Patung Pillar of Shame, monumen peringatan tragedi Tiananmen 1989 China, disingkirkan dari halaman Universitas Hong Kong. Patung itu merupakan ilustrasi yang jelas tentang kebebasan di Hong Kong dibandingkan di China.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Pemerintah China ingin menghapus memori warga Hong Kong tentang demokrasi yang pernah dinikmati selama wilayah itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Setelah penerapan UU Keamanan Nasional serta pemenjaraan para aktivis dan pelajar prodemokrasi, langkah itu terus berlanjut. Patung Pillar of Shame, monumen peringatan tragedi Tiananmen 1989, yang berada di halaman Universitas Hong Kong disingkirkan.
Para pekerja memindahkan monumen itu pada Rabu (22/12/2021) malam. Suara bor dan dentang keras peralatan yang digunakan bisa didengar dari kejauhan. Proses pemindahan itu dijaga ketat aparat keamanan, termasuk kontainer yang akan dipakai untuk mengangkut patung tersebut.
Pekerjaan itu selesai pada Kamis dini hari dan patung langsung diangkut pergi menggunakan kontainer yang sudah menanti. Sementara lokasi patung ditutup lembaran plastik putih dan dikelilingi barikade berwarna kuning.
Beberapa mahasiswa mengatakan, langkah itu akan merusak reputasi Universitas Hong Kong (HKU). ”Universitas melakukan tindakan yang hanya dilakukan oleh pengecut karena hal ini dilakukan di tengah malam. Saya kecewa karena itu adalah simbol sejarah. Klaim kebebasan akademik digaungkan, tapi mereka tidak dapat menyimpan monumen bersejarah,” kata seorang mahasiswa bermarga Chan (19).
Mahasiswa lain yang bermarga Leung mengatakan, dia ”patah hati” melihat patung itu ”dipotong-potong”.
Dalam pernyataannya, Dewan Universitas Hong Kong mengatakan, penyingkiran patung itu karena mereka merasa tidak pernah memberikan persetujuan untuk memajang karya seni itu di dalam kampus. Dewan merasa penyingkiran itu adalah tindakan yang tepat. ”Tidak ada pihak yang pernah mendapatkan persetujuan dari universitas untuk memajang patung di kampus, dan universitas berhak mengambil tindakan yang tepat untuk menanganinya kapan saja,” kata Dewan Universitas Hong Kong.
Pada saat yang sama, mereka mengakui keberadaan patung tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi manajemen, terutama kemungkinan adanya risiko hukum terhadap mereka. ”Nasihat hukum terbaru yang diberikan kepada universitas memperingatkan bahwa keberadaan patung memiliki risiko hukum berdasarkan UU Kejahatan yang diberlakukan di bawah Pemerintah Hong Kong,” kata mereka dalam pernyataanya.
Patung itu, menurut dewan universitas, tidak akan dibuang, tetapi disimpan di sebuah tempat. Tindakan lebih lanjut akan dikonsultasikan dengan penasihat hukum kampus.
Monumen yang dipandang manajemen kampus sebagai masalah itu berupa patung perunggu karya seniman patung Denmark, Jens Galschiøt. Patung yang diberi judul Pillar of Shame ini menggambarkan 50 wajah sedih dan tubuh tersiksa yang ditumpuk satu sama lain untuk mengggambarkan represi dan tindakan keras Pemerintah China terhadap mahasiswa di Lapangan Tiananmen, Beijing, tahun 1989. Patung itu sebelumnya berada di Taman Victoria sebelum dipindahkan ke halaman kampus HKU pada 1997.
Keberadaannya menjadi ilustrasi yang jelas tentang kebebasan Hong Kong dibandingkan dengan daratan China di mana peristiwa di Tiananmen sangat disensor. Setiap 4 juni, anggota serikat mahasiswa melakukan ritual membersihkan patung sebagai bagian merawat memori warga Hong Kong atas tragedi Tiananmen. Selain Hong Kong, Macau adalah tempat yang diberi izin untuk melakukan kegiatan memperingati tragedi itu. Akan tetapi, dua tahun terakhir, perayaan dilarang dengan alasan pandemi.
Pada Oktober lalu, manajemen HKU telah memberi tahu Aliansi Hong Kong untuk Mendukung Gerakan Demokrasi Patriotik China bahwa mereka akan memindahkan patung itu. Namun, aliansi menyatakan bahwa mereka bukan pemilik patung dan menyarankan agar manajemen HKU langsung menghubungi Galschiøt.
Galschiøt, saat dihubungi, mengatakan, dia hanya mengetahui apa yang terjadi pada karyanya dari media sosial dan beberapa laporan lain. ”Saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Tapi, saya khawatir mereka menghancurkannya. Ini adalah karya saya dan milik saya,” katanya.
Dia mengatakan telah mengirim surat kepada manajemen HKU untuk menegaskan statusnya sebagai pemilik patung tersebut dan menawarkan kemungkinan untuk mengambilnya kembali. Dia juga memperingatkan manajemen HKU bahwa dia dapat meminta ganti rugi jika patung itu rusak selama proses pemindahan. Namun, surat itu dinilainya tidak mendapat respons yang cukup.
Ilmuwan politik HKU, John Burns, yang telah mengajar selama 40 tahun, mengatakan, penyingkiran patung Pillar of Shame adalah hal yang diinginkan oleh Partai Komunis China. Mereka, kata Burns, ingin agar kita semua melupakan kekerasan yang pernah mereka lakukan terhadap gerakan demokrasi.
”Secara global, mereka ingin melupakannya. Apa yang diinginkan Partai Komunis adalah agar kita semua melupakan ini (Tiananmen). Sangat disayangkan,” kata Burns. (AP/AFP/REUTERS)