Memanfaatkan Momentum Pandemi untuk Melindungi WNI
Banyak pekerja migran Indonesia tanpa dokumen atau tinggal secara ilegal di Malaysia. Selama masa pandemi, mereka menjadi kelompok paling rawan. Masa ini bisa dimanfaatkan untuk membenahi perlindungan pekerja migran.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Hubungan Indonesia-Malaysia terus mengalami pasang surut. Salah satu isu yang terus mewarnai hubungan dua tetangga ini adalah perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono mengatakan, pandemi membuat isu perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) semakin penting. Sepanjang 2021, ada 1.388 PMI meninggal karena Covid-19 di Malaysia. ”Ini baru data yang masuk ke kedutaan, belum ke konsulat-konsulat,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Kompas, Sabtu (27/11/2021).
PMI di Malaysia memang tidak semuanya terdata. Banyak pula PMI tanpa dokumen atau tinggal secara ilegal di Malaysia. Selama masa pandemi, mereka menjadi kelompok paling rawan. ”Pandemi ini harus dijadikan momentum untuk menyelesaikan masalah-masalah selama ini. Momentum ini tidak akan datang dua kali. Harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” katanya.
Pandemi membuat Indonesia dan Malaysia sama-sama membutuhkan, terutama apabila terkait isu pekerja migran. Pandemi membuat banyak pekerja migran pulang kampung. Penutupan perbatasan menyebabkan aliran pekerja migran nyaris tertutup sama sekali. Hal itu membuat berbagai sektor di Malaysia kekurangan tenaga kerja.
Asosiasi pengusaha Malaysia sudah bolak-balik meminta Pemerintah Malaysia menyelesaikan masalah itu. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Federasi Pengusaha Malaysia (MEF) Malaysia sama-sama mengeluhkan fakta banyak perusahaan kekurangan tenaga kerja.
Sektor perkebunan terpukul oleh kekurangan tenaga kerja. Sebab, banyak hasil panen tidak bisa dipetik. Sementara di sektor konstruksi, banyak proyek tidak berjalan atau lambat selesai. Semua gara-gara kekurangan pekerja asing. Kadin dan MEF Malaysia menyebut kekurangan tenaga paling sedikit 800.000 orang.
Isu pokok
Sementara dari sisi Indonesia, ada keperluan perlindungan PMI. Indonesia-Malaysia sudah bertahun-tahun merundingkan nota kesepahaman soal perlindungan itu. Ada sejumlah isu yang belum disepakati Jakarta-Kuala Lumpur.
Hermono mengatakan, Indonesia meminta kesepakatan mencantumkan batasan pekerjaan yang boleh ditangani pekerja rumah tangga. Hal itu penting karena PMI yang direkrut menjadi asisten rumah tangga kerap harus mengerjakan semua hal. ”Membersihkan rumah, merawat anak balita, mengurus orangtua (manula), sampai menjaga toko, semua dikerjakan,” kata Hermono.
Indonesia tidak mau lagi pola seperti itu berlanjut. Indonesia mau ada pembatasan tugas. Jika nanti ada kesepakatan lain antara pemberi dan penerima kerja, bisa saja ada perluasan tugas. Hal terpenting, negara sudah memberi batasan sebagai langkah perlindungan.
Indonesia juga meminta pembenahan mekanisme perekrutan. Ke depan, perekrutan hanya boleh melalui jalur yang disediakan pemerintah. Hal itu untuk melindungi pemberi dan pencari kerja. Para pemberi kerja mendapat kepastian bahwa PMI yang direkrutnya memang sudah mendapat pelatihan untuk bekerja. Jangan sampai mereka mendapat calon pekerja yang tidak pernah dipersiapkan.
Sementara bagi pencari atau penerima kerja, ada kepastian siapa yang merekrut dan kesepakatan kerjanya. Sebab, hal itu menjadi persyaratan wajib dalam sistem Pemerintah Indonesia. Sekarang, perekrutan PMI melalui berbagai jalur. Hermono menambahkan, saat ini bahkan, ada system maid online (SMO), yakni sejenis lokapasar untuk mencari asisten rumah tangga. ”Tidak boleh seperti itu. Ini manusia diperlakukan seperti komoditas, bisa dibeli secara daring,” katnya.
KBRI Kuala Lumpur tidak punya data siapa perekrut dan yang direkrut lewat SMO. Tidak jelas pula di mana keberadaan PMI yang direkrut melalui SMO. Indonesia mau metode itu dihapuskan.
Indonesia juga mau ada kenaikan upah minimum. Paling tidak, PMI di Malaysia menerima upah minimum 1.500 ringgit per bulan atau Rp 5,2 juta per orang ditambah aneka tunjangan. Tuntutan itu dinilai realistis karena negara lain sudah ada yang mencapai kesepakatan itu.
Memang, sampai sekarang tiga poin itu tidak kunjung disepakati sehingga Indonesia-Malaysia masih terus berunding. Mengenai perkembangan itu, Hermono telah menyampaikan bahwa Indonesia harus bersiap pada ketiadaan kesepakatan. ”Penuntasan perundingan tidak boleh mengorbankan kepentingan kita. Perlindungan ini penting sekali,” kata Hermono.
Tentu, hubungan Indonesia-Malaysia lebih luas dari sekadar soal PMI. Perdagangan kedua negara terus bertumbuh, termasuk selama masa pandemi. Meski nilai totalnya menurun, Indonesia masih mendapat surplus dari perdagangan dengan Malaysia. Indonesia mencatat surplus 2,1 miliar dollar AS pada 2020.
Pada periode Januari-Februari 2021, ekspor nonmigas Indonesia ke Malaysia mencapai 1,4 juta dollar AS atau naik 32 persen. Sejauh ini, Indonesia sudah mencatat surplus 581 juta dollar AS dari perdagangan dengan Malaysia.