Membaca Perubahan Strategi Eropa soal Laut China Selatan
Pergeseran strategi Eropa soal Laut China Selatan menggarisbawahi perubahan luar biasa dibandingkan sikap mereka di masa lalu. Eropa tak ingin, ada gangguan pada kepentingan perdagangan dan investasinya di Asia Pasifik.
Kapal fregat Jerman, Bayern, sedang berlabuh di Pangkalan Angkatan Laut Singapura di Changi, sejak 20 Desember hingga awal Januari 2022. Untuk sampai ke Singapura, kapal yang membawa 232 pelautnya itu melintasi Laut China Selatan, wilayah maritim yang paling bergolak di dunia saat ini.
Bayern berlayar dari Jepang setelah sebelumnya dari Darwin, Australia. Kehadirannya di Laut China Selatan (LCS) dan Asia Tenggara merupakan bagian dari misi enam bulan Bayern di Indo-Pasifik. Bayern muncul di LCS kurang dari tiga minggu setelah para pejabat Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) bertemu di Washington DC, AS, awal Desember ini.
Dalam pertemuan itu, UE dan AS menyatakan keprihatinan yang serius atas ”tindakan problematik dan sepihak” China di LCS, seperti dilaporkan situs berita Al Jazeera. Jerman adalah negara anggota UE dan kadang disebut sebagai pemimpin UE karena kekuatan ekonominya. Kehadiran kapal Jerman menjadi simbolisme kekuatan UE di Indo-Pasifik.
Kapal fregat Jerman itu merupakan rangkaian terakhir dari rombongan kapal perang Eropa di LCS tahun ini. Kapal Inggris, Perancis, dan Belanda sudah lebih awal melintasi LCS pada pertengahan 2021. Jerman dan Perancis adalah kekuatan utama UE, yang bersama Inggris menjadi tiga kekuatan utama Eropa.
Baca juga: Misi Kapal Fregat Jerman di Laut China Selatan dan Penolakan China
Saat berlayar di LCS pada tahun 2021, negara-negara Eropa itu seperti sedang melakukan napak tilas misi pelaut Portugis lima abad silam. Pada abad ke-16, Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang mengirim pelautnya ke LCS, mengamati, dan mencatat ribuan pulau dan terumbu karang di sana.
Sudah berabad-abad berlalu Angkatan Laut Eropa memainkan peran utama di LCS. Namun, belakangan ini kapal perang Eropa menjadi lebih hadir lagi di LCS.
Eropa mempertimbangkan kembali strategi mereka untuk menghadapi kebangkitan China yang semakin kuat di kawasan. Klaim sepihak China berdasarkan ”sembilan garis putus-putus”, yang diikuti militerisasi di LCS, memicu konflik dengan negara pengeklaim saingan China dan juga sekutu AS di kawasan.
Pergeseran sikap UE
Sebagian besar Eropa, terutama negara-negara kontinental, selama ini bersikap netral terhadap sengketa LCS. Mereka tidak memihak China atau negara pengklaim lainnya di LCS. Namun, April lalu, UE tiba-tiba mengeluarkan pernyataan sikap yang menegaskan bahwa ketegangan di LCS ”membahayakan perdamaian dan stabilitas di kawasan” dan UE menjunjung kebebasan navigasi.
Pergeseran strategis Eropa soal LCS menggarisbawahi perubahan luar biasa, meskipun tidak tiba-tiba, jika dibandingkan sikap mereka di masa lalu. Perilaku agresif Beijing telah mengubah sikap negara-negara Eropa itu. Meski China tumbuh lebih kuat secara militer dan ekonomi, para pengamat mengatakan bahwa China lemah secara diplomatik dan politik.
Baca juga: AS-Eropa Satukan Langkah Hadapi Rivalitas China
UE memperingatkan bahaya dari ”setiap tindakan sepihak yang dapat merusak stabilitas regional dan tatanan berbasis aturan internasional”. UE menyerukan ”semua pihak” mematuhi putusan Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) 2016 yang menolak sebagian besar klaim China atas wilayah perairan LCS. Namun, Beijing menolak keputusan PCA yang berbasiskan UNCLOS 1982 itu.
Pada April lalu, Dewan UE mengumpulkan para menteri luar negeri di bloknya dan meneken dokumen Strategi UE untuk Kerja Sama di Indo-Pasifik. Dokumen itu menyuarakan kekhawatiran AS dan sekutu regionalnya, seperti Australia dan Jepang, dalam menentang klaim tegas China di LCS.
Dokumen yang diadopsi oleh 27 negara anggota UE ini menunjukkan pengakuan UE akan semakin pentingnya Indo-Pasifik, termasuk LCS. Hal ini juga menunjukkan komitmen blok tersebut untuk memperkuat perannya dalam kerja sama dengan mitranya di kawasan.
Kawasan Indo-Pasifik mewakili pusat gravitasi ekonomi dan strategis dunia. Indo-Pasifik yang dihuni 90 persen populasi dunia itu menghasilkan 60 persen dari PDB global, menyumbang dua pertiga dari pertumbuhan global saat ini. Pada tahun 2030, mayoritas (90 persen) dari 2,4 miliar anggota baru kelas menengah yang memasuki ekonomi global diperkirakan akan tinggal di Indo-Pasifik.
Kerja sama di Indo-Pasifik sangat penting untuk mengimplementasikan agenda global masyarakat internasional, termasuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Selama bertahun-tahun, UE konsisten memberikan kontribusi yang signifikan di kawasan dalam hal kerja sama pembangunan dan bantuan kemanusiaan, mengatasi perubahan iklim, hingga kebebasan navigasi.
Baca juga: Latihan Perang 5 Negara, Upaya Membendung China dari Timur
Anggota UE akan meningkatkan advokasi mereka tentang akses terbuka ke LCS, rute perdagangan utama dunia, meskipun China mengklaim hampir semua kawasan saat membahas masalah itu dengan negara-negara ASEAN, Agustus lalu. Seperti dilaporkan Voice of America, ke-27 anggota UE, termasuk Perancis dan Jerman, berharap semua negara dapat mengikuti hukum laut internasional (UNCLOS 1982) di LCS.
Pergeseran sikap Eropa itu signifikan. UE adalah investor asing terbesar bagi anggota-anggota ASEAN dengan jumlah investasinya pada 2019 mencapai lebih dari 313,6 miliar euro. Anggota ASEAN secara kolektif merupakan mitra dagang terbesar ketiga untuk UE, yakni 189 miliar euro pada tahun 2020, dan sebagian besar perdagangan ini dilakukan melalui laut.
Kekhawatiran pada China
Negara-negara Eropa khawatir bahwa kekuatan Angkatan Laut China yang semakin kuat pada akhirnya bisa membahayakan kebebasan navigasi di LCS. Ini tidak hanya akan membahayakan perdagangan dan investasi di Asia Tenggara, tetapi juga di pasar lain yang menguntungkan, seperti Jepang dan Korsel.
Eropa memiliki kepentingan ekonomi yang vital dalam menjaga koridor pelayaran yang bebas, aman, dan stabil, terutama yang menghubungkannya dengan pusat-pusat kekuatan ekonomi di Asia Timur.
Orang-orang Eropa juga mengamati dengan cermat tanda-tanda kemungkinan pengenduran peran Amerika Serikat dari kawasan ini. Eropa sadar bahwa hanya AS yang dapat menjamin kebebasan navigasi di LCS dan kawasan Indo-Pasifik pada umumnya. Untuk mendorong AS dan sekutu regionalnya melestarikan hak ini, negara-negara Eropa semakin bersedia untuk lebih hadir di kawasan.
Inggris, yang berada di luar blok UE, telah menjadi aktor pertama dari Eropa memasuki LCS atas nama kebebasan navigasi. Meskipun ada peringatan dan kecaman dari Beijing, kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth dan kapal pengiringnya pada Juli lalu berlayar di LCS.
London, menurut kantor berita Reuters, kemudian mengumumkan bahwa Inggris akan mengerahkan dua kapal perang secara permanen di kawasan Asia-Pasifik mulai akhir 2021. Inggris ingin kembali tampil di panggung global mendampingi AS dalam membendung upaya China.
Baca juga: Jepang, AS dan Perancis Siap Gelar Latihan Militer Gabungan
Perancis yang memiliki teritori de facto dengan populasi sekitar 1,6 juta jiwa di Indo-Pasifik—dari Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik—telah meningkatkan kehadirannya di kawasan. Apalagi, zona ekonomi eksklusif (ZEE) Pasifik Perancis yang terbesar, yakni seluas 6,8 juta kilometer persegi, tersebar di empat wilayah di antara Australia dan Meksiko: Clipperton, Polinesia Perancis, Kaledonia Baru, dan Wallis-Futuna.
Perancis pada Februari lalu mengirim satu kapal selam serang bertenaga nuklir dan kapal pendukungnya melewati Selat Malaka dan mengunjungi Vietnam, salah satu pengklaim saingan China di LCS. Langkah ini diikuti lagi oleh kehadiran dua kapal perang Perancis lainnya, satu kapal induk dan fregat pada Mei 2021.
Selain itu, Perancis juga terlibat latihan bersama yang melibatkan Jepang, AS dan Australia. Jerman juga menghadirkan kapal perang untuk pertama kalinya di LCS dalam dua dekade. Jerman terlibat latihan perang bersama Jepang, AS, Australia, dan Kanada selama 10 hari sejak 21 hingga 30 November 2021 di Laut Filipina.
Ironisnya, keterlibatan yang berkembang oleh Angkatan Laut Eropa di LCS dapat membantu memperkuat hubungan trans-Atlantik dengan AS. Namun, itu juga bisa menggoda China untuk berusaha mengirim pesan dengan memprovokasi kapal perang Eropa, yang mungkin lebih rentan secara militer dan politik. Bagaimana reaksi AS jika konfrontasi antara kapal perang Eropa dan China menjadi sangat mematikan?
Pesan untuk Beijing
Kehadiran segelintir kapal perang Eropa itu mungkin tidak terbukti mempengaruhi China. Namun, setidaknya mereka ingin mengirim pesan yang jelas ke Beijing bahwa perilaku China yang semakin agresif di LCS telah menjadi perhatian bersama global.
Kehadiran kapal-kapal perang Eropa di LCS oleh pengamat juga ditafsir dan dimaknai sebagai sinyal kesiapan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bersama sekutunya di Indo-Pasifik untuk memperkuat keamanan dan kebebasan di LCS. Risiko yang mungkin timbul adalah terjadinya konflik bersenjata.
Beijing sering menuduh AS dan sekutunya berusaha menahan dan mengisolasi China. Mungkin saja ada benarnya klaim semacam itu, meski tidak bisa dibaca secara hitam-putih. Dalam hal lain, sekutu terbesar yang dimiliki Washington dalam menghadapi situasi tertentu, termasuk menghadapi pandemi Covid-19, sebenarnya adalah Beijing itu sendiri. (AFP/REUTERS/AP)