, gelombang panas dan banjir datang bersamaan, mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dan hewan ternak. Kehidupan warga juga terdampak.
Warga dunia juga menyaksikan penderitaan warga Filipina akibat dampak yang ditimbulkan oleh Topan Rai. Angin kencang menerjang dan meluluhlantakkan wilayah tengah dan selatan negara itu. Pembangunan kembali wilayah terdampak butuh waktu dan dana yang tidak sedikit.
(STEFAN PUCHNER/DPA VIA AP)
Uap keluar dari dua boiler di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Gundremmigen, Bavaria, Jumat (31/12/2022).
Dua contoh di atas adalah hanya fragmen kecil dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim di bumi. Di tengah pembatasan gerak warga karena pandemi, bumi tidak ”mendingin”, tetapi semakin panas. Kajian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut, suhu Benua Asia sepanjang tahun 2020 meningkat hingga 1,39 derajat celsius dibanding periode 1991-2010.
Kengerian yang ditimbulkan oleh bencana di masa depan, buah ”investasi” yang ditanam para pengambil kebijakan masa lampau, telah terbayang oleh generasi sekarang. Hasil penelitian tim gabungan di Universitas Bath, Inggris, terhadap 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun dari 10 negara, mengungkapkan 75 persen dari mereka khawatir atas dampak perubahan iklim.
Sebanyak 45 persen bahkan mengaku cemas dan stres yang berlebihan sehingga berujung pada terganggunya kegiatan mereka sehari-hari. Kerusakan lingkungan kronis, kemiskinan, kelaparan hingga kehilangan tempat tinggal adalah dampak yang nyata akibat perubahan iklim. Ditambah lagi, hasil konferensi terakhir tentang iklim (COP 26) mengecewakan (Kompas.id, 10 November 2021).
Kompas
Foto udara yang dirilis oleh Angkatan Laut Filipina pada 22 Desember 2021 memperlihatkan kerusakan di Kota San Jose, Pulau Dinagat, yang luluh lantak akibat terjangan Topan Rai.
Indonesia, yang mendapat giliran Presidensi G-20, kelompok gabungan negara-negara ekonomi terbesar dunia, diharapkan bisa melakukan orkestrasi gerak bersama untuk membendung atau setidaknya mengurangi laju pemanasan global lebih parah. Dengan ambisi menjadi jembatan harapan bagi negara miskin dan negara berkembang dalam menyuarakan ketidakadilan iklim, salah satu agenda utama yang diusung, Indonesia harus menagih janji yang diutarakan para pemimpin dunia untuk membantu mengurangi penggunaan energi fosil dalam proses pembangunannya.
Green Development, pembangunan dengan paradigma yang lebih bersesuaian dengan lingkungan dan dampaknya yang ditimbulkannya, harus menjadi paradigma baru dalam proses mengejar ketertinggalan pembangunan dan kesejahteraan di negara-negara miskin dan global pascapandemi Covid-19. Jejak karbon yang ditinggalkan negara-negara kaya dalam pembangunan jauh lebih besar berkali-kali lipat dibandingkan dengan jejak karbon yang diproduksi negara miskin dan berkembang. Studi SEI dan Oxfam pada 2020 menunjukkan, konsumsi 1 persen orang terkaya di dunia ini mendorong emisi karbon dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gabungan dari 50 persen populasi termiskin di seluruh dunia.
Moto Presidensi G-20 Indonesia, yakni Recover Together, Recover Stronger, akan lebih bermakna apabila ditambah dengan Recover Better, pemulihan yang lebih baik. Bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang umat manusia.