Tak Sabar Kerumitan Pesan F-35 dari AS, UEA Borong 80 Rafale dari Perancis
Tak sabar menunggu pesawat F-35 buatan Amerika Serikat, Uni Emirat Arab memborong 80 pesawat tempur Rafale buatan Perancis. Abu Dhabi melihat kerumitan pembelian F-35 karena AS mengaitkannya dengan hubungan UEA-China.
Oleh
Luki Aulia dan Mh Samsul Hadi
·5 menit baca
Uni Emirat Arab, akhir pekan lalu, membeli 80 pesawat tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Perancis, sambil menunggu kepastian pembelian 50 unit pesawat tempur F-35 buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat. Rencana pembelian pesawat F-35 terhambat karena kekhawatiran Amerika Serikat pada kedekatan Uni Emirat Arab (UEA) dengan China, termasuk penggunaan teknologi komunikasi 5G buatan China di UEA.
Selain memborong Rafale, UEA juga membeli 12 helikopter militer Caracal buatan Airbus Helicopters dalam kontrak persenjataan senilai 17 miliar euro atau 19,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 277 triliun). Bagi Perancis, pembelian 80 pesawat Rafale oleh UEA itu merupakan pembelian pesawat tempur terbanyak sepanjang sejarah Rafale di luar yang dilakukan militer Perancis.
Penandatanganan kontrak pembelian 80 unit Rafale itu dilakukan bersamaan kunjungan dan pertemuan Presiden Presiden Perancis Emmanuel Macron dengan Putra Mahkota Abu Dhabi dan pemimpin de facto UEA, Pangeran Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan (MBZ), di lokasi Dubai Expo 2020 di Dubai, Jumat (3/12/2021). Kedua pemimpin itu juga menyaksikan penandatanganan tersebut.
Perusahaan pembuat Rafale, Dassault Aviation, menyebutkan bahwa UEA membeli versi yang diperbarui dari jet tempur serbaguna F4 Rafale. UEA akan menjadi negara pertama di luar Perancis yang akan menggunakan F4 Rafale. Jet-jet tempur pesanan UEA itu saat ini tengah dibuat dan diperkirakan akan diserahkan mulai tahun 2027.
Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly menyebut pembelian besar-besaran oleh UEA itu sebagai ”kontrak bersejarah” yang akan berkontribusi ”secara langsung pada stabilitas kawasan”. Sementara bos Dassault Aviation, Eric Trappier, mengatakan bahwa penjualan ke UEA itu sebagai ”kisah sukses Perancis” dan menjadi ”kabar istimewa bagi Perancis dan industri kedirgantaraannya”.
Bagi Perancis, torehan penjualan Rafale di UEA, pekan lalu, menjadi terobosan penting di pasar internasional di tengah persaingan ketat dengan Amerika Serikat dan pembuat pesawat dari negara Eropa lainnya. Negara itu kini menjaring enam klien asing, yakni UEA, Qatar, India, Mesir, Yunani, dan Kroasia.
Bagi Paris, kesuksesan menjual Rafale di UEA bisa menjadi sedikit pelipur lara atas dibatalkannya kontrak pembelian 12 unit kapal Perancis senilai 66 miliar dollar AS selam oleh Australia menyusul pembentukan aliansi AUKUS antara Australia, Inggris, dan AS, September lalu.
Bagi Perancis, pembelian dari UEA itu akan membuka 7.000 lapangan pekerjaan di Perancis dan menjamin rantai pasokan Rafale sampai akhir 2031. Pesanan pesawat dalam jumlah besar ini pun mempererat hubungan UEA dan Perancis. Macron juga membangun hubungan baik dengan Pangeran Sheikh Mohammed hingga membuat banyak terwujud kesepakatan investasi antarkedua negara. Perancis pun memiliki pangkalan militer permanen di UEA.
Adapun bagi UEA, dengan memborong 80 unit Rafale, mereka melampaui jumlah pesawat Rafale yang dibeli negara-negara lain. Qatar, negara tetangga di kawasan Teluk, membeli 36 unit, sedangkan Mesir memesan 24 unit pada tahun 2015 dan 30 unit tahun ini. Pesanan baru 80 unit Rafale itu akan menggantikan 60 unit jet Mirage 2000-9 yang dibeli pada tahun 1998.
Rumitnya pesan dari AS
Menjadi pertanyaan, mengapa UEA masih harus membeli 80 jet Rafale, padahal negara itu tahun lalu telah memesan 50 unit jet tempur canggih F-35 dari AS? Tahun lalu, sebagai imbalan normalisasi hubungan dengan Israel, UEA mendapat kesempatan memesan 50 unit F-35 dari AS.
Komandan Angkatan Udara dan Pertahanan Udara UEA Ibrahim Nasser Al Alawi, dalam pernyataan tertulis, Sabtu (4/12/2021), menjelaskan bahwa pesawat tempur Rafale itu akan menggantikan armada pesawat tempur Mirage 2000 yang juga buatan Perancis.
”Kesepakatan dengan Perancis ini bersifat tambahan dan tidak menggantikan kesepakatan pembelian pesawat F-35 yang sedang berjalan. Kami memang sudah lama berencana hendak mengganti pesawat Mirage,” kata Alawi.
Pihak AS, bulan lalu, pernah mengatakan bahwa AS tetap mau melanjutkan proses pembelian pesawat F-35 itu, tetapi harus ada pemahaman yang jelas terlebih dahulu tentang ”kewajiban-kewajiban UEA”. AS pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump sepakat menjual F-35 setelah UEA menjalin hubungan dengan Israel, tahun lalu. Pemerintahan Presiden Joe Biden menyatakan akan melanjutkan penjualan itu.
Kesepakatan jual-beli 80 unit Rafale antara UEA dan Perancis memberi sinyal ketidaksabaran Abu Dhabi atas kerumitan dalam memesan F-35 dari AS. Kongres AS terlihat masih enggan untuk menyetujui penjualan F-35 ke UEA terkait hubungan UAE dengan China, termasuk penggunaan teknologi 5G Huawei di negara Teluk itu.
”(Kesepakatan) itu mengungkap banyak hal tentang aura luar biasa yang diperoleh Abu Dhabi terkait cara berpikir ideologis dan strategis Paris. Ini untuk pertama kali mitra dekat AS di dunia Arab akan bergantung lebih besar pada teknologi Perancis daripada teknologi Amerika," kata Jalel Harchaoui, peneliti senior pada lembaga Global Initiative Against Transnational Organized Crime.
Kesepakatan pembelian Rafale merupakan bukti terbaru hubungan erat antara UEA dan Perancis meski sebenarnya penjualan pesawat Rafale ini juga awalnya tak mulus. Rencana pembelian Rafale ini sudah ada sejak 10 tahun lalu dan Perancis pernah menawarkan 60 Rafale pada tahun 2011. Dulu, menurut UEA, tawaran itu belum pas karena UEA masih memiliki armada pesawat Mirage.
Perancis adalah salah satu pemasok utama persenjataan UEA. Namun, Paris mendapat tekanan yang semakin besar untuk meninjau ulang pasokan persenjataannya ke UEA terkait peran negara Teluk itu dalam konflik antara koalisi pemimpin Arab Saudi dan kelompok Houthi di Yaman. UEA menjadi bagian dari koalisi tersebut. Konflik di Yaman mengakibatkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
”Perancis maju terus dengan penjualan-penjualan (persenjataan) itu meski UEA memainkan peran utama dalam operasi militer koalisi pimpinan Arab Saudi yang berakibat kesengsaraan rakyat di Yaman,” demikian pernyataan Human Rights Watch (HRW). ”Presiden Perancis seharusnya mengecam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di tiga negara itu,” lanjut HRW merujuk pada tiga negara yang dikunjungi Macron, pekan lalu, yakni UEA, Qatar, dan Arab Saudi. (REUTERS/AFP)