ASEAN tak berdaya mengatasi situasi di Myanmar sejak krisis Rohingya hingga kudeta militer 2021. Penyelesaian isu Myanmar menjadi kunci memulihkan marwah atau kehormatan ASEAN.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Dalam Pertemuan Para Pemimpin ASEAN di Sekretariat ASEAN, Jakarta, 24 April 2021, optimisme mencuat setelah terbentuk lima poin konsensus ASEAN. Hasil ini dianggap bisa membantu menyelesaikan permasalahan internal Myanmar. Walau banyak pihak juga mengkritik ASEAN terlalu lambat bergerak karena pertemuan itu baru digelar tiga bulan setelah kudeta militer 1 Februari, hasil pertemuan pemimpin ASEAN itu diharapkan menjembatani upaya pemulihan situasi di Myanmar.
Lima poin konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, dialog konstruktif di antara semua pihak untuk mencari solusi damai, penunjukan utusan khusus ASEAN sebagai fasilitator mediasi dan dialog, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan terakhir adalah kunjungan utusan khusus disertai delegasi untuk bertemu semua pihak terkait.
Akan tetapi, optimisme itu pupus setelah junta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing menetapkan berbagai syarat untuk mengimplementasikan lima poin konsensus ASEAN. Hingga saat ini tidak ada tanda-tanda junta militer bergerak melaksanakan lima poin konsensus itu.
Kini yang terjadi adalah perang saudara, perang antara warga sipil dan militer, antara pemilik senjata dan peralatan tempur yang masif dengan warga sipil yang mungkin hanya dibekali kemampuan tempur seadanya.
Data terbaru Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) menunjukkan, sebanyak 1.375 warga sipil Myanmar tewas di tangan junta. Tindakan junta militer pun lebih brutal, yaitu penghilangan nyawa warga sipil dengan cara membakar jenazah mereka.
Sehari sebelum umat Kristiani merayakan Natal, laporan Kelompok Aktivis Hak Asasi Manusia Karenni menyebut 30 orang warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, ditembak mati dan tubuh mereka dibakar. Peristiwa itu, seperti dilansir Al Jazeera dan BBC, terjadi di Desa Mo So, Hpruso, Negara Bagian Kayah.
Pada awal Desember, sebanyak 13 warga sipil dibunuh dan jenazah mereka dibakar di dekat kota Monywa, Sagaing. Dari jumlah itu, lima orang di antaranya adalah remaja.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa Tom Andrews menyebutkan, laporan-laporan terbaru yang menyebutkan ada ”pembantaian” warga sipil sangat mengganggu dan seharusnya menggerakkan dunia internasional lebih cepat dan tegas. Ia menambahkan, rakyat Myanmar butuh dukungan internasional untuk menjatuhkan sanksi yang lebih kuat dan embargo senjata yang lebih tegas kepada junta. Pada saat yang sama, rakyat Myanmar butuh bantuan kemanusiaan.
ASEAN diabaikan
Berharap ada itikad baik dari junta militer Myanmar untuk menaati mungkin bukan pilihan langkah yang baik saat ini. Hal ini sudah dibuktikan saat junta memilih mengabaikan lima poin konsensus ASEAN dan memerangi rakyat Myanmar.
Sebagai anggota ASEAN, Myanmar diharapkan dan terikat untuk mengimplementasikan Piagam ASEAN sebagai kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN. Dalam Piagam ASEAN itu, antara lain, disebutkan dengan jelas bahwa rakyat negara-negara anggota ASEAN mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan HAM, serta kebebasan fundamental. Situasi di Myanmar saat ini menunjukkan sebaliknya: Piagam ASEAN dijungkirbalikkan.
Junta militer Myanmar membenarkan tindakan yang diambilnya dan berlindung pada prinsip non-intervensi, prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri setiap anggotanya. Namun, dampak meluasnya konflik sudah dirasakan beberapa negara tetangga, Thailand dan India. Ribuan warga Myanmar memilih mengungsi ke dua negara tersebut.
Oren Samet, mahasiswa program doktoral pada Departemen Ilmu Politik UC Berkeley, AS, dalam tulisan di Foreign Policy, menyebut ASEAN bukanlah kumpulan negara yang bisa mengatasi masalah seperti ini. ASEAN, menurut Samet, melakukan langkah-langkah serupa untuk mengatasi permasalahan kudeta militer seperti ketika mencoba mengatasi persoalan genosida kelompok Muslim Rohingya.
Satu-satunya langkah konkret yang bisa ditawarkan hanya memberikan bantuan kemanusiaan, sama seperti yang ditawarkan kepada warga Rohingya. Menurut Samet, hal itu adalah kegagalan ASEAN secara keseluruhan.
Pilihan untuk melakukan komunikasi dengan Tatmadaw—sebutan untuk militer Myanmar—pun tidak berdampak bagus bagi ASEAN dalam upaya mencegah meluasnya konflik. Thailand dan Kamboja, yang dinilai dipercaya oleh junta dan diyakini bisa menghubungkan negara anggota ASEAN lainnya, berbeda sikap dengan negara anggota ASEAN lainnya. Dua negara itu memilih tidak berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah Myanmar.
Sikap berbeda yang ditunjukkan Kamboja, Ketua ASEAN 2022, memicu kekhawatiran bahwa nantinya ASEAN hanya akan menjadi cap stempel legitimasi junta militer dengan memberikan karpet merah kepada Jenderal Min Aung Hlaing atau anggota pemerintahannya. Bila hal itu terjadi, ASEAN bisa menjadi bulan-bulanan dunia dan menjadi sasaran kemarahan rakyat Myanmar.
Negara-negara ASEAN harus mengingatkan Kamboja agar hal itu tidak terjadi. Pada saat yang sama, para pemimpin ASEAN atau setidaknya pada level menteri luar negeri harus kembali bertemu, berunding, menentukan langkah-langkah strategis dan terukur untuk melaksanakan lima poin konsensus para pemimpin ASEAN.
Berbarengan dengan itu, dukungan internasional menjadi sangat penting bagi ASEAN agar bisa menciptakan suasana yang lebih aman dan nyaman bagi rakyat Myanmar.
Utang kepada Rohingya
Satu hal lain yang tidak bisa ditinggalkan oleh ASEAN dan masyarakat internasional adalah nasib warga minoritas Rohingya. Hampir 1 juta warga Rohingya yang saat ini tinggal di kamp pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh, menanti uluran tangan dunia internasional, termasuk negara-negara ASEAN. Mereka ingin kembali ke kampung halamannya di Rakhine untuk diterima dan hidup berdampingan dengan rakyat Myanmar lainnya.
Ada secercah harapan bagi warga Rohingya ketika kelompok oposisi junta, Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) menyatakan bersedia mengakui warga Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Namun, hal yang harus ditempuh adalah mengamendemen UU Kewarganegaraan 1982 yang selama ini digunakan Pemerintah Myanmar, termasuk Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai landasan menolak keberadaan warga Rohingya.
Memutus mata rantai rasialisme yang selama ini tumbuh subur di Myanmar terhadap warga etnis minoritas Rohingya membutuhkan waktu dan kesabaran. Sikap rasis tidak hanya tumbuh subur di antara sesama rakyat, tetapi juga di elemen demokrasi, seperti Aung San Suu Kyi. Suu Kyi membela tindakan militer terhadap warga Rohingya di sidang Mahkamah Internasional Den Haag.
Tun Khin, Presiden Organisasi Warga Rohingya Burma di Inggris, dalam sebuah diskusi daring awal Desember lalu, mengatakan, pernyataan NUG melegakan banyak warga Rohingya. Diharapkan hal itu bisa diimplementasikan.
Misi ASEAN di Myanmar pada akhirnya tidak hanya untuk mencari solusi terbaik situasi di negara itu, tetapi juga solusi bagi masa depan warga Rohingya yang selama ini tenggelam oleh isu kudeta militer.
--------------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: