Taliban Umumkan Larangan Memaksa Perempuan Menikah
Taliban menyatakan telah memerintahkan pengadilan untuk memperlakukan perempuan secara adil, dengan janda memiliki sebagian hak atas harta yang ditinggalkan suaminya.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
ISLAMABAD, JUMAT -- Taliban mengumumkan bahwa mereka melarang pemaksaan perkawinan atas perempuan. Pengumuman disampaikan oleh Pemimpin Taliban Hibatulah Akhunzada, ulama yang dipilih sebagai pemimpin tertinggi yang diyakini berada di Kandahar, Afghanistan.
Pengumuman itu dinilai bertujuan memenuhi kriteria yang diajukan oleh komunitas internasional sebagai syarat pengakuan terhadap pemerintahan Taliban. Penegakan hak perempuan juga menjadi syarat bagi pencairan bantuan internasional kepada negara itu.
Dekrit disampaikan saat kemiskinan terus meningkat di Afghanistan menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di tengah penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dan NATO pada Agustus silam. Sejak Taliban berkuasa, negara-negara donor menghentikan bantuan. Mereka menanti perwujudan janji Taliban untuk menegakkan hak-hak perempuan.
“Keduanya (perempuan dan laki-laki) setara. Tak ada satu pihak pun dapat memaksa dengan kekerasan maupun tekanan kepada perempuan untuk menikah,” ungkap dekrit yang disampaikan pada Jumat (3/12/2021) tersebut.
Hak-hak perempuan di Afghanistan dipulihkan dalam dua dekade terakhir. Namun, situasi ini dinilai terancam setelah Taliban kembali berkuasa beberapa bulan silam. Taliban dikhawatirkan bersikap mengabaikan hak-hak perempuan mengingat saat mereka berkuasa pada 1990-an, perempuan dilarang bersekolah dan dilarang tampil di publik.
Perkawinan paksa umum terjadi di negara miskin dan konservatif itu. Para pengungsi di dalam negeri menikahkan anak perempuan mereka dengan imbalan mahar yang dapat digunakan untuk membayar utang serta mencukupi kebutuhan makan keluarga.
Para perempuan Afghanistan yang diwawancarai CNN menyatakan keputusan Taliban mengenai larangan pemaksaan perkawinan hanya akan sedikit berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Menurut para perempuan yang diwawancarai CNN, setelah berkuasa kembali, Taliban memang menegaskan perempuan memiliki hak dalam kerangka hukum Islam, tetapi belum jelas apakah hal itu berarti Taliban menempuh kebijakan berbeda dibandingkan saat berkuasa pada 1996 hingga 2001. Pada masa itu, hak-hak perempuan dinilai diabaikan.
"(Keputusan itu) tidak berkaitan dengan hak kami untuk pergi ke sekolah, universitas, atau berpartisipasi di pemerintahan. Kami tidak melihat masa depan kalau segala sesuatunya berjalan seperti sekarang," ujar Muzhda (20), mahasiswa di Kabul .
"Kami merasa tidak nyaman sejak Taliban berkuasa. Kami juga tak akan merasa tenang setelah pengumuman itu. Kalau mereka tidak mengubah peraturan terkait hak perempuan, kami memilih tetap bersembunyi," ungkap dia.
"Mereka hanya ingin perempuan tetap tinggal di rumah dan mencegah kaum perempuan pergi ke sekolah, universitas, atau ke tempat kerja, tetapi mereka juga tetap ingin meminta perhatian dari komunitas internasional," tambah Muzhda.
Menurut Associate Director Human Rights Watch, Heather Barr, semakin jelas bagi Taliban bahwa isu hak perempuan, khususnya pendidikan anak perempuan, telah menghalangi mereka untuk mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Ia memerinci aspek-aspek yang belum diperoleh Taliban gara-gara terganjal isu hak-hak perempuan, yakni pendanaan serta aset negara yang kini masih dibekukan asing.
Taliban menyatakan telah memerintahkan pengadilan untuk memperlakukan perempuan secara adil, dengan janda memiliki sebagian hak atas harta yang ditinggalkan suaminya. Taliban meminta pula kementerian-kementerian untuk menyebarluaskan kesadaran atas hak perempuan di kalangan masyarakat.
Bagaimanapun, pengumuman Taliban tersebut disampaikan saat ribuan anak perempuan dari kelas 7 hingga kelas 12 masih belum diperbolehkan datang ke sekolah. Selain itu, banyak perempuan yang masih dilarang untuk kembali bekerja. (AP)