Negara Kaya dan Korporasi Dominasi Agenda Reformasi WTO
Agenda reformasi WTO didominasi kepentingan negara kaya dan korporasi. Jika ini berlanjut, negara-negara miskin dan berkembang lagi-lagi akan marjinal dalam sistem perdagangan bebas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengarah pada ketidakadilan baru sistem perdagangan global. Agenda reformasi sejauh ini sangat condong kepada kepentingan negara kaya dan korporasi.
Demikian salah satu isu yang mencuat dalam diskusi daring bertema ”Konferensi Tingkat Menteri WTO Ditunda Lagi, Adakah Solusi bagi Ketimpangan Global?” yang diadakan Indonesia for Global Justice (IGJ), Jumat (3/12/2021).
WTO pada 26 November memutuskan menunda Konferensi Tingkat Menteri Ke-12 WTO yang mestinya digelar pada 30 November-3 Desember 2021. Alasannya adalah merebaknya varian baru Covid-19, yakni Omicron, sehingga terjadi berbagai penutupan perjalanan internasional. Untuk sementara, regulator perdagangan dunia itu menjadwalkan ulang pertemuan pada awal Maret 2022.
WTO melalui konferensi tingkat menteri tersebut dituntut membuktikan relevansinya di tengah persoalan perdagangan dunia mutakhir. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai pihak menuntut reformasi lembaga yang berumur 27 tahun dengan 164 negara anggota itu karena dianggap tidak efektif mengawal perdagangan berkeadilan dan gagal mencegah perang dagang.
Peneliti dari Jaringan Negara Dunia Ketiga atau Third World Network yang berbasis di Swiss, Kinda Mohamadieh, menjelaskan, reformasi WTO mengarah pada perubahan cara kerja organisasi, dari sistem konsensus ke multilateralisme. ”Negara-negara kaya yang dipimpin oleh Uni Eropa dan Inggris ingin agar sistem konsensus diganti menjadi sistem pendekatan multilateralisme,” ujarnya.
Ini berarti segala jenis negosiasi ditentukan oleh kemampuan dan kepemilikan sumber daya suatu negara. Otomatis, negara yang berkembang ataupun miskin sudah kalah sejak awal. Agenda WTO nanti akan dikendalikan oleh negara kaya dan korporasi dengan alasan mereka memiliki kemampuan finansial dan pengaruh global semata.
”Suara negara-negara miskin dan berkembang akan hilang dari WTO, padahal anggota mayoritas WTO adalah negara berkembang. Tidak ada lagi fleksibilitas negosiasi terkait keunikan situasi suatu negara ataupun suatu sektor yang akan dikembangkan. Ini berbahaya bagi para pemangku kepentingan, yaitu rakyat yang di dalamnya ada petani, pekerja, produsen kecil, dan sebagainya. Sistem menjadi tidak adil karena telanjur memihak kepada korporasi dan pemilik modal,” tutur Mohamadieh.
Contoh lebih lanjut dipaparkan Adam Wolfenden, peneliti dari Jaringan Globalisasi Pasifik (Pacific Network on Globalisation), organisasi pembangunan negara-negara di Kepulauan Pasifik yang bermarkas di Fiji. Menurut dia, sektor yang akan langsung terkena dampak ialah perikanan. Rencana reformasi WTO membahas mengenai perekonomian berkelanjutan murni berangkat dari persepsi negara-negara Barat.
Ini bermasalah karena Barat memiliki berbagai sistem pembangunan berkelanjutan, serta mereka memiliki modal dan teknologi. Sebaliknya, negara-negara berkembang dan miskin yang berjibaku menghadapi masalah perekonomian akan sukar melakukan pembangunan berkelanjutan jika hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Negara berkembang harus dibantu dari segi investasi untuk mengembangkan sistem yang ramah lingkungan.
”Di sektor perikanan, rencana reformasi WTO mengatur subsidi hanya untuk negara ataupun kapal perikanan yang memenuhi syarat ramah lingkungan. Praktis, nelayan tradisional sudah dicoret dari daftar karena mereka tidak memiliki uang dan teknologi,” kata Wolfenden.
Hal serupa terjadi pada nelayan yang mencari ikan di luar batas 12 mil laut (22 kilometer). Mereka juga tidak akan memperoleh subsidi bahan bakar dan asuransi keselamatan. Meskipun apabila ditinjau dari sudut ramah lingkungan, subsidi bahan bakar fosil memang harus dipertimbangkan karena mencemari lautan, semestinya ini dibahas dengan konsensus mengenai tata kelola perikanan global tanpa menafikan situasi lokal.
Tekanan kepada negara berkembang dan miskin juga terjadi di sektor e-dagang, seperti yang dipaparkan oleh Ekonom Senior Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) Rashmi Banga. WTO berencana mengeluarkan deklarasi menteri mengenai e-dagang yang mengatur mengenai aliran data, baik pribadi maupun korporasi.
Menurut Banga, data pribadi sebaiknya dikelola oleh PBB secara langsung. Alasannya, pengelolaan data di bawah sektor perdagangan akan rentan dieksploitasi. ”Rancangan aturan itu tidak memberi kesempatan kepada negara berkembang untuk membangun pusat pengelolaan data sendiri. Padahal, di sektor teknologi, harganya bisa disesuaikan dengan jenis dan jumlah data suatu negara,” ujarnya.
Dari konteks Indonesia sebagai anggota WTO dan negara berkembang, Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti berpendapat, kepemimpinan Indonesia di G-20 semestinya bisa dimanfaatkan untuk mendorong keadilan bagi negara berkembang. Setidaknya itu bisa diawali dengan penangguhan paten vaksin Covid-19 agar semua warga dunia bisa segera divaksin. Satu dari tiga agenda utama Presidensi G-20 Indonesia adalah menyangkut arsitektur kesehatan dunia.
Kepada Reuters, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala menekankan pentingnya reformasi WTO untuk mencegah perang dagang lebih lanjut di masa depan. Namun, ia mengakui, hal itu tidak mudah di tengah situasi geopolitik yang makin intens. ”Pasti (reformasi bisa dilakukan). Apakah mudah dilakukan, itu adalah hal lain. Saya pikir, itu akan sangat sulit karena kurangnya kepercayaan di antara anggota,” kata Ngozi Okonjo-Iweala. (DNE)