Mengejar Hidrogen Setelah ”Hindenburg”
Dunia tengah mencari energi baru yang bisa menggantikan energi fosil. Prasyaratnya tidak hanya wajib ramah lingkungan, tetapi juga harus terjangkau, tersedia, dan aman. Hidrogen jadi salah satu alternatif.
Saat Konferensi Iklim PBB di Glasgow, Skotlandia, tengah berlangsung, Kepala Eksekutif Toyota Motor Corporation (TMC) Akio Toyoda tengah memacu Toyota Yaris GR, sebuah sedan hatchback mungil, di Sirkuit Internasional Yokohama. Yaris GR yang dikemudikannya bukan sembarangan Yaris, yang banyak ditemui di jalanan dunia.
Mesin Yaris yang digunakan Toyoda, yang semula menggunakan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine/ICE), disulap oleh para insinyur Toyota menjadi sebuah mobil hidrogen (fuel cell).
Dalam pandangan Toyoda, mesin ICE yang kini populasinya masih sangat besar di dunia bukanlah musuh. ”Musuhnya adalah karbon. Netralitas karbon bukan tentang seseorang yang hanya memiliki satu pilihan, melainkan ini tentang pilihan yang tetap terbuka,” ujarnya.
Kendaraan berbahan bakar hidrogen sendiri bukanlah hal yang baru bagi Toyota. Pada 2014, Toyota mulai memproduksi kendaraan berbahan bakar hidrogen secara massal, dibandingkan dengan kendaraan listrik berbasis baterai (battery electrified vehicle/BEV). Dibandingkan dengan produsen otomotif dunia lainnya, Toyota melompat ke depan dengan kendaraan hidrogen mereka, Mirai.
Baca Juga: Hasil COP 26 Mengecewakan
Untuk mendukung ekosistem kendaraan berbasis hidrogen, Toyota membangun infrastrukturnya, mulai dari stasiun pengisian hidrogen hingga ”pabrik” hidrogennya. TMC membangun stasiun pengisian hidrogen di Toyota Ecoful Town di Prefektur Aichi, bekerja sama dengan Toho Gas dan Iwatani Corporation.
Sementara salah satu sumber hidrogennya berasal dari Yokohama Power Plant atau dikenal dengan nama Hama Wing. Pembangkit listrik bertenaga angin ini adalah hasil kerja sama pemerintah Prefektur Kanagawa di Yokohama, Toshiba, dan Badan Pengelola Lingkungan Jepang. Mulai dibangun pada 2007 dengan menghabiskan dana sekitar 5 miliar yen atau setara Rp 600 miliar, kincir angin itu berfungsi penuh pada 2017.
Baca Juga: ”Hama Wing”, Pencarian Sumber Energi Baru
Namun, kini TMC tidak sendirian. Beberapa perusahaan otomotif terkemuka lainnya juga mengembangkan kendaraan dengan bahan bakar hidrogen. Sebut saja Mercedes-Benz dengan GLC F-Cell, BMW, General Motors, hingga Hyundai juga mulai mengembangkan teknologi yang sama.
Melimpah
Hidrogen dikenal sebagai unsur yang paling melimpah di Bumi. Hidrogen menjadi partikel penyusun banyak benda yang memiliki manfaat bagi manusia. Sebut saja air yang tersusun dari oksigen dan hidrogen. Berbeda dengan produk akhir kendaraan ICE yang berbahan bakar fosil, yaitu karbon, produk akhir Toyota Mirai ataupun Mercedes-Benz GLC F-Cell adalah air (H20), yang diklaim bisa dikonsumsi manusia.
Dengan produk akhir yang ramah lingkungan, yaitu air, hidrogen pun akhirnya digadang-gadang menjadi calon sumber energi baru. Ini tidak hanya berlaku bagi kendaraan, tetapi juga semua alat mekanis yang membutuhkan bahan bakar, mulai dari forklift (ini sudah diuji coba oleh TMC di Jepang), kapal laut, hingga pesawat terbang.
Untuk yang terakhir, sejarah mencatat kejadian kelam berkaitan dengan penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar pesawat terbang. Pada 6 Mei 1937, balon udara LZ 129 Hindenburg terbakar di udara kota Manchester, New Jersey, Amerika Serikat. Sebanyak 30 penumpang tewas. Kejadian yang disebut ”Tragedi Hindenburg” itu mencoreng nama hidrogen yang dianggap rawan terbakar sehingga berbahaya.
Kekhawatiran yang masih kuat hingga kini itu menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para produsen. Harus diakui, kekhawatiran tersebut juga yang memperlambat pembangunan stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di Jepang, selain biaya yang masih sangat mahal.
Meski hidrogen memiliki sejarah kelam dengan Tragedi Hindenburg, Pemerintah Provinsi Alberta di Kanada memilih untuk menggunakan bahan bakar ini sebagai sumber energi untuk transportasi, sumber listrik, hingga sumber bahan bakar pengganti gas untuk kompor dan pemanas di rumah warga. Mereka menargetkan semua sektor menggunakan tenaga hidrogen pada 2030, lebih cepat dari target sebelumnya, yaitu 2040.
Gubernur Alberta Jason Kenney, saat mengumumkan Peta Jalan Hidrogen Alberta 2030, mengatakan, perhitungan ekonomi adalah satu hal. Namun, ada pula hal lain yang penting, yakni ketika pasar energi hidrogen global pada 2050 bisa mencapai 2,5 triliun dollar AS per tahun, hidrogen dengan tingkat emisi yang rendah bisa memberikan kehidupan bagi provinsi tersebut dan Kanada, bahkan dunia, selama beberapa dekade mendatang.
”Selain hal ini juga bisa berarti daya serap tenaga kerja bisa mencapai ribuan orang, kita juga mengurangi emisi. Ini adalah solusi untuk semua pihak,” kata Kenney.
Baca Juga: Mobil Listrik, Beda Gaya antara Toyota dan General Motors
Pemerintah Provinsi Alberta memercayai bahwa sumber energi ini akan menjadi sumber energi utama saat masyarakat global mencari sumber energi bersih dan terjangkau. Penggunaan hidrogen sebagai sumber energi, menurut kalkulasi Pemerintah Provinsi Alberta, bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 14 juta ton per tahun. Ini setara dengan pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca Provinsi Alberta sebesar 5 persen, menggunakan patokan angka pada 2019.
Tantangan
Menurut data Badan Energi Internasional (IEA), terdapat 40.000 kendaraan berbahan bakar hidrogen yang lalu lalang di jalan raya di seluruh dunia. Meski produksi kendaraan ini turun hingga 60 persen dan pendaftaran mobil baru menurun hingga 15 persen, tahun 2021 menjadi titik balik produksinya.
IEA mencatat, 8.000 mobil berbahan bakar hidrogen terjual pada triwulan I-2021 di seluruh dunia. Lokasi penjualan terbanyak adalah California, sebanyak 759 unit, disusul Korea Selatan dengan 265 unit.
Profesor bidang iklim dan energi Universitas Melbourne, Australia, Graeme Perman, dan Profesor Sistem Keilmuan Bumi pada Universitas California Irvine, Michael Prather, menyatakan, warga dunia semakin sadar dan berharap menggunakan sumber energi bersih agar bisa membantu menahan laju pemanasan global. Namun, di sisi lain, mereka mengingatkan agar tidak terlalu terburu-buru beralih menggunakan hidrogen untuk kebutuhan sehari-hari. Alasannya, zat ini juga memiliki dampak yang mungkin tidak disadari banyak orang.
Baca Juga: Bumi Kian Tak Ramah
Perman dan Prather, dalam tulisan mereka di media The Conversation, menyatakan, hidrogen yang lepas ke udara akan bereaksi dengan radikal hidroksil, yang sejatinya membantu proses pembersihan udara dari senyawa kimia lain yang berbahaya bagi manusia dan kehidupan. Pengurangan radikal hidroksil yang tersedia di alam karena lepasnya hidrogen justru akan membahayakan kehidupan.
Menaikkan pamor hidrogen di tengah pencarian sumber energi baru terbarukan, dalam hal ini pemanfaatan hidrogen sebagai sumber energi bersih, menurut Dries Acke, Kepala Program Yayasan Iklim Masyarakat Eropa (European Climate Foundation), akan memicu pembalikan prioritas. Apalagi jika hidrogen itu diproduksi dengan cara ”yang tidak bersih”, yaitu menggunakan batubara atau gas alam yang dikenal dengan proses dekarbonisasi. Yang terakhir ini dikenal dengan sebutan blue energy atau energi biru.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim Terasa di Mana-mana dan Semakin Berbahaya
”Ada risiko kebijakan karena cara produksi hidrogen bisa terbagi dua, yaitu dengan cara yang bersih atau tetap menggunakan sumber energi kotor,” katanya.
IEA, dalam laporannya pada Juni 2019, seperti halnya Pemerintah Provinsi Alberta, meyakini, produksi hidrogen dan pemanfaatannya yang ramah lingkungan akan membantu masyarakat global menahan laju pemanasan global yang dihasilkan oleh gas rumah kaca. Yang diperlukan untuk menjadikan hidrogen sebagai gas yang ramah lingkungan adalah pengembangan dan proses produksinya yang harus berbasis pada proses produksi yang hijau atau ramah lingkungan.
IEA meyakini, di masa lalu, hidrogen memiliki sejarah kelam. Namun, kini sejarah baru bisa ditorehkan kembali. (REUTERS)