Kebebasan Berpendapat di Hong Kong Kian Diberangus
Kebebasan pers di Hong Kong kian terkikis. Aparat kepolisian kembali menggerebek media massa yang dinilai memublikasikan tulisan yang menghasut. Kali ini, enam pekerja media Stand News juga ikut ditahan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
HONG KONG, RABU — Kebebasan berpendapat dan berekspresi di Hong Kong kian terkekang. Enam pekerja media daring prodemokrasi, Stand News, termasuk di antaranya anggota staf senior, ditahan aparat kepolisian keamanan nasional Hong Kong setelah kantor Stand News digerebek. Alasan penahanan mereka adalah karena ”menerbitkan informasi yang menghasut”. Padahal, China pernah berjanji justru akan melindungi hak-hak individu rakyat Hong Kong.
Stasiun televisi di Hong Kong, TVB, menyebutkan, enam orang yang ditahan itu termasuk mantan anggota dewan penasihat yang juga mantan anggota parlemen Margaret Ng, penyanyi Denise Ho yang juga pernah menjadi anggota dewan penasihat, dan pemimpin redaksi sementara Patrick Lam. Keenam orang yang ditahan terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan berusia 34-73 tahun.
Kepolisian Hong Kong dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (29/12/2021), menyebutkan ada 200 polisi yang menggerebek kantor media daring itu karena sedang mencari dan menyita materi-materi jurnalistik yang dicurigai menghasut. Selain menggerebek kantor, aparat kepolisian juga menggeledah rumah keenam orang yang ditahan.
Sebenarnya penghasutan tidak termasuk tindak kejahatan jika merujuk pada Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan China pada Hong Kong, Juni 2020. Namun, pengadilan baru-baru ini memutuskan membebaskan pihak berwenang menggunakan kekuasaan yang diberikan pada UU baru untuk menerapkan UU era kolonial yang sebelumnya jarang digunakan. Di dalamnya termasuk UU Kejahatan yang mencakup penghasutan.
Otoritas keamanan mengaku UU Keamanan Nasional itu berhasil memulihkan ketertiban setelah gelombang protes prodemokrasi tahun 2019 yang berakhir rusuh. Pihak berwenang juga mengklaim UU itu tidak mengekang hak dan kebebasan. Sebaliknya, kelompok prodemokrasi menuding UU Keamanan Nasional itu menjadi senjata untuk meredam perbedaan pendapat.
Pada awal tahun ini, Stand News akan menangguhkan langganan serta menghapus sebagian besar opini dan kolom dari situs webnya karena UU Keamanan Nasional. Enam anggota dewan penasihat juga sudah mengundurkan diri dari Stand News.
Sebelum penggerebekan di Stand News, ratusan aparat kepolisian juga menggerebek kantor harian prodemokrasi, Apple Daily, milik Jimmy Lai, Juni lalu, dan sejumlah anggota staf ditahan karena dugaan bekerja sama dengan negara asing. Setelah penggerebekan, harian itu kemudian tutup setelah aset-asetnya dibekukan.
Otoritas Hong Kong berulang kali mengkritik Stand News. Kepala Keamanan Hong Kong Chris Tang menuding media itu memublikasikan laporan-laporan yang bias, berlebihan, dan menjelek-jelekkan kondisi penjara. Dan puncak dari sikap otoritas setempat mewujud pada penggerebekan itu.
Hong Kong selama ini menjadi pusat media regional, tetapi sayangnya kebebasan pers di kota itu kian terkikis. Aktivis Hong Kong yang kini pindah ke negara lain, Nathan Law, berkomentar dalam Twitter-nya. Ia menyebutkan, penahanan keenam pekerja media itu menghambat upaya mereka bicara kebenaran.
Sunny Cheung, aktivis yang kini tengah mencari suaka di Amerika Serikat, mengatakan, Pemerintah China berusaha mempersempit ruang gerak kelompok oposisi. Penggerebekan dan penahanan ini menyusul pemindahan patung dan karya seni lain yang mendukung demokrasi dari kampus-kampus pada pekan lalu. Patung dan karya seni yang dipindahkan itu terkait dengan unjuk rasa demokrasi di Lapangan Tiananmen, China, pada tahun 1989. (REUTERS/AFP/AP)