Longsor, Tambang Giok Myanmar Kembali Makan Korban Jiwa
Lokasi penambangan batu giok terbesar di dunia yang terletak di Myanmar kembali merenggut nyawa. Longsor yang terjadi kali ini menyebabkan sedikitnya satu orang tewas dan 70-100 orang hilang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
YANGON, RABU — Longsor menyusul hujan lebat terjadi di tambang batu giok Hpakant, Myanmar, Rabu (22/12/2021). Untuk sementara, 70-100 petambang dilaporkan hilang dan satu orang tewas. Tambang giok terbesar di dunia itu sudah beberapa kali longsor dan menyebabkan puluhan petambang tewas.
Longsor pada pukul 04.00 waktu setempat tersebut terjadi menyusul hujan lebat. Regu pencari yang terdiri atas 200 orang diturunkan untuk melakukan operasi penyelamatan. ”Ada 70-100 pekerja tambang yang masih hilang dan dicari. Kami berhasil mengevakuasi 25 orang ke rumah sakit dan satu orang meninggal dunia,” kata Ko Nyi, salah seorang anggota tim penyelamat.
Tambang giok Hpakant terletak di Negara Bagian Kachin, di sebelah utara Myanmar. Ini adalah tambang giok terbesar di dunia. Akan tetapi, situasinya buruk baik dari segi pengelolaan, keselamatan kerja petambang, maupun kelestarian lingkungan hidup.
Tambang ini terkenal sebagai kuburan massal, tidak hanya bagi rakyat Myanmar, tetapi juga bagi pekerja migran dari negara-negara sekitar. Akibat miskin, para petambang terpaksa menyabung nyawa dengan kondisi kerja berbahaya demi mendapatkan penghasilan. Pada 2015, hujan deras mengakibatkan tambang longsor dan 100 petambang tewas terkubur. Pada 2019, longsor kembali terjadi dan menimbun 100 orang.
Sejauh ini, kecelakaan terparah di Hpakant terjadi pada Juli 2020. Ketika itu, longsor menewaskan 170 pekerja. Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, pada 2016, dalam ucapan dukacita kepada keluarga korban, mengatakan, angka pengangguran tinggi di Myanmar dan negara sekitar. Situasi ini menyebabkan orang berbondong-bondong bekerja di tambang giok Hpakant dengan upah murah dan tanpa jaminan keselamatan.
Meski demikian, pemerintahan Suu Kyi saat itu tidak melakukan aksi yang berarti untuk membenahi industri batu permata dan pertambangannya. Ketika junta militer merebut kekuasaan pada Februari 2021, mereka juga mengambil alih industri batu permata di negara tersebut.
Sebanyak 90 persen batu giok di dunia berasal dari Myanmar. Berdasarkan kajian lembaga pembela hak asasi manusia Global Witness, 70-90 persen batu yang dihasilkan tambang dari itu tidak disalurkan melalui lembaga pemerintahan. Semua penjualan terjadi di pasar gelap, yaitu di kota Mandalay yang merupakan pusat giok dunia.
”Sejak awal, sebelum kudeta sekalipun, tidak ada penambangan batu giok yang etis di Myanmar. Metode yang dipakai membahayakan pekerja dan merusak lingkungan,” kata Peneliti Senior Isu Myanmar di Global Witness, Clare Hammond.
Pascakudeta, pasar gelap industri permata Myanmar semakin parah. Pekan lalu, junta menangkapi pedagang dan pengepul permata yang terlibat jaringan permata di luar pengelolaan junta. Termasuk di antaranya adalah warga negara China. Mereka dianggap melakukan perbuatan menghalangi kinerja junta. China adalah negara importir giok nomor satu di dunia.
Laporan Global Witness menjelaskan bahwa industri batu permata, terutama giok, adalah cara cepat junta memperoleh dana dari luar negeri. Giok diekspor ke China dan India, kemudian dijual ke berbagai merek perhiasan di seluruh penjuru dunia. Uang hasil penjualan dipakai untuk membiayai junta.
”Batu giok di budaya Asia merupakan simbol kekerabatan dan kelanggengan. Akan tetapi, proses mendapatkan permata ini jauh dari kemilau dan bahkan bersimbah darah,” demikian kutip laporan itu.
Sejak 2016, ketika laporan pertama Global Witness diterbitkan, sejumlah merek permata internasional menghentikan pemakaian batu giok dari Myanmar. Beberapa di antaranya ialah Harry Winston, Tiffany and Co, Vaibhav Global, Cartier, Signet Jewelers, dan Kay Jewelers.
Lembaga ini juga berusaha mengembangkan boikot ke batu mirah delima yang ditambang dari Mogok di Negara Bagian Mandalay. Batu ini tidak sebanyak giok. Namun, metode penambangannya juga sama buruknya dengan di Hpakant. Belum ada komitmen internasional untuk menghentikan impor batu tersebut.
Sementara itu, Kongres Amerika Serikat masih membahas Rancangan Undang-Undang Myanmar 2021. Jika ini disepakati, segala jenis impor ataupun penjualan batu permata asal Myanmar akan dilarang di AS. (AP/AFP/DNE)