Indonesia dan ASEAN di Tengah Pusaran AS-China
Kawasan Asia kini menjadi arena yang kian panas. Negara-negara besar mencoba memperkuat pengaruh mereka. Sementara itu, negara-negara di kawasan juga berkembang. Tarikan kepentingan kian sengit.
Meski bersaing, Amerika Serikat dan China tetap membuka jalur komunikasi. Dalam dialog Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping disepakati adanya kompetisi yang sehat di antara dua negara besar tersebut.
Menyusul kunjungan Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken ke Jakarta, Senin hingga Selasa (13-14/12/2021), para pakar kajian AS dan China memberikan masukan menarik tentang dua negara tersebut dan juga posisi Indonesia serta ASEAN di tengah pusaran geopolitik.
”Tiongkok mengejar harmoni sesuai filosofi mereka, termasuk dalam hubungan internasional. Amerika Serikat mengejar hegemoni dalam hubungan internasional. Walau kedua negara sama-sama berusaha membentuk negara yang beradab dan bermartabat. Kalau tidak dikelola baik, Indonesia dan ASEAN akan terkena dampak negatif persaingan mereka,” kata Soegeng Rahardjo, mantan Duta Besar Republik Indonesia di Beijing, yang memberikan sambutan dalam seminar daring Perkumpulan Persahabatan Alumni Tiongkok Indonesia (Perhati), Selasa (14/12/2021).
Soegeng Rahardjo yang pernah menjadi diplomat di AS, Australia, dan Eropa serta Duta Besar RI untuk Afrika Selatan itu menambahkan, menjaga dialog para pihak adalah kunci dalam hubungan serta persaingan AS-China. ”Republik Indonesia dapat menjadi jembatan hubungan mereka. Kebangkitan Tiongkok sejak tahun 2015 adalah penanda kebangkitan Asia. Pada saat yang sama, Amerika Serikat sedang menyurut perannya,” kata Soegeng.
Demi menyikapi kondisi tersebut, AS mengangkat berbagai isu untuk mengucilkan dan menjatuhkan China, seperti Undang-Undang Keamanan Hong Kong, ketegangan Selat Taiwan, Laut China Selatan, hingga boikot terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing.
Hayati Nufus dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang mendalami kajian Tiongkok, menceritakan adanya penerbitan buku putih oleh Pemerintah China di Desember 2021 yang menyoroti praktik demokrasi di AS dan sisi demokratis—keterwakilan publik—dalam kehidupan di China. ”Buku putih tersebut menyebut KTT Demokrasi di Amerika Serikat lebih ditujukan untuk menentang Tiongkok dan tidak semua negara demokrasi diundang. Acara tersebut disebut Tiongkok lebih mengutamakan agenda geopolitik Amerika Serikat. Termasuk dengan mengundang Taiwan dan aktivis Hong Kong,” kata Nufus.
Ia menambahkan, buku putih tersebut menceritakan sistem diktator di China yang berakar pada rakyat dan adanya praktik konsultasi publik dalam pembuatan kebijakan di China.
Sebagai tambahan, berkaca pada sejarah China, sejak ribuan tahun, masa keemasan China selalu dicapai di bawah kendali otoritas tunggal, seperti pada periode Dinasti Han, Tang, Sung, dan Ming. Adapun Dinasti Yuan dan Dinasti Qing adalah bangsa asing yang menguasai daratan China. Saat ini China berada di bawah kendali tunggal Partai Komunis China sejak tahun 1949 ketika Perang Saudara berakhir.
Dominasi tunggal kekuasaan dalam budaya China ini juga berlangsung di Taiwan yang multipartai. Pada tahun 1947 hingga tahun 1980-an, diberlaukan keadaan darurat perang dan pemerintahan represif oleh rezim demokrasi Partai Nasionalis atau Kuomintang yang mendominasi Taiwan.
Nufus menerangkan, Buku Putih Demokrasi yang diterbitkan Pemerintah China mengungkapkan proses pembuatan negara oleh elite politik melalui konsultasi publik. Demikian juga dalam media di China, diskursus tentang demokrasi dibahas sehari-hari. Semisal media pemerintah, yakni Harian Rakyat atau Ren Min Ri Bao, di tahun 2012 rerata menulis kata ”demokrasi” sebanyak 11 kali per hari.
Pihak China menyatakan, demokrasi atau keterwakilan publik adalah nilai universal manusia, tetapi standar pelaksanaannya tidak bisa ditetapkan oleh satu negara atau satu kekuatan tertentu saja. Praktik demokrasi sangat tergantung pada perjalanan sejarah, dinamika politik, dan proses yang dialami suatu bangsa serta bagaimana masyarakat ikut menentukan masa depan suatu bangsa.
Nufus mengkritisi, ketika China membanggakan keberhasilan ekonomi sebagai buah praktik demokrasi versi mereka, itu dapat menjadi senjata makan tuan ketika pertumbuhan ekonomi melambat atau mengalami kemunduran.
Hal lain yang menarik, dalam pengamatannya, adalah para diplomat China kini semakin berani mengekspresikan pendapat, semisal lewat sosial media Twitter, menanggapi serangan yang dilakukan negara lain.
Pihak China juga menyoroti prinsip demokrasi yang tentunya harus sejalan dalam hal praktis, seperti kesetaraan hak setiap negara dalam mendapatkan vaksin Covid-19 dan kesetaraan sesama negara di dunia.
Sementara dari Pusat Kajian Wilayah Amerika Serikat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Suzie Sudarman menjelaskan, perjalanan sejarah AS berangkat dari Empire of Liberty (Imperium Kebebasan) yang berkembang menjadi Empire for Liberty dengan semangat ekspansi gagasan kemerdekaan dan kebebasan yang ekspansif.
AS disebut Suzie memiliki ciri negara kuat (strong states) yang membuat pola tindakan serupa di tataran internasional. Negara kuat akan berekspansi ke luar wilayahnya dengan keinginan menyebarkan ciri-ciri domestiknya ke seluruh dunia. Ada keinginan untuk mengubah dunia agar mirip dengan dirinya.
Baca juga : Indo-Pasifik Menanti Wujud Janji AS
Suzie menambahkan, ada konsensus yang terbentuk di AS, seperti liberalisme Perang Dingin yang mencakup free trade liberalism, conservative isolationism, Wilsonian idealism, dan strategic real politic.
Ada konsensus antara kelompok liberal dan strategis atau bersatunya para wakil kelas dominan bangsa Amerika yang menguasai kepemimpinan Partai Republik dan Partai Demokrat. Ini merupakan kehadiran pengelola negara (state managers) yang sulit beralih.
Konsensus para elite AS mencakup deterensi dan membangun jaringan sekutu, kesepakatan dalam hal yang berkenaan dengan hipotesis jika..., akan... (if, ... then), kesepakatan soal postur militer yang ortodoks, perang berkala, dan tentunya kesepakatan tentang adanya saling ketergantungan, tetapnya elemen trilateralisme, dan berlanjutnya upaya menjaga perimbangan kekuatan.
Kompetisi AS dan China, menurut Suzie, amat unik. Di atas permukaan terjadi persaingan, tetapi kalangan elite AS diam-diam banyak yang berbisnis di China atau memiliki mitra bisnis China. Dalam kondisi tersebut, Indonesia dan ASEAN dapat meminimalkan risiko dan mencegah terjadinya perang proksi oleh dua negara tersebut.
Adapun hegemoni AS di dunia, menurut dia, bukanlah kemauan rakyat Amerika. Hegemoni AS adalah meneruskan atau mengganti dominasi Britania Raya (Great Britain) seusai Perang Dunia II. Proses pergantian hegemoni tersebut tidak terlalu drastis karena adanya kesamaan akar Anglo Saxon antara Inggris dan AS. Lain halnya, ujarnya, jika pengaruh kekuasaan global beralih ke China yang secara budaya berbeda jauh dengan AS dan Inggris.
Ekspor ideologi kebebasan yang dilakukan AS ke seluruh dunia itu mirip dengan gerakan ekspor ideologi transnasional keagamaan seperti gerakan Wahhbi, Hizbut Tahrir, dan juga pada awal abad ke-20 dengan Revolusi Bolshevik ketika kaum komunis menggagas gerakan global kaum pekerja dan tertindas.
Suzie menjelaskan, di masa kepemimpinan Presiden Obama dan Presiden Trump, narasi tentang China membentuk hubungan diplomatik yang strategis dan ekonomi.
Baca juga : Blinken: AS Akan Pastikan Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka
Di masa pemerintahan Presiden Barack Obama, berkembang pandangan stiff competition without catastrophe dan militarizing containment policy and minimize US Cost by diversifying risk to allies and proxy conflicts into Asia atau melakukan pengepungan terhadap China secara militer dan mengurangi biaya yang dikeluarkan AS dengan membaginya ke negara sekutu dan menciptakan konflik proksi di Asia.
Selain itu, di AS dan seluruh dunia, kelompok sayap kanan politik berpadangan bahwa politik luar negeri merupakan kepanjangan dari kepentingan politik dalam negeri. Sementara kelompok sayap kiri enggan untuk mencampurkan politik luar negeri dan politik dalam negeri.
Dalam pemerintahan Presiden Joe Biden, Suzie menjelaskan, politik luar negeri yang menghadirkan kembali dunia Barat—merangkul Eropa Barat, berbagi peran dalam menghadapi hal yang dianggap ancaman, menghormati perjanjian internasional dan lembaga internasional, mengangkat isu HAM, bersikap tegas terhadap rezim yang dianggap nondemokratis dan diktator, menghargai negara yang minim sumber daya dan minim kekuatan, dan terakhir Joe Biden adalah globalis dalam menyikapi berbagai persoalan global, seperti pandemi, pemulihan ekonomi, dan terorisme.
Percakapan Joe Biden dan Xi Jinping dalam konferensi video memunculkan nada saling menghormati meski terjadi ketegangan di antara kedua negara. Pemerintahan Biden juga mampu bekerja sama dengan China dalam menghadapi berbagai isu perubahan global yang memerlukan tindakan bersama negara-negara besar, seperti dalam penanganan pandemi dan perubahan iklim.
Memahami makna luas demokrasi
Demokrasi dan kebebasan itu memiliki makna yang luas. Mantan Direktur Lee Kwan Yew School of Public Policy Kishore Mahbubani dalam buku The New Asian Hemisphere menuliskan betapa India, China, dan dunia Islam juga terus mengalami dinamika perubahan ke arah yang lebih baik. Ketika dunia Barat mengagungkan kebebasan pribadi di segala bidang, bagi warga di China, bebas dari kelaparan, bebas dari kriminalitas, dan bebas dari kemiskinan adalah makna kebebasan bagi mereka.
Bebas dari kelaparan, kejahatan, dan kemiskinan itu sebetulnya sejalan dengan gagasan Henry Luce—pendiri majalah Time—putra seorang misionaris AS di China yang dikenal sangat antikomunis dan mengusung gagasan demokrasi Barat.
Baca juga : AS Ingin Perkuat Kemitraan dengan Indonesia
Mahbubani juga mengingatkan, sekian miliar manusia di negara berkembang di Asia, yakni 3,5 miliar penduduk, jauh lebih banyak dari jumlah penduduk AS dan Eropa Barat yang sebesar 750 juta jiwa. Dalam kondisi tersebut, sangat mengingkari demokrasi jika negara atau kawasan dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit memaksakan nilai dan prinsipnya kepada negara atau kawasan dengan jumlah penduduk jauh lebih besar dan memiliki situasi berikut pengalaman sosial, ekonomi, dan budaya yang jauh berbeda.
Di sisi lain, langkah nonintervensi, mengedepankan kerja sama ekonomi dan pertumbuhan ekonomi bersama serta perdagangan internasional, bukanlah semata gagasan Belt and Road China yang berusaha menghidupkan kembali silk road abad ke-21. Presiden pertama AS George Washington dalam pidato purnatugas di hadapan DPR AS menegaskan prinsip nonintervensi, perdagangan internasional, dan kerja sama sebagai pegangan bangsa AS. Langkah itu diteruskan oleh Thomas Jefferson.
Sejarah juga membuktikan, ketika situasi dunia kacau balau dan AS menjalankan sikap tidak mencampuri urusan negara lain, bahkan mengisolasi diri, para ilmuwan dan modal besar dari berbagai belahan dunia justru mengalir dan memperkuat AS sebagai bangsa dan kekuatan industri.
Baik AS maupun China bisa menjadi kekuatan dunia karena mandiri sebagai bangsa yang dihasilkan dari pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, serta berkembangnya sosial budaya yang sesuai dengan karakter bangsa mereka masing-masing. Kemajuan yang dicapai AS dalam 200 tahun lebih berhasil dicapai China dalam kurun waktu lebih singkat, yakni 70 tahun.
Capaian bidang ekonomi dan tingkat kesejahteraan AS dan China tentu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dan blok ASEAN untuk menjadi bangsa maju dan kawasan yang makmur.
Indonesia dan ASEAN harus membangun industri—tidak sekadar mengekspor bahan baku—dan kemandirian serta menjaga budaya berikut kepribadian agar menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia!