AS tetap belum bisa menyaingi China pada isu ekonomi. Padahal, isu itu menjadi perhatian pokok negara-negara Indo-Pasifik. AS hanya mengalokasikan 179 juta dollar AS untuk operasi militernya di Indo-Pasifik.
Oleh
kris mada, luki aulia, benny d koestanto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara Indo-Pasifik menunggu perwujudan aneka janji Amerika Serikat bagi kawasan. Sebab, berulang kali AS hanya berjanji tanpa menjelaskan langkah nyata untuk mewujudkan janjinya. Bahkan, sebagian sekutu dan mitra AS ditinggalkan.
Janji AS kepada Indo-Pasifik kembali didengungkan selama lawatan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, 13-14 Desember 2021, di Jakarta. Dalam lawatan itu, Blinken kembali menyanjung Indo-Pasifik dan khususnya ASEAN serta Indonesia sebagai hal penting bagi AS dan dunia. ”Indo-Pasifik adalah kawasan dengan pertumbuhan tercepat di planet ini,” ujarnya dalam kuliah umum di Universitas Indonesia, Selasa (14/12/2021).
Secara khusus, ia menyebut Asia Tenggara bisa memengaruhi konstelasi global karena kekuatan ekonomi dan posisi geografisnya. Apa pun yang terjadi di Asia Tenggara bisa berdampak pada kondisi global.
Blinken menyinggung investasi total 1 triliun dollar AS yang ditanamkan Washington di kawasan. AS juga menjadi mitra dagang penting bagi banyak negara Indo-Pasifik. Sebanyak hingga 33 persen ekspor AS ditujukan ke Indo-Pasifik. Sekitar 900 miliar dollar AS investasi AS berasal dari Indo-Pasifik. ”AS sudah lama dan akan selalu menjadi bangsa Indo-Pasifik. Ini fakta geografis,” katanya.
Menurut Blinken, AS telah mendengar bahwa Indo-Pasifik ingin AS berbuat lebih di kawasan. ”Dengan perintah Presiden Biden, kami mengembangkan kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik untuk mengejar tujuan bersama, termasuk perdagangan dan ekonomi digital, teknologi, rantai pasok yang lebih tangguh, energi bersih, infrastruktur, dan kepentingan lain,” tuturnya.
AS mau mendorong kebebasan di kawasan. Kebebasan itu termasuk berlayar, dunia maya, dan berdagang. Tidak kalah penting adalah mempertahankan ketertiban berdasarkan peraturan. ”Bukan untuk melemahkan salah satu negara, melainkan untuk melindungi hak semua negara dalam memilih jalan mereka, bebas dari paksaan. Ini bukan persaingan antara kawasan yang berpusat ke AS atau China,” paparnya.
Blinken juga menyinggung upaya mempertemukan ASEAN dengan G-7, kelompok tujuh negara maju dan kaya. Untuk pertama kalinya, para menlu ASEAN bertemu secara virtual dengan para menlu G-7 dalam forum yang dibuat G-7. Pertemuan itu disebut Blinken sebagai wujud pengakuan AS atas sentralitas ASEAN.
Adapun soal infrastruktur, AS dan mitranya berusaha membantu kawasan mengatasi kekurangan di Indo-Pasifik. Sebab, semua itu penting bagi pertumbuhan kawasan. Sayangnya, menurut Blinken, upaya pengembangan infrastruktur diwarnai dugaan korupsi, pemenang tender yang membawa tenaga kerja dari negara asing, fokus pada pengerukan sumber daya alam, menghasilkan polusi, dan menimbulkan beban utang.
Meski tidak menyebut negara atau program infrastruktur dari negara tertentu, narasi AS soal program infrastruktur Indo-Pasifik mirip dengan tudingan terhadap dampak proyek infrastruktur yang diinisiasi China. Di berbagai negara, semua tuduhan itu dialamatkan ke proyek-proyek yang didanai China.
Wujud nyata
Pakar Kebijakan Amerika pada Badan Riset dan Inovasi Nasional, Siswanto, menyebutkan bahwa negara-negara di kawasan sedang menanti bukti nyata janji AS. Lawatan Blinken ke Indonesia sedikit pun tidak menunjukkan adanya perwujudan nyata janji-janji itu. ”Tidak ada yang baru, mengulang lagi yang lama,” katanya.
Pada isu keamanan, sejauh ini inisiatif AS masih terbatas pada India, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Padahal, negara-negara Indo-Pasifik berada di pesisir timur Afrika hingga ke Pasifik Selatan. ”Memang kehadiran aliansi militer itu bisa membawa manfaat untuk sebagian negara di kawasan, khususnya pada negara-negara yang harus berhadapan dengan China. Kekuatan AS menjadi penyeimbang China,” ujar Siswanto.
Selain itu, fakta menunjukkan langkah AS belum sesuai dengan janjinya. Soal keamanan, AS hanya mengalokasikan 179 juta dollar AS untuk operasi militernya di Indo-Pasifik. Di Timur Tengah, Washington menggelontorkan 5,4 miliar dollar AS.
AS juga tetap belum bisa menyaingi China pada isu ekonomi. Padahal, isu itu menjadi perhatian pokok negara-negara Indo-Pasifik. ”Kondisi ekonomi dalam negerinya saat ini tidak memungkinkan AS untuk bisa menyaingi China. Washington tidak punya uang seperti Beijing. Negara di kawasan maunya kucuran dana untuk aneka program infrastruktur, ekonomi, investasi,” ujarnya.
Ia mencatat beberapa inisiatif atau janji program ekonomi bolak-balik diungkap AS. Sayangnya, sejauh ini tidak ada bentuk konkret dari janji dan program itu.
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Nur Rachmat Yuliantoro mengatakan, demi kepentingan pertumbuhan perekonomiannya, China menginginkan suasana yang bersahabat dan tidak penuh konflik di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Di sisi lain, ada situasi yang membuat China bersikap keras, salah satunya ketika AS menggalang aliansi pertahanan AUKUS. ”Di satu sisi, China ingin menjaga integritas wilayah atau kedaulatan wilayah, tetapi di sisi lain China bisa agresif. Dua wajah China ini saling bertolak belakang,” ujarnya.
Meski pengaruhnya meluas, China selama ini mengaku tidak sedang mencari hegemoni. Ini ditegaskan Presiden China Xi Jinping yang mengatakan tidak ada keinginan China untuk menjadi kekuatan di dunia seperti halnya AS. Bagi China, kata Rachmat, yang terpenting adalah pertumbuhan ekonominya. Yang penting dunia mau menerima teknologi China, memakai tenaga kerja China, dan menerima modal dari China. ”China tidak menggunakan ideologi sebagai cara untuk bekerja sama dengan negara lain,” ujarnya.
Bagi China, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, baik secara individual maupun kolektif, menjadi pasar yang besar bagi produk China sehingga kawasan itu memegang posisi strategis dari sisi ekonomi. Di sisi lain, China juga masih terlibat sengketa dengan negara-negara Asia Tenggara terkait isu wilayah Laut China Selatan.