Hampir 70 Persen Vaksin Sumbangan Nyaris Kedaluwarsa
Banyak negara miskin dan berkembang menerima sumbangan vaksin Covid-19 yang hampir kedaluwarsa. Lebih dari dua pertiga vaksin sumbangan diterima dengan masa kedaluwarsa kurang dari tiga bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Komunitas internasional menyoroti fenomena sumbangan vaksin Covid-19 yang mendekati masa kedaluwarsa. Fenomena itu menyulitkan upaya vaksinasi di negara-negara penerima sumbangan. Fenomena itu menambah daftar kesenjangan vaksinasi.
Sorotan itu disampaikan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan sejumlah tokoh lain dalam pertemuan virtual USAID Virtual Closed-Door Ministerial Meeting, Senin (6/12/2021) malam. Kepala Pengelola USAID Samantha Power dan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan soal kesenjangan itu.
Baca juga : Omicron Tiga Kali Lebih Mungkin Menyebabkan Infeksi Ulang Dibandingkan Delta
”Lebih dari dua pertiga (66,67 persen) vaksin sumbangan dengan masa kedaluwarsa kurang dari tiga bulan. Kondisi ini menghambat kemampuan negara-negara merencanakan, mengerahkan sumber daya domestik, dan menggerakkan masyarakat dan tokoh masyarakat,” kata Tedros.
Baca juga : Belum Ada Kematian akibat Omicron
Keprihatinan sama disampaikan Power. ”Sering kali vaksin tiba menjelang kedaluwarsa. Di kasus lain, keterbatasan penyimpanan atau tenaga kesehatan membatasi kemampuan negara memvaksinasi,” ujarnya.
Selain soal kedaluwarsa, forum juga menyinggung ketimpangan akses vaksin yang masih terus berlangsung.
”Kesenjangan vaksinasi global masih lebar, di mana negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,6 persen dari seluruh vaksin. Sebanyak 96 negara belum memenuhi target WHO untuk mencapai 40 persen vaksinasi penduduknya pada akhir 2021. Padahal waktunya tinggal beberapa minggu,” tutur Retno.
Selama ini, sejumlah skema diusahakan untuk meratakan akses vaksin. Di antaranya adalah Covax AMC yang secara khusus bertujuan menyediakan vaksin bagi 92 negara berkembang dan miskin. Indonesia bersama Etiopia dan Kanada menjadi pemimpin bersama Covax AMC. WHO juga membuat Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator untuk mempercepat pengembangan, pengadaan, dan pengiriman vaksin Covid-19 secara global.
Sehubungan dengan itu, Retno dan Tedros menekankan pentingnya percepatan pendanaan untuk Covax dan mekanisme sejenis. Tidak kalah penting adalah mengirimkan vaksinasi kepada negara-negara yang membutuhkan. Covax, menurut Retno, masih harus mengirimkan 339 juta dosis untuk mencapai target pengiriman 950 juta dosis kepada negara berkembang dan miskin sepanjang 2021. ”Kita hanya memiliki kurang dari empat minggu hingga akhir tahun,” katanya.
Untuk Covax, komitmen pendanaan sudah melebihi target. Dari 9,3 miliar dollar AS, sudah terkumpul 10,9 miliar dollar AS. Ada pun untuk ACT Accelerator, masih butuh dana hingga 23,4 miliar dollar AS dalam setahun ke depan. Dana itu untuk pengadaan perangkat pemeriksaan dan perawatan serta tentu saja vaksin.
”Saya mendesak Anda bertemu tiap dua bulan untuk memastikan kecukupan dana dan pada kuartal pertama tahun depan untuk memenuhi pendanaan ACT Accelerator dan biaya terkait,” kata Retno.
Percepatan vaksinasi dibutuhkan karena menjadi salah satu jurus menghadapi Covid-19 yang virusnya terus bermutasi. ”Kita perlu memastikan orang mendapatkan kekebalan dari vaksinasi secepat mungkin. Kalau belum divaksinasi, segera vaksinasi. Kalau layak mendapatkan dosis penguat, segera dapatkan. Lakukan semua hal untuk menurunkan risiko penularan seperti menghindari pertemuan besar di ruang tertutup, khususnya apabila tanpa masker,” kata pakar dari Harvard Medical School, Jacob Lemieux.
Paparan pada konferensi pers mengenai respons pemerintah dalam menghadapi varian Omicron, Minggu (28/11/2021). Kesenjangan vaksinasi, Tedros menambahkan, menjadi salah satu faktor pemicu virus SARS-CoV-2 galur Omicron. Upaya vaksinasi terbesar dalam sejarah, yang kini sudah menembus 8 miliar dosis, dikacaukan oleh kesenjangan yang amat parah.
”Negara berpendapatan tinggi memesan melebihi kebutuhan, ditambah dengan larangan ekspor, menyulitkan pasokan Covax dan AVAT,” ujarnya.
Ia menyinggung dua pelantar kerja sama untuk pengadaan vaksin Covid-19. African Vaccine Acquisition Trust (AVAT) dibentuk oleh organisasi Persatuan Afrika (AU). Adapun Covax dibentuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Koalisi Inovasi untuk Kesiapan Epidemi (CEPI) dan GAVI.
Tedros dan sejumlah pakar di sejumlah negara belum yakin bagaimana Omicron akan menyebar cepat di negara-negara. Sejauh ini, WHO mencatat galur Omicron sudah menyebar di sedikitnya 45 negara. Di sejumlah negara, pasien Covid-19 yang terinfeksi galur Omicron terus bertambah. Adapun pasien dari galur Delta tetap mendominasi.
Baca juga : Varian Omicron Mengepung Indonesia
Sejak galur Omicron menyebar dalam beberapa pekan terakhir, pemerintah di sejumlah tempat terus memperluas kewajiban vaksinasi. Di New York, misalnya. Setelah untuk polisi, kewajiban vaksinasi diperluas ke pemadam kebakaran, pekerja kesehatan, dan tempat pendidikan,
Pemerintah Kota New York juga mewajibkan vaksinasi bagi seluruh pegawai swasta. Kewajiban itu berlaku mulai 27 Desember 2021 dan menyasar hingga 184.000 badan usaha di kota tersebut. Siapa pun yang ingin masuk ke tempat kerja wajib menunjukkan bukti sudah divaksinasi, sedikitnya sekali.
Pemerintah Kota New York juga mewajibkan hal serupa bagi siapa pun yang berusia di atas 12 tahun dan ingin makan di restoran atau masuk pusat kebugaran. ”Vaksinasi adalah senjata utama dalam perang melawan Covid-19. Sudah terbukti di sejumlah tempat dan waktu. Banyak orang di sektor swasta menyampaikan kepada saya bahwa mereka percaya pada vaksinasi. Namun, mereka tidak yakin cara mendapatkannya. Kami akan mengurus itu,” kata Wali Kota New York, Bill De Blaiso.
Di Italia dilaporkan, aparat mulai memeriksa para penumpang kendaraan umum dan pengguna tempat umum. Siapa pun harus mengaktifkan aplikasi pelacak di ponselnya. Aplikasi itu wajib berisi data vaksinasi atau bukti pernah sembuh dari Covid-19. Siapa pun yang tidak mengaktifkan aplikasi itu, belum mengisi data vaksinasi, atau belum memasukkan bukti pernah sembuh dari Covid-19 di aplikasi itu, akan didenda 100 euro.
Kebijakan itu bagian dari upaya Italia mendorong vaksinasi. Kini, siapa pun tidak bisa lagi hanya menunjukkan hasil tes negatif untuk naik kendaraan umum atau masuk ke tempat umum. Ketentuan itu berlaku bagi siapa pun yang akan masuk kedai, rumah makan, dan tempat kerja.
Baca juga : Omicron Telah Beredar sejak Oktober
Italia juga mulai mewajibkan vaksinasi untuk sebagian kelompok masyarakat. Bagi warga berusia di atas 60 tahun, mereka harus mendapatkan sekurang-kurangnya vaksinasi satu dosis sebelum akhir 2021. Jika tidak, mereka akan didenda 100 euro setiap kali masuk atau menggunakan kendaraan dan tempat umum.
Adapun untuk kelompok masyarakat lainnya, Roma belum memperluas kewajiban vaksinasi, berbeda dengan sejumlah negara Eropa yang terus memperluas kewajiban vaksinasi. Inggris misalnya. Pemerintah negara itu mewajibkan seluruh pekerja kesehatan mendapatkan vaksinasi sekurang-kurangnya satu dosis pada 1 April 2021.
Calon Wakil Kanselir Jerman Robert Habeck mengakui pewajiban vaksin memang bisa menerobos hak pribadi. ”Namun hal itu (kewajiban vaksinasi) melindungi nyawa dan kebebasan masyarakat. Untuk mencegah gelombang ke lima, kita harus bersiap pada pewajiban vaksinasi,” katanya. (AFP/REUTERS/RAZ)