Faktor di Balik Macetnya Proyek Global China di Koridor Pakistan
Proyek China senilai Rp 716,7 triliun untuk meningkatkan kapasitas Pakistan dan menghubungkan China barat dengan Teluk Persia kini dilaporkan terbengkalai.
Megaproyek infrastruktur senilai 50 miliar dollar AS atau Rp 716,7 triliun, bagian dari strategi pembangunan global Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China, di koridor Pakistan terbengkalai. Proyek itu didedikasikan untuk peningkatan layanan listrik, transportasi, dan kapasitas digital Pakistan. Proyek itu juga menghubungkan China barat dengan Teluk Persia dan sekitarnya di Laut Arab.
Proyek itu berlokasi di Gwadar, pelabuhan laut terdalam di Pakistan selatan yang berhadapan dengan Laut Arab. Pelabuhan Gwadar sering disebut sebagai ”mahkota permata” Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) yang menghubungkan Xinjiang, China barat, dengan Laut Arab.
Ada rencana besar untuk menyulap kota nelayan yang dulunya sepi itu menjadi pusat perdagangan yang dinamis. Proyek CPEC di Gwadar hendak dilengkapi dengan pelabuhan laut, bandara, koneksi jalan utama, dan zona perdagangan.
Sayangnya, proyek itu sedang mati suri dengan aktivitas bisnis yang tidak berkembang akibat ketegangan dan ketidaksepakatan Beijing-Islamabad. Sekalipun ada upaya serius untuk membangun dan mempromosikan Gwadar sebagai pusat perdagangan global, kegiatan bisnis di kota itu sangat langka.
Laju perkembangan proyek CPEC sangat lambat dan bisnis di Gwadar bahkan nyaris mati. Bisnis yang lambat ditambah dengan penundaan proyek besar CPEC di Gwadar—seperti jalan tol utama, pembangkit listrik tenaga batubara, dan bandara baru—dapat berarti bahwa kehidupan masyarakat lokal tidak mungkin membaik dalam waktu dekat.
Situasi terkini di Gwadar diungkap, antara lain, oleh Adam Qadir Baksh, pengusaha suku cadang mobil setempat, kepada Nikkei Asia, Selasa (31/11/2021). Sejak tahun 2015, dia mengharapkan lompatan besar ke depan dalam bisnis suku cadang mobil miliknya, tetapi itu tidak terjadi.
”Tidak ada manfaat dari Koridor Ekonomi China-Pakistan untuk vendor suku cadang lokal dan pemasok lainnya,” kata Baksh.
Baca juga : China Kembali Dukung Pakistan
Berbicara dari sisi kepentingan bisnisnya, ingatan Baksh kembali ke enam tahun silam saat Presiden China Xi Jinping berkunjung ke Pakistan. Saat itu Xi secara resmi meluncurkan proyek-proyek pembangunan infrastruktur bilateral di bawah skema BRI. Baksh mengatakan, Pakistan kini sangat tidak diuntungkan karena hampir semua kebutuhan proyek CPEC diimpor dari China.
”China hanya membeli pasir dan kerikil lokal untuk proyek konstruksi,” kata Nasir Sohrabi, Ketua Dewan Pengembangan Masyarakat Perdesaan Gwadar. ”Semua bahan baku lainnya diimpor dari China, menyisakan sangat sedikit untuk industri lokal,” katanya.
CPEC adalah komponen unggulan BRI senilai 50 miliar dollar AS yang mencakup pembangkit listrik, kluster industri, dan peningkatan jalan dan kereta api, serta peningkatan kapasitas digital. Sekitar setengah dari uang yang dijanjikan China telah mengalir dalam bentuk investasi dan pinjaman antarpemerintah. Aliran dana itu mendorong pertumbuhan ekonomi Pakistan di atas 5 persen pada 2017 dan 2018.
”Namun, mereka yang belum mendapat manfaat dari dukungan China itu kehilangan harapan dan gelisah,” tulis Nikkei Asia.
Platform multibahasa The Third Pole yang berafilisi dengan organisasi China Dialogue Trust di London, edisi 11 Agustus lalu, melaporkan, mimpi Pelabuhan Gwadar dimulai pada tahun 2013. Saat itu badan usaha milik negara China yang kurang dikenal, China Overseas Port Holding Company (COPHC), ”menyewa” Gwadar selama 40 tahun. Sekitar 90 persen dari pendapatan pelabuhan dikontrak untuk masuk ke perusahaan China tersebut.
Baca juga : China Mengecam Keras Seranga Teror Bom di Pakistan
Di atas kertas, potensi Gwadar cukup menjanjikan. Pelabuhan itu telah memiliki tempat untuk berlabuh tiga kapal besar dengan kapasitas 50.000 tonase bobot mati. Pada tahun 2045, pelabuhan Gwadar diharapkan bisa menambatkan 150 kapal dan menampung hingga 400 juta ton barang (kargo).
Menurut Pemerintah Pakistan, jika Pelabuhan Gwadar segera berfungsi, pelabuhan laut dalam yang ketiga di negara itu, akan memenuhi ”peningkatan permintaan untuk perdagangan”. Hal itu kemungkinan tidak akan bisa diikuti oleh pelabuhan Karachi dan Qasim saat ini.
Sekalipun beberapa bagian Gwadar telah mengalami perbaikan, kehidupan 265.000 penduduk setempat, yang sebagian besar nelayan miskin, hampir tidak membaik. Bahkan menurut laporan The Third Pole, pembangunan proyek BRI di koridor Pakistan, dalam beberapa kasus, telah menambah beban masalah baru bagi keluarga nelayan miskin.
”(Itu) pasti karena mereka (pengembang) tidak mendapat restu dari orang-orang Gwadar,” kata Abdul Rasheed Isa, seorang nelayan dari permukiman Bangsal Khulgari di Gwadar. Jawaban Isa itu merujuk pada kondisi terbengkalainya proyek Gwadar, yang berdampak pada kehidupan nelayan.
Media Nikkei Asia melaporkan, jalan utama menuju Pelabuhan Gwadar diblokir sejak 15 November 2021 oleh ribuan warga setempat. Mereka menggelar aksi menuntut fasilitas dasar, termasuk air dan listrik, serta akses ke laut untuk nelayan.
”Jika tuntutan kami tidak dipenuhi, kami akan menutup CPEC,” kata Molana Hidayat, tokoh masyarakat lokal.
Naseer Khan Kashani, Ketua Gwadar Port Authority (GPA), yang mengawasi konstruksi dan pemeliharaan pelabuhan, menguraikan masalah itu dengan jujur. Terlepas dari ”posisi strategis” Gwadar sebagai ”pelabuhan laut dalam terbaik” di mulut Teluk Persia—rute niaga ”sepertiga minyak global setiap tahun”—Kashani mengatakan, pelabuhan itu gagal menjadi simpul bisnis.
Pakistan juga telah mengalami penurunan investasi langsung asing (FDI) dari China. Menurut Bank Negara Pakistan, bank sentral, FDI China pada kuartal ketiga 2021 hanya 76,9 juta dollar AS. Padahal pada kuartal yang sama tahun lalu total investasi China ke Pakistan sempat mencapai 154,9 juta dollar AS.
FDI pada tahun fiskal yang berakhir pada Juni juga turun tajam. Tidak termasuk fiskal 2019, yang mencapai 757 juta dollar—paling sedikit terlihat sejak 2015. Penurunan FDI menjadi lampu kuning bagi perekonomian Pakistan.
Baca juga : Bus Pekerja China Jatuh ke Jurang di Pakistan, 13 Orang Tewas
Perlambatan juga terlihat dalam angka perdagangan Pakistan. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan, ekspor China ke Pakistan telah menurun. Angka ekspor China ke Pakistan sempat mencapai puncaknya, yakni 15 miliar dollar pada tahun 2017, tetapi belakangan terus merosot.
Ada tren penurunan yang jelas dalam pasokan barang-barang manufaktur dan bahan-bahan lainnya. Besi dan baja, bahan baku paling vital untuk pembangunan infrastruktur di Pakistan (termasuk di Gwadar), turun terus sebesar 40 persen secara keseluruhan antara tahun 2016 dan 2020.
Fakta itu seolah bertolak belakang dengan impian tentang Gwadar yang disebut-sebut sebagai ”pengubah permainan” oleh Nawaz Sharif, mantan perdana menteri Pakistan. Ia menyebut CPEC membantu untuk mengatasi kekurangan pembangkit listrik Pakistan yang sudah kritis.
Mosharraf Zaidi, Direktur Eksekutif Tabadlab, sebuah think tank yang berbasis di Islamabad, mengatakan bahwa CPEC juga memiliki dampak besar pada transportasi perkotaan dan jalan raya juga membantu dalam pembangunan banyak jalan yang menghubungkan desa-desa.
”Tidak ada mitra bilateral Pakistan yang menjadi pusat cerita ekonomi negara seperti China dan kerangka kerja CPEC,” katanya kepada Nikkei Asia.
Namun, ada sejumlah proyek yang terhenti, termasuk proyek kereta api Jalur Utama-1, komponen CPEC yang paling mahal. Proyek peningkatan jalur kereta api Karachi-Peshawar menelan dana 6,8 miliar dollar AS.
China ingin meminjamkan 6 miliar dollar AS lagi. Namun, perbedaan tajam yang belum diatasi antara Beijing-Islamabad dalam lebih dari setahun ini, membuat proyek tidak berjalan.
Perselisihan bukanlah hal baru, melainkan umumnya disimpan di balik pintu tertutup. Namun, ketidaksenangan China terhadap Pakistan kadang-kadang bocor keluar hingga sampai ke meja media massa.
Pada awal 2019, Yao Jing, Duta Besar China untuk Pakistan, bertemu pejabat Pemprov Balochistan di Quetta. Meskipun tidak pernah dikonfirmasi secara resmi soal pertemuan itu, pertemuan itu bocor ke media. Yao dilaporkan sangat kritis terhadap penundaan izin kepada perusahaan China untuk pembangunan proyek listik tenaga batubara.
”Kalian tidak menganggap serius penundaan pemberian izin kepada perusahaan China untuk mulai mengerjakan pembangkit listrik tenaga batubara di Gwadar,” kata Yao, seperti dikutip Nikkei Asia.
Keretakan hubungan kerja sama bilateral memang jamak terjadi. Biasanya, menyebabkan pengerjaan proyek tertunda, seperti pernah terjadi di banyak negara. Situasi seperti itu juga dialami antara China-Pakistan. Keretakan menyebabkan berkurangnya investasi dan volume ekspor China ke Pakistan.
Islamabad khawatir dengan mahalnya proyek-proyek China. Ada setidaknya 135 perusahaan China yang beroperasi di Pakistan.
Tabish Gauhar, Asisten Khusus Perdana Menteri Pakistan untuk urusan listrik dan minyak bumi, menyatakan dalam sidang kabinet, Agustus lalu, bahwa proyek pembangkit listrik CPEC itu 25 persen lebih mahal dari ambang internasional.
Faktor lain yang mungkin berperan dalam perlambatan kerja sama ekonomi di bawah BRI di koridor Pakistan adalah serangan teror terhadap kepentingan China. Baru-baru ini, sembilan warga negara China dibunuh oleh teroris di dekat proyek pembangkit listrik tenaga air Dasu, di Pakistan barat laut.
Baca juga : Ribuan Anggota Taliban Pakistan Bersembunyi di Afghanistan
Michael Kugelman, Wakil Direktur Program Asia di Wilson Center di Washington, mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa masalah keamanan mempengaruhi investasi China di Pakistan.
”Faktanya adalah kepentingan China selalu menjadi target. Hal itu terjadi bahkan setelah Beijing menyatakan keprihatinannya dan menyerukan keamanan yang lebih baik,” katanya.
Kurangnya respons Pakistan terhadap masalah keamanan telah mengurangi selera China untuk membangun proyek-proyek baru di negara Asia Selatan itu. Penarikan Amerika Serikat AS yang tergesa-gesa dan berbuntut masalah keamanan dari Afghanistan pada 30 Agustus lalu, dan kembalinya Taliban menjadi penguasa di Kabul, dapat memperburuk ketidakpastian itu.
CPEC memfasilitasi pembangunan jalan penghubung antara Gwadar dan Quetta, ibu kota Provinsi Balochistan. Itu mengurangi waktu perjalanan dan seharusnya menawarkan peluang bisnis perusahaan transportasi di Gwadar.
”Bisnis angkutan penumpang ke Gwadar telah berjalan dengan baik selama bertahun-tahun,” kata Muhammad Arif, manajer umum Perusahaan Angkutan Umum Al Safeer di Quetta. ”Namun, tidak satu pun dari kami memanfaatkan peluang transportasi barang karena Pelabuhan Gwadar gagal memulainya.”
Jeremy Garlick, profesor hubungan internasional dan studi China di Universitas Ekonomi dan Bisnis Praha, menegaskan bahwa China menjadi semakin berhati-hati dalam berinvestasi di Pakistan.
”Mengingat ketegangan global saat ini dan konsekuensi dari pandemi Covid-19, saya mengatakan kemungkinan bahwa kita akan melihat perlambatan berkelanjutan dalam laju investasi China dalam beberapa tahun ke depan,” katanya kepada Nikkei Asia.
Sejak dimulainya CPEC pada 2015, investasi China sangat penting bagi ekonomi Pakistan. Selain mengurangi masalah daya dan konektivitas, Pakistan telah menggunakan uang China untuk membayar pemberi pinjaman lainnya, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Para ahli berpikir terlalu sederhana untuk menafsirkan ini hanya sebagai langkah AS untuk menggantikan China. Jeremy Garlick tidak melihat tanda-tanda AS sedang bersiap untuk berinvestasi lebih banyak di Pakistan karena pengalaman masa lalunya dan kerja sama jangka panjang Pakistan dengan China. ”Pakistan harus mencari dana di tempat lain jika tidak dapat mengamankan mereka dari Beijing,” katanya.
Baca juga : Pakistan Membela Kemitraan dengan China
Kugelman yakin Washington juga tahu itu tidak dapat mengubah hubungan China-Pakistan. China dan Pakistan tetap terikat oleh persepsi mereka tentang India sebagai musuh bersama. China menginginkan tetangga yang ramah di selatannya, sementara Pakistan mencari berkah dari kekuatan global yang tidak transaksional seperti AS.
Dapatkah Pakistan membangkitkan kembali minat perusahaan dan investasi China? Seorang pejabat Pakistan percaya tidak. ”Dengan berakhirnya fase panen awal CPEC, pembangunan infrastruktur yang dipimpin China telah mencapai puncaknya di Pakistan,” katanya tanpa menyebut nama.
CPEC belum berakhir. ”Namun dalam sembilan tahun ke depan, kita tidak bisa berharap melihat sebagian kecil dari pembangunan infrastruktur yang terjadi antara 2015 dan 2020,” kata pejabat itu kepada Nikkei Asia.
Zhang Baozhong, Ketua dan Direktur Eksekutif COPHC, ketika ditanya tentang jeda aktivitas di Gwadar menyangkalnya. Dia bahkan mengatakan, ada ”Banyak kemajuan telah dicapai. Lebih dari 1.000 penduduk setempat dipekerjakan di pelabuhan serta Zona Bebas Gwadar.”
Menurut Zhang, sejak tahun lalu, setiap bulan hingga 5.000 ton minyak dan gas dari Qatar dan Oman tiba di Gwadar dan diangkut ke luar negeri. ”Pelabuhan aktif terlibat dalam perdagangan transit untuk Afghanistan,” kata Zhang. Dia menambahkan, ”Hingga 30-50 kontainer dikirim ke pelabuhan setiap bulan.”
Namun, ketika mengunjungi Pelabuhan Gwadar pada awal Juli 2021, Perdana Menteri Imran Khan mengakui keterbatasan di kawasan. Dia menyoroti ”masalah umum seperti pasokan air, listrik dan gas, serta konektivitas dengan daerah lain” sebagai penyebab kurangnya kemajuan di kawasan itu. (AFP/REUTERS/AP)