Jejak Armada Rusia di Perairan Nusantara
Armada Kekaisaran Rusia pun pernah meninggalkan jejak di perairan Nusantara semasa perang Russo-Japan. Belajar dari konflik tahun 1904-1905 itu, persaingan kekuatan besar di kawasan Pasifik selalu berdampak pada ASEAN.
Tidak hanya armada Portugis-Spanyol, Inggris-Belanda, kemudian Jerman dan Jepang yang pernah mewarnai sejarah modern dunia maritim Nusantara sejak 1500 Masehi hingga Perang Dunia II (1939-1945). Armada Kekaisaran Rusia pun pernah meninggalkan jejak di perairan Nusantara semasa perang Russo-Jepang yang dikenal sebagai perang laut Selat Tsushima tahun 1905, yang juga memiliki catatan khusus: untuk pertama kali bangsa Eropa dikalahkan bangsa Asia dalam sebuah konflik bersenjata.
Dalam konflik perebutan pengaruh di Korea-Manchuria atau wilayah Dong Bei (Timur Laut) Tiongkok, Kekasiaran Jepang dan Kekaisaran Rusia saling berhadapan sejak akhir 1800-an hingga awal 1900-an. Wilayah Asia Tenggara juga terdampak persaingan perebutan kekuasaan dan pengaruh tersebut.
Perairan dan kepulauan Nusantara sebagai poros maritim dunia sekali lagi memainkan peran penting. Armada Rusia dari Eropa Barat harus melintasi Selat Malaka untuk memperkuat pertahanan Armada Pasifik yang berpusat di Vladivostok dan semasa itu di Semenanjung Liao Dong di Kota Port Arthur (kini kota Da Lian wilayah China). Daerah itu diperebutkan Rusia dan Jepang pada awal 1900-an.
Ketika itu, Pelabuhan Sabang di Pulau Weh, Aceh, menjadi titik strategis sebagai pelabuhan bebas yang juga menjadi pusat pengisian batubara dan perbekalan bagi kapal-kapal dari berbagai bangsa. Pelabuhan Sabang menjadi satu dari beberapa pelabuhan
Pelabuhan itu strategis karena di sekitar Selat Malaka dan dekat pelabuhan seperti Pelabuhan Penang dan Pelabuhan Singapura. Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun fasilitas Angkatan Laut (Koninklijk Marine) yang besar di Sabang seperti rumah sakit hingga penginapan.
Berebut pengaruh
Kekaisaran Rusia melebarkan kekuasaan ke Siberia hingga Alaska (kemudian dijual ke Amerika Serikat). Kekaisaran Rusia berhadapan dengan Khan Sibir di Siberia dan juga dengan Dinasti Qing di Tiongkok yang dikuasai Bangsa Manchu sejak 1598. Kekaisaran Rusia mencapai pantai Pasifik di tahun 1640 Masehi.
Sementara Jepang dalam buku Seikatsu Kaizen karya Susy Ong membuka hubungan dengan Tiongkok dan Semenanjung Korea sejak abad 3 Masehi. Sejak abad VII-IX Masehi (sezaman Dinasti Tang), penguasa Jepang mengirim utusan ke Tiongkok untuk mempelajari huruf Han Zi (Jepang menyebutnya sebagai Kanji), sistem pemerintahan, budaya, dan teknologinya. Setelah abad ke-10, Jepang melakukan ”Nipponisasi” terhadap budaya yang diserap dari Tiongkok.
Kemudian setelah sempat berdagang dengan Portugis dan Belanda, Jepang menutup diri dari dunia luar. Barulah di tahun 1850 setelah Amerika Serikat memaksa Jepang membuka diri, modernisasi kembali dilakukan yang dikenal sebagai Restorasi Meiji sejak tahun 1868.
Dadu bergulir, dan pada gilirannya, kekuatan Jepang dan Rusia berhadapan di Semenanjung Korea, kemudian di Semenanjung Liao Dong yang diakhiri perang Laut Selat Tsushima tahun 1905 dengan kekalahan Rusia. Kemudian perang berlanjut pada konflik besar di Nomonhan atau Kalkhin Gol di perbatasan Mongolia-Manchuria September 1939 ketika Rusia ganti mengalahkan Jepang.
Armada Eropa ke Pasifik
Pada konflik tahun 1904-1905, kapal bala bantuan Kekaisaran Rusia untuk melawan Jepang di Pasifiik berangkat dari Laut Baltik melalui dua jalur, yakni Terusan Suez dan mengitari Afrika Selatan. Salah satu kapal Armada Kekaisaran Rusia adalah kapal yang ditumpangi pelaut Serghei Khokhlov yang dikirim dari Krondstadt ke Pasifik.
Namun, pelaut itu bernasib malang karena dia meninggal dan kemudian dimakamkan di Pemakaman Eropa, Sabang. Tahun lalu, Kedutaan Besar Federasi Rusia di Jakarta mulai merenovasi dan memasang salib penanda batu nisan baru. Selanjutnya, pada 3 Desember 2021, untuk pertama kali sejak 120 tahun, diadakan upacara penghormatan militer Rusia oleh awak kapal penjelajah Admiral Panteleyev yang singgah dalam kunjungan persahabatan di Pulau Sabang dalam rangka latihan bersama sejumlah angkatan laut negara-negara anggota ASEAN.
Tidak hanya Pelabuhan Sabang yang dikunjungi armada Rusia zaman perang Russo-Jepang tahun 1905, Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia juga menerima kunjungan kapal perang Kekaisaran Rusia semasa itu.
Dalam buku Nederlands Indie, Herinneringen Aan Een Koloniaal Verleden atau Hindia Belanda, Mengenang Masa Lalu Kolonial terbitan Spektrum, Belanda tahun 1978, dengan Editor Johan Jongma, dicatat tentang kunjungan kapal penjelajah Kekaisaran Rusia, Kostroma, di Tanjung Priok. Kapal penjelajah tersebut dikonversi menjadi kapal rumah sakit untuk mendukung armada Rusia menghadapi armada Jepang di Asia Timur.
Dalam foto di buku Nederland Indie, dipasang foto kapal Kostroma dan foto komandan kapal, pendeta Kristen Ortodoks bernama Maslov, dan para perawat di atas kapal Kostroma.
Seorang wartawan Belanda yang mengunjungi kapal Kostroma menulis kalimat penutup ”... Japan won de oorlog. Voor het eerst had een Aziatische mogenheid een Europese verslagen. Dit feit maakte overal in Azie diepe indruk, ook op de Indonesische bevolking” yang berarti Jepang memenangi perang dan untuk pertama kali kekuatan Asia mampu mengalahkan kekuatan Eropa. Kenyataan ini membuat kesan mendalam di seluruh Asia, termasuk bagi rakyat Indonesia.
Kemenangan Jepang terhadap Rusia itulah yang menjadi salah satu pendorong Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menyamakan status bangsa Jepang setara dengan orang Eropa atau golongan pertama dalam tiga golongan masyarakat negeri jajahan.
Sebelum konflik di Port Arthur 1904 yang diakhiri Perang Selat Tsushima tahun 1905, pada 1891 Putra Mahkota Kekaisaran Rusia Nicholas Alexandrovich juga pernah berkunjung ke Batavia, Hindia-Belanda. Hubungan Kekaisaran Rusia dan Kerajaan Belanda tergolong dekat di Eropa. Salah satu penyebabnya adalah Tsar Peter Agung memodernisasi angkatan laut Rusia dengan belajar ke Belanda.
Putra Mahkota Nicholas kelak Tsar Nicholas II tiba pada 7 Maret 1891 pukul 10.00 dengan menumpang kapal penjelajah Pamiat Azova yang lego jangkar di Pelabuhan Tanjung Priok. Rombongan Putra Mahkota Kekaisaran Rusia disambut di Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, para diplomat asing di dermaga dengan iringan lagu kebangsaan Kekaisaran Rusia, lalu berangkat ke Weltevreden dengan menumpang kereta api.
Saat melintas di Benteng Prins Frederik Hendrik, kini kompleks Masjid Istiqlal, dilepaskan 21 kali tembakan meriam. Selama tinggal di Batavia, Putra Mahkota menginap di kediaman Residen Batavia. Putra Mahkota sempat menonton pertunjukan opera lakon ”Putri Tidur” di Gedung Schouwburg (kini Gedung Kesenian Jakarta) dan Museum Bataviasch Genootschap voor Kunsten en Wettenschapen atau Museum Gajah (kini Museum Nasional), Kebun Raya Buitenzorg, ke Garut, hingga mendaki Gunung Papandayan di dekat Garut dan Kota Bandung.
Putra Mahkota Rusia juga sempat berburu buaya. Kunjungan diakhiri pada 14 Maret 1891. Selanjutnya Konsulat Rusia dibuka di Batavia menyusul kunjungan Putra Mahkota Kekaisaran Rusia ke Jawa.
Kembalinya Rusia
Saat ini Rusia sebagai salah satu kekuatan di kawasan Pasifik juga tidak tinggal diam dalam dinamika geopolitik kawasan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pernah mengemukakan mengaktifkan kembali Pangkalan Angkatan Laut Rusia era Perang Dingin di Cam Ranah, Vietnam.
Kantor berita VOA pada 13 Maret 2015 memberitakan keberatan Amerika Serikat kepada Vietnam yang mengizinkan pesawat dan kapal perang Rusia mengisi perbekalan di Vietnam. Pada saat sama, Amerika Serikat membuka pangkalan logistik bagi Angkatan Laut Amerika Serika di Singapura dan juga sejumlah kerja sama di Filipina.
Tidak hanya di Vietnam, Angkatan Laut Rusia juga menjaga kehadiran di Pasifik dengan keberadaan pangkalan di Vladivostok yang terus diperkuat mengimbangi persaingan kekuatan antara Amerika Serikat dan sekutunya yang mengepung China.
Sebaliknya, Jepang pun tidak ketinggalan membangun pengaruh di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara semisal kerja sama dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia mencatat keberadaan Maiko, pelacur dari Jepang, dan juga kawasan Kembang Jepun sebagai catatan keberadaan diaspora Jepang di Asia Tenggara. Akan halnya, keberadaan Rusia tidak banyak disinggung dalam narasi sejarah di Nusantara meski keberadaan seniman Rusia turut berpengaruh dalam sinematografi dan seni pertunjukan di Hindia-Belanda dan awal kemerdekaan Indonesia, termasuk juga dengan kerja sama militer zaman Bung Karno.
Belajar dari konflik Rusia-Jepang di Pasifik tahun 1904-1905, persaingan kekuatan besar di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara selalu berdampak pada perikehidupan manusia di Indonesia dan ASEAN yang memiliki 600 juta penduduk.