Pandemi Hadirkan Beragam Tantangan pada Pemajuan Demokrasi
Bali Democracy Forum sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. Forum ini dirancang menjadi tempat berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
KOMPAS/KRIS MADA
Pakar politik internasional dari Universitas Paramadina, Mahmud Syaltout (kanan), Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah (layar kiri), dan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faizal Zaini (layar kanan) dalam diskusi menjelang Bali Democracy Forum, Kamis (2/12/2021), di Jakarta. Diskusi bertajuk ”Demokrasi di Era Pandemi: Menjawab Tantangan dari Setiap Negeri” itu membahas tentang pengembangan demokrasi secara beragam di setiap negara.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menghadirkan sejumlah tantangan bagi demokrasi. Tantangan itu termasuk hadirnya fenomena yang dianggap menjadi jalan keluar untuk penguatan setelah pandemi. Meski demikian, demokrasi dianggap bisa terus bertahan di tengah tekanan pandemi.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini mengatakan, digitalisasi semakin masif di tengah pandemi. Pada platform digital itu bertebaran berbagai hal yang justru mengancam demokrasi. ”Paham-paham transnasional disebar melalui platform digital,” katanya dalam diskusi ”Menuju Bali Democracy Forum: Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan dari Setiap Negeri”, Kamis (2/12/2021), di Jakarta.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah dan pakar politik internasional pada Universitas Paramadina Mahmud Syaltout juga hadir dalam diskusi itu. Mereka membahas berbagai aspek demokrasi di era pandemi.
Helmy yang juga anggota Komisi I DPR itu menyebut, sebagian memahami demokrasi hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran untuk mengembangkan demokrasi. Sebab, proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang.
Kompas/Priyombodo
Warga lansia menyalurkan hak suaranya pada Pilkada Kota Tangerang Selatan di TPS 46 kelurahan Pakujaya, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, Banten, Rabu (9/12/2020). Petugas KPPS di TPS tersebut mengenakan pakaian hazmat sebagai bagian dari upaya menghindari penularan Covid-19. Sebanyak 270 daerah melaksanakan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19.
Ia menekankan, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar. Demokrasi tidak hanya dari paradigma sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.
Sementara itu, Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.
Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal demokrasi membutuhkan keragaman. ”Ini tecermin dari kasus Charlie Hebdo di Perancis. Selama pandemi, seperti kelompok lain, toko-toko milik warga Muslim Perancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” paparnya.
Sementara di sejumlah negara lain, tekanan ekonomi berujung pada penggulingan pemerintah. Di sejumlah negara, ada kudeta yang antara lain dipicu alasan itu.
Kompas/Wawan H Prabowo
Peserta Election Visit Program (EVP) Pemilihan Serentak 2020 mengikuti seminar EVP yang bertema ”Melindungi Kehidupan Manusia, Meningkatkan Integritas dan Memajukan Demokrasi” di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Selasa (8/12/2020). EVP Pemilihan Serentak 2020 menjadi momentum para akademisi, LSM, lembaga terkait, dan tamu undangan dari sejumlah negara untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai kepemiluan yang digelar di tengah bencana nasional akibat pendemi Covid-19. Kegiatan diikuti secara virtual sebanyak 92 orang dan hadir secara fisik sebanyak 52 orang.
Ia juga menyebut, demokrasi memang harus ditumbuhkan dari dalam negeri. Sebab, pemaksaan dengan alasan mendorong demokratisasi adalah pelanggaran. ”Ada negara-negara yang mengintervensi negara lain dengan alasan mendorong demokrasi. Tindakan itu melanggar demokrasi,” katanya.
Titik tengah
Faizasyah mengatakan, pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru. Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.
Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya. Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi. Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter.
KOMPAS/KRIS MADA
Pakar politik internasional dari Universitas Paramadina, Mahmud Syaltout (kanan), dan Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah (layar kiri) dalam diskusi menjelang Bali Democracy Forum, Kamis (2/12/2021), di Jakarta. Diskusi bertajuk ”Demokrasi di Era Pandemi: Menjawab Tantangan dari Setiap Negeri” itu membahas tentang pengembangan demokrasi secara beragam di setiap negara.
Lewat Bali Democracy Forum (BDF), Indonesia ingin menyediakan ajang bagi negara-negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi. BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi. BDF juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di negara-negara lain. ”Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna,” katanya.
Ia menyebut, BDF sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. BDF dirancang menjadi forum berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi.
Sebab, proses demokratisasi tidak selamanya mulus. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Spring tidak sepenuhnya menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Kondisi itu bisa memicu penurunan kepercayaan warga pada demokrasi.