Melawan Gempuran Omicron, ”Pasukan Elite” Antibodi Butuh Vaksin Penguat
Bak pertempuran di medan perang, ketika Omicron terdeteksi masuk tubuh, pasukan keamanan antibodi bergerak. Mekanisme sistem kekebalan tubuh melawan virus ini akan menguat jika dibantu dosis penguat vaksin Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Saat tubuh sedang melawan virus Covid-19, ada komponen utama dalam sistem kekebalan tubuh manusia yang memegang peran paling penting, yakni antibodi. Protein berbentuk Y ini belakangan menjadi sorotan. Sebab, vaksin Covid-19 tanpa dosis penguat rupanya tak cukup banyak menghasilkan protein yang mampu melawan varian baru Covid-19, Omicron.
Seperti diketahui, varian Omicron mudah dan cepat bermutasi dibandingkan dengan varian-varian Covid-19 sebelumnya. Pada awal pekan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan varian itu telah menyebar di lebih dari 77 negara. Hampir seluruh negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah dirambah Omicron.
Dengan bantuan dari vaksin dan infeksi, antibodi mampu menangkap lonjakan protein yang menempel pada permukaan virus Covid-19, lalu mencegahnya agar tak sampai menembus sel dan membuat inangnya (manusia) sakit. Meski antibodi memegang peranan penting, ternyata bukan antibodi saja yang dibutuhkan untuk memenangi pertarungan melawan Covid-19.
”Sebenarnya ada respons yang kompleks dan terkoordinasi yang indah dari sudut pandang evolusi,” kata Roger Shapiro, pakar imunologi dari Harvard University, AS.
Gambarannya begini. Selang beberapa menit atau jam setelah virus pertama kali masuk, protein langsung mendapat sinyal dan menyalakan alarm ”membangunkan” sistem kekebalan tubuh yang sudah ada di dalam tubuh kita. Sistem kekebalan tubuh kita tangguh, tetapi sebenarnya tidak terlalu kuat.
Yang pertama muncul namanya neutrofil yang membentuk 50-70 persen dari semua sel darah putih. Mereka bisa dengan cepat melawan si virus, tetapi akhirnya nanti kalah juga.
Selain neutrofil, ada juga makrofag yang menangkap patogen dan mengeluarkan zat kunci untuk membantu melatih teman-teman mereka yang lebih pintar. Namanya adalah sel-sel ”pembunuh alami” dan sel dendritik yang melanjutkan informasi intelijen mereka ke ”pasukan” yang lebih elite.
”Analoginya begini. Kita seperti mengebom wilayah yang luas dan berharap bisa membunuh musuh sebanyak mungkin. Pada saat yang bersamaan, kita meminta bantuan pasukan elite SEAL untuk melawan mereka,” kata John Wherry, pakar imunologi di University of Pennsylvania, AS.
Andai kata si musuh atau virus itu tidak juga bisa diusir, sistem kekebalan tubuh adaptif yang akan masuk. Beberapa hari setelah infeksi pertama, sel-sel B akan menghadapi ancaman itu dan mulai mengeluarkan antibodi.
Vaksinasi juga melatih sel-sel B itu, terutama yang berada di dalam kelenjar getah bening di ketiak, agar mereka kuat dan siap siaga. Shapiro menganalogikan mereka seperti melakukan operasi intelijen yang menyimpan informasi penting terkait ancaman yang masuk tubuh.
Jenis antibodi paling kuat, yang dikenal sebagai penetral, bekerja seperti permen karet yang menempel pada ujung kunci. Ia mencegah si virus masuk. Ada antibodi lain yang kurang terkenal dan tidak lengket seperti si penetral, tetapi masih bisa menangkap virus, menyeret virus ke sel kekebalan atau meminta bantuan dan meningkatkan respons tubuh secara keseluruhan.
Ada teman-teman sel-sel B yang penting juga. Namanya adalah ”sel-sel T” yang bisa berfungsi sebagai sel pembantu dan pembunuh. ”Sel pembunuh itu seperti pembunuh bayaran. Mereka menyerang sel-sel yang sudah terinfeksi, tetapi para pembunuh ini juga menimbulkan kerusakan tambahan demi mendapatkan tubuh yang sehat,” kata Shapiro.
Sel-sel T yang membantu bekerja seperti jenderal. Mereka yang mengatur pasukan, memacu sel-sel B untuk meningkatkan produksi mereka dan mengarahkan sel-sel pembunuh untuk membunuh musuh-musuh mereka. Karena lonjakan proteinnya sangat mudah dan cepat bermutasi, Omicron bisa lebih mudah meloloskan diri dan menetralkan antibodi yang didapat dari infeksi atau vaksin.
Kabar buruknya, ini membuat manusia lebih rentan terhadap infeksi simtomatik. Tetapi, masih ada kabar baik. Untungnya, sel-sel T tidak mudah dibodohi oleh virus. Sel-sel T mempunyai periskop yang bisa melihat ke sel-sel yang terinfeksi. Mereka bisa melacak bagian pembentuk virus saat virusnya sedang berada dalam siklus replikasi. Mereka lebih mampu mengenali tanda-tanda musuh yang pernah ditemui sebelumnya. Bahkan, mereka lihai menyamar hingga bisa lolos dari antibodi.
Sel-sel T pembunuh menjalani misi mencari dan menghancurkan, melubangi sel-sel yang terinfeksi, meledakkan mereka, dan memicu reaksi untuk mengajak protein inflamasi yang dikenal sebagai ”sitokin” duel. Bergantung pada kecepatan respons masing-masing, orang yang sudah divaksin mungkin hanya akan mengalami gejala ringan, seperti pilek atau gejala flu sedang. Risiko sakit yang parah akan berkurang drastis.
Dengan tambahan vaksin dosis penguat, semua produksi antibodi jenis yang mana pun akan melonjak. Bahkan, sel-sel B dan sel-sel T juga akan semakin terlatih. ”Omicron ini mengkhawatirkan. Tetapi, masih ada peluang untuk mengalahkannya. Omicron tidak akan sanggup menghadapi gempuran vaksin kita,” kata Wherry. (AFP)