Tokoh agama sekaligus pejuang anti-apartheid Desmond Tutu berpulang. Ia dikenal kritis hingga akhir hayat, termasuk terhadap Pemerintah Afrika Selatan saat ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
CAPE TOWN, MINGGU — Uskup Agung Emeritus Anglikan Afrika Selatan Desmond Tutu meninggal dunia dalam usia 90 tahun. Selain sebagai pemuka agama, Uskup Tutu juga dikenal sebagai pejuang antisistem politik apartheid. Ia juga memenangi penghargaan Nobel Perdamaian pada 1984.
”Pengabdian Uskup Tutu tidak hanya untuk kemerdekaan dan kesetaraan bangsa Afrika Selatan. Beliau juga merupakan kompas moral bagi Benua Afrika,” kata Presiden Afsel Cyril Ramaphosa, di Pretoria, Minggu (26/12/2021) pagi waktu setempat.
Tutu dikenal sebagai tokoh yang kritis. Ia kerap memprotes ketidakadilan yang terjadi di Afsel. Tidak hanya itu, ia juga vokal membicarakan kesetaraan hak kepada kelompok marjinal, seperti orang-orang dengan keragaman identitas jender dan seksualitas. Uskup Tutu juga salah satu tokoh dunia yang mendukung hak kemerdekaan bangsa Palestina.
Ia bahkan tidak pilih kasih karena sahabatnya, mendiang Presiden Afsel Nelson Mandela, juga kerap menghadapi kritik. Mandela pernah mengatakan bahwa Tutu adalah sparring partner bagi dia. Mereka berdua biasa berdebat mengenai isu politik, ekonomi, dan sosial. Saking kritisnya pemikiran Uskup Tutu, bintang musik asal Irlandia Bob Geldof yang pernah bertemu dengannya menggambarkan Tutu sebagai duri dalam daging bagi para penguasa yang korup dan otoriter.
”Sebuah kebanggaan sekaligus membuat kita rendah hati ketika bisa membuat perubahan meski kecil,” kata Tutu kepada kantor berita AFP pada 2011 menjelang ulang tahun yang ke-80.
Ketika Mandela terpilih menjadi Presiden Afsel pada 1994, Uskup Agung Afsel pertama yang berkulit hitam ini menamai negara tersebut dengan julukan ”Bangsa Pelangi”. Ia berharap istilah ini bisa menyatukan kelompok-kelompok etnis di Afsel yang dulu tercerai-berai akibat politik apartheid. Sistem ini menciptakan kasta di antara warga berkulit putih, berkulit hitam, dan keturunan timur asing.
Pejuang
Desmond Mpilo Tutu lahir di Klerksdrop, sebuah kota kecil yang berjarak 170 kilometer dari Cape Town pada 7 Oktober 1931. Ayahnya adalah seorang guru dan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarganya tidak menganut agama Anglikan, tetapi agama Kristen Metodis dan kemudian berpindah menjadi Anglikan.
Tutu dikenal kritis sejak masih kecil. Ketika lulus sekolah, ia bercita-cita menjadi guru. Akan tetapi, ia geram dengan kondisi pendidikan di Afsel saat itu. Masyarakat berkulit hitam disekolahkan dengan tujuan bekerja menjadi pembantu dan pelayan ketika lulus nanti. Pintu kesempatan menempuh pendidikan tinggi dan berkarier setelahnya belum terbuka.
Oleh sebab itu, pada 1958, ia masuk ke sekolah untuk menjadi imam Anglikan di Kolese Santo Petrus di Johannesburg dan kemudian ditahbiskan sebagai imam untuk gereja Anglikan pada 1961. Setelah itu, Tutu melanjutkan kuliah di Kong’s College di Inggris. Dalam sebuah wawancara pada 2004, Tutu mengungkapkan, ia menyadari kesempatan tersebut amat istimewa karena langka bagi warga kulit hitam untuk bisa mencapai level tersebut.
”Di sini saya menyadari bahwa ilmu ini harus dipakai untuk menaikkan derajat bangsa Afsel,” kata Tutu.
Sepulang dari Inggris pada 1966, ia mengajar di sekolah teologi dan lantang menyuarakan kritik terhadap sistem apartheid. Pada 1975, ketika dilantik menjadi diakon kulit hitam pertama di Johannesburg, isu rasialisme menjadi tema reguler di ceramah-ceramahnya. Pemerintahan apartheid yang gerah dengan kelakuan Tutu pun menyita paspornya sehingga ia tidak bisa bepergian ke luar negeri.
Di sisi lain, perjuangan itu justru membuatnya memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada 1984. Satu tahun setelahnya, ia diangkat sebagai Uskup Agung Anglikan Johannesburg dan di tahun 1986 menjadi Uskup Agung untuk Afsel. Melalui posisi ini, ia memberikan perlindungan kepada Mandela yang dibebaskan dari penjara pada 1990. Bahkan, selama beberapa tahun pertama keluarga Mandela ditampung di rumah Tutu.
Tiga tahun setelah itu, yakni pada 1997, Tutu didiagnosis mengidap kanker prostat. Kondisi ini mengakibatkan ia sering bolak-balik dirawat di rumah sakit. Hal ini tidak menyurutkan semangatnya karena ia,hingga akhir hayat masih terus mengemukakan pemikiran kritis terhadap Pemerintah Afsel yang menurut dia penuh dengan korupsi dan nepotisme.
Ketika gerakan Black Lives Matter merebak di Amerika Serikat, ia juga mengemukakan pendapat bahwa di abad ke-21 ini, masyarakat dunia masih dihadapkan pada kenyataan pahit rasialisme yang tidak kunjung diselesaikan. Kritik utama Tutu, mendiang Presiden Zimbabwe Robert Mugabe pernah meledek bahwa Tutu adalah orang yang selalu berpikiran negatif. Akan tetapi, sejarah membuktikan siapa tokoh yang dikenang karena perjuangan untuk kesetaraan rakyat dan siapa pemimpin yang diktator. (AFP/Reuters)