Rusia Klaim Unggul dalam Pacuan Pengembangan Senjata Hipersonik
Rusia mengklaim mengungguli para pesaing tradisionalnya dalam pengembangan persenjataan hipersonik. Dengan keunggulan itu, Moskwa menyatakan mampu menangkis rudal-rudal hipersonik yang dikembangkan para negara pesaing.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MOSKWA, SENIN — Rusia mengklaim sebagai negara yang memimpin dunia dalam uji coba dan produksi peluru kendali hipersonik saat ini. Dan, apabila negara-negara lain mencoba mengembangkan persenjataan hipersonik mereka sendiri, demikian klaim Moskwa, Rusia sudah memiliki teknologi yang bisa menangkal serangan senjata baru itu.
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pengantar sebuah film dokumenter berjudul Rusia, Sejarah Baru, Minggu (12/12/2021), mengatakan bahwa Rusia dan pesaingnya, Amerika Serikat, memiliki kesamaan dalam hal jumlah hulu ledak dan kapal induknya. Akan tetapi, soal perkembangan teknologi, Putin mengklaim Rusia lebih unggul.
”Dalam perkembangan (teknologi), kita pasti adalah pemimpinnya,” kata Putin, seraya menambahkan bahwa negara yang dipimpinnya memuncaki jumlah kepemilikan persenjataan tradisional.
Akhir November lalu, militer Rusia sukses menguji coba rudal jelajah hipersonik mereka yang diberi nama Zirkon. Sesaat setelah peluncuran, Putin mengatakan, Zirkon adalah generasi baru sistem persenjataan Rusia yang saat ini belum tertandingi oleh pesaing-pesaing tradisional mereka. Menurut rencana, rudal-rudal itu akan sudah bisa dimiliki oleh Angkatan Laut Rusia pada awal tahun 2022.
Sejumlah ahli persenjataan Barat mempertanyakan kemampuan sistem persenjataan dan rudal baru tersebut. Meski belum mengetahui persis persenjataan hipersonik yang dikembangkan Rusia, mereka mengakui bahwa kombinasi kecepatan, kemampuan manuver, ketinggian, hingga daya jelajah rudal ini akan membuatnya sulit dilacak dan dicegat oleh sistem pertahanan konvensional.
Meski dinilai memiliki kecepatan yang lebih lambat dibandingkan rudal balistik antarbenua (intercontinental ballistic missile atau ICBM), dengan kecepatan 6.200 kilometer per jam, bentuk kendaraan luncur rudal hipersonik dapat bermanuver atau menghindari sistem rudal pertahanan lawan.
Pada dasarnya, rudal hipersonik adalah semua rudal yang memiliki kecepatan di atas 5 Mach, lebih dari lima kali kecepatan suara. Zircon, yang baru selesai diuji coba oleh Rusia, diklaim memiliki kecepatan lebih dari 9 Mach dan mampu menghancurkan sasaran yang berjarak hingga 1.000 kilometer.
Klaim keberhasilan Rusia dalam perlombaan pengembangan rudal hipersonik berbanding terbalik dengan yang dialami oleh AS. Walau AS memiliki belanja militer yang lebih besar dari Rusia pada tahun 2020 sebesar 778 miliar dollar AS, uji coba sistem persenjataan hipersonik AS yang dilakukan bulan Oktober lalu mengalami kegagalan. Data Bank Dunia menyebutkan, belanja militer Rusia tahun 2020 tercatat 62 miliar dollar AS.
Dalam uji coba yang dilakukan pekan ketiga Oktober lalu, kegagalan terjadi karena salah satu bagian roket pengantar gagal beroperasi. Bukan kali ini saja AS gagal menguji calon persenjataan hipersoniknya. Pada April 2021, purwarupa rudal hipersonik AS gagal meluncur dari pesawat pengebom B-52. Roket bernama AGM-183A ARRW itu tetap menempel di pesawat setelah beberapa kali percobaan peluncuran.
Meski mengalami kegagalan, Wakil Direktur Program Kebijakan Nuklir pada Carnegie Endowment for International Peace James M Acton mengatakan, situasi itu tidak bisa menggambarkan bahwa negara-negara pesaing unggul jauh atas AS.
Dikutip dari laman Carnegie, Acton menilai, teknologi hipersonik yang dikembangkan Rusia dan China terlalu fokus pada peralatan pendukung atau pengantar rudal saja, tanpa memikirkan tingkat akurasi. Sebaliknya, bagi militer AS, tingkat akurasi menjadi sangat penting agar penggunaan persenjataan menjadi efektif di situasi yang nyata.
”AS ingin mendaratkan senjata hanya berjarak beberapa meter dari target. Target (pengembangan senjata hipersonik) AS jauh lebih menuntut dibandingkan target Rusia dan China,” kata Acton. (REUTERS)