China Kirim Surat Protes pada Indonesia, Desak Pengeboran di Laut Natuna Utara Dihentikan
Pemerintah China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di ujung selatan Laut China Selatan karena mengeklaim lokasi itu bagian dari wilayah China. Jakarta menilai wilayah itu ZEE Indonesia.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
JAKARTA, RABU — Pemerintah China meminta Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran sumber daya minyak dan gas alam di anjungan pengeboran lepas pantai di bagian selatan wilayah perairan Laut China Selatan. Indonesia menyatakan wilayah ujung selatan Laut China Selatan itu masuk zona ekonomi eksklusif, berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan menamainya dengan Laut Natuna Utara sejak 2017.
China mengeklaim lokasi pengeboran tersebut masuk ke dalam wilayah China. Permintaan Beijing pada Jakarta untuk menghentikan aktivitas yang dimaksud belum pernah muncul dari China pada waktu-waktu sebelumnya.
Indonesia menyatakan tidak memiliki sengketa wilayah perairan di kawasan itu dan bukan sebagai negara pengeklaim (claimant) dalam konflik wilayah Laut China Selatan. Namun, perkembangan terbaru ini menambah ketegangan di wilayah perairan strategis tersebut.
Informasi tentang permintaan penghentian pengeboran di Laut Natuna Utara oleh Pemerintah China kepada Pemerintah Indonesia itu diperoleh kantor berita Reuters, Rabu (1/11/2021), dari anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, yang mengetahui adanya surat dari diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia.
”Jawaban kami sangat jelas dan tegas. Kami tidak akan menghentikan kegiatan pengeboran karena itu merupakan hak berdaulat kami,” ujar Farhan.
Kemenlu RI hanya memberikan penjelasan singkat. ”Komunikasi diplomatik apa pun antarnegara sifatnya rahasia dan isinya tidak dapat disebarkan,” demikian Kemenlu, seperti dikutip Reuters. Kemenlu China, Kementerian Pertahanan China, dan Kedutaan Besar China untuk Indonesia juga tidak memberikan komentar mengenai hal ini.
Ada tiga narasumber Reuters yang membenarkan adanya surat dari diplomat-diplomat China tersebut. Dua orang di antara tiga narasumber itu mengatakan, China sudah beberapa kali meminta Indonesia menghentikan pengeboran.
China keberatan dengan perubahan nama menjadi Laut Natuna Utara, yang diumumkan Indonesia pada 2017. Beijing bersikeras bahwa wilayah itu masuk Laut China Selatan (LCS) dan merupakan bagian dari wilayahnya dengan mengacu pada klaim ”sembilan garis putus-putus” berbentuk U.
Mengancam
Klaim batas wilayah tersebut tidak memiliki dasar hukum, berdasarkan putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag, Belanda, pada 2016. ”Surat dari China itu sedikit mengancam. Ini upaya pertama diplomat-diplomat China memaksakan keyakinan tentang sembilan garis putus-putusnya, menentang hak Indonesia yang diatur hukum laut,” kata Farhan.
Ketua Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, menegaskan bahwa jika lokasi pengeboran berada di wilayah Laut Natuna Utara, tidak pada tempatnya China protes. Ini karena Laut Natuna Utara merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menurut hukum laut internasional.
”Walau China pernah mempersoalkan penamaan Laut Natuna Utara, sepanjang pengetahuan saya, tidak ada upaya diplomatik yang serius dari China untuk contesting wilayah perairan itu dengan Indonesia. Sederhananya, China mengakui kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara,” ujarnya.
Nur menambahkan, China tidak bisa begitu saja mengeklaim Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayahnya (karena klaim historis, misalnya). Sikap Indonesia yang diam saja sudah tepat, tetapi kemudian harus responsif dengan tetap mengedepankan pendekatan diplomatis jika China semakin keras menyampaikan protes.
China merupakan rekan dagang Indonesia yang terbesar dan sumber investasi terbesar keduanya. Posisi China dinilai penting bagi Indonesia. Farhan dan dua sumber Reuters mengatakan, para pemimpin di Indonesia tidak mau membicarakan isu ini untuk menghindari konflik atau sengketa diplomatik dengan China.
Pengerahan kapal China
Terkait hal tersebut, Reuters mencatat, beberapa hari setelah anjungan pengebor Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur pada 30 Juni lalu, ada kapal penjaga pantai China yang mendekat ke lokasi itu. Kemudian, disusul penjaga pantai Indonesia.
Selama empat bulan selanjutnya, menurut data identifikasi kapal dan citra satelit dari Inisiatif Transparansi Maritim Asia atau AMTI (proyek yang dijalankan Pusat Studi Strategis dan Internasional berbasis di Amerika Serikat), kapal-kapal China dan Indonesia saling membayangi di sekitar ladang minyak dan gas alam tersebut. Kapal-kapal itu sering kali hanya berjarak 1 mil laut (1,85 kilometer) satu sama lain.
Data dan gambar yang ditinjau AMTI serta lembaga kajian independen di Jakarta, Inisiatif Keadilan Laut Indonesia (IOJI), menunjukkan bahwa kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, juga tiba di lokasi itu, akhir Agustus lalu, dan berada di sana selama tujuh pekan. Kapal itu bergerak lambat dalam Blok D-Alpha itu.
Menurut studi Pemerintah Indonesia, ada cadangan minyak dan gas senilai 500 miliar dollar AS di wilayah perairan itu. ”Berdasarkan pola pergerakan, sifat, dan kepemilikan kapal, sepertinya mereka sedang melakukan survei ilmiah terhadap lokasi D-Alpha,” kata peneliti di IOJI, Jeremia Humolong.
Pada 25 September lalu, kapal induk AS, USS Ronald Reagan, juga datang dalam jarak 7 mil laut (12, 96 km) dari anjungan pengeboran Blok Tuna. Empat kapal perang China kemudian menyusul ke lokasi itu juga.
Saat ini China sedang bernegosiasi dengan 10 negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, untuk menyelesaikan Kode Tata Berperilaku (COC) yang mengatur penanganan konflik di LCS. Wilayah perairan ini diketahui kaya akan minyak dan gas alam senilai 3,4 triliun dollar AS per tahun.
Perundingan antara ASEAN dan China mengenai COC LCS akan dimulai kembali tahun ini setelah sebelumnya mandek karena pandemi Covid-19. Indonesia belum membuat klaim resmi atas wilayah LCS. Jakarta menyatakan, berdasarkan hukum PBB, wilayah perairan yang dipersoalkan China itu sudah jelas diatur oleh hukum laut internasional dan masuk wilayah ZEE Indonesia.
Presiden China Xi Jinping coba mengurangi ketegangan antara China dan negara-negara anggota ASEAN dalam pertemuan China-ASEAN, bulan lalu. Pada waktu itu Xi menegaskan, China sama sekali tidak akan mencari hegemoni, menggertak, atau melakukan perundungan pada negara-negara kecil di kawasan itu.
”Para pemimpin di Indonesia sengaja diam dan tidak ingin informasi ini bocor karena (jika bocor) akan bisa menciptakan insiden diplomatik,” kata Farhan.
Anjungan pengeboran sementara beroperasi hingga 19 November dan kemudian beralih menuju ke perairan Malaysia. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sudah berkunjung ke Laut Natuna Utara, pekan lalu. Pada waktu itu, ia menegaskan, Indonesia tidak akan pernah menyerahkan satu inci pun wilayahnya.
Menurut juru bicara Harbour Energy, operator Blok Tuna itu, kegiatan pengeboran selesai tepat waktu. Harbour Energy diperkirakan akan mengeluarkan pembaruan hasil pengeborannya pada 9 Desember mendatang.
Kepada Reuters, Farhan juga mengungkapkan, dalam surat yang lain China juga memprotes latihan militer Garuda Shield, Agustus lalu. Latihan itu melibatkan 4.500 tentara dari Amerika Serikat dan Indonesia serta sudah rutin dilakukan sejak 2009.
”Ini protes China yang pertama soal itu. Dalam surat resmi, Pemerintah China mengutarakan kekhawatirannya pada stabilitas keamanan di wilayah itu,” ujar Farhan. (REUTERS)