Barat Berpacu dengan Nuklir Iran, Teheran Berpacu dengan Derita Rakyatnya
Perundingan nuklir Iran bergulir lagi, memasuki putaran ketujuh, antara Iran dan 5 negara penanda tangan yang tersisa. Ada sinyal positif, didorong situasi mendesak kedua pihak. Namun, ada juga kekhawatiran akan buntu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
VIENNA, SELASA — Sejumlah diplomat Uni Eropa dan Rusia mencoba menyampaikan sikap optimistis mereka terkait kemajuan perundingan program nuklir Iran yang kembali bergulir di Vienna, Austria, Senin (29/11/2021). Ada urgensi di masing-masing pihak untuk segera mencapai titik temu dalam upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Enrique Mora, pejabat Uni Eropa yang memimpin perundingan sejak putaran pertama, mengatakan bahwa dirinya melihat ada celah positif dari perundingannya dengan para pihak, Iran dan Amerika Serikat. Iran, kata Mora, menerima hasil yang telah dicapai dalam enam putaran perundingan sebelumnya.
Sebelumnya, sempat ada kekhawatiran, proses perundingan enam putaran terdahulu akan ditolak oleh tim perunding Iran di bawah pemerintahan baru Presiden Ebrahim Raisi. ”Saya merasakan hal yang positif bahwa kami akan dapat mencapai hal-hal penting dalam beberapa pekan ke depan,” ujar Mora kepada wartawan.
Perundingan putaran ketujuh nuklir Iran, Senin kemarin, diikuti oleh negara-negara yang masih terikat sebagai penanda tangan kesepakatan bernama Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yakni Iran, Rusia, China, Perancis, Jerman, dan Inggris. Perundingan itu berlangsung di Palais Coburg, hotel mewah di Vienna, lokasi penandatanganan kesepakatan JCPOA, enam tahun lalu.
Selama perundingan tersebut berjalan, delegasi AS di bawah pimpinan Robert Malley, Utusan Khusus AS untuk Iran, tinggal di hotel terdekat dari Coburg Palais. Mereka diberi penjelasan mengenai jalannya perundingan oleh para diplomat dari negara-negara Barat penanda tangan JCPOA.
AS tidak bergabung dalam perundingan karena secara unilateral telah keluar dari JCPOA tahun 2018 pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Di bawah kepemimpinan Presiden AS Joe Biden, AS memberi sinyal untuk bergabung kembali dengan JCPOA. Perundingan enam putaran sebelumnya, terakhir digelar bulan Juni lalu, diarahkan untuk membawa kembali AS bergabung dengan JCPOA dan mengarahkan agar Iran kembali mematuhi kesepakatan itu.
Sejak Mei 2018, saat Trump memutuskan bahwa AS keluar dari perjanjian, nasib JCPOA terkatung-katung. Trump, melalui kekuatan diplomasi dan pengaruh negaranya di Dewan Keamanan PBB, terus berupaya menekan Iran dengan serangkaian upaya penjatuhan sanksi. AS secara unilateral juga terus menjatuhkan sanksi atas Iran.
Berdasarkan JCPOA, Iran seharusnya sudah terbebas dari sanksi-sanksi internasional. Namun, dengan keluarnya AS dari JCPOA, Iran kembali mengaktifkan program nuklirnya. Program pengayaan uranium negara itu dilaporkan kini sudah mencapai kemurnian 60 persen. Hal ini tinggal beberapa langkah lagi menuju level 90 persen atau tahap pembuatan senjata.
Selain itu, Iran juga mengaktifkan mesin sentrifugal canggih yang dilarang dalam JCPOA dan membuat persediaan uraniumnya sekarang jauh melebihi batas. Situasi semakin rumit karena para inspektur nuklir dari PBB masih belum bisa memonitor penuh program nuklir Iran setelah Teheran menetapkan sejumlah pembatasan bagi mereka.
Menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), kemampuan Iran untuk memperoleh uranium yang bisa digunakan untuk senjata nuklir hanya tinggal beberapa saat lagi atau beberapa pekan ke depan.
Urgensi di kedua pihak
Mora mengatakan, semua delegasi yang terlibat dalam perundingan putaran ketujuh bersedia mendengarkan posisi pemerintah Iran yang baru. Delegasi Iran juga mengatakan, mereka ingin terlibat sepenuhnya di dalam upaya menghidupkan kembali JCPOA.
Menurut Mora, ada dua hal mendasar yang bisa menjadi pendorong agar perundingan ini dapat bergerak lebih maju, yaitu persoalan internal di dalam negeri Iran dan masalah pengembangan nuklir Iran yang dipandang semakin mendekati puncak pembuatan senjata nuklir. ”Ada urgensi agar penderitaan rakyat Iran berakhir dan ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk menempatkan program nuklir Iran di bawah pengawasan transparan masyarakat internasional,” katanya.
”Mereka telah menerima pekerjaan yang dilakukan selama enam putaran pertama adalah dasar yang baik untuk membangun kesepakatan ke depan. Kami tentu saja akan menggabungkan keinginan politik dari pemerintahan baru Iran,” kata Mora.
Utusan Pemerintah Rusia Mikhail Ulyanov, melalui akun Twitternya, menyatakan bahwa pertemuan awal putaran ketujuh dinilainya cukup sukses. Namun, ia tidak menjelaskan detail hasil isi pertemuan awal tersebut.
Perancis, yang akan memegang keketuaan Dewan Eropa tahun depan, mencoba mendekati Pemerintah Iran dan membujuk mereka agar bersikap lebih lunak. Dalam pembicaraan melalui telepon selama hampir satu jam, Presiden Perancis Emmanuel Macron mendesak Presiden Raisi agar Iran terlibat secara konstruktif dan menjaga komitmennya pada program pengawasan nuklir internasional.
Berkeras
Namun, di balik pernyataan-pernyataan yang bernada optimistis tersebut, seorang diplomat Eropa yang mengikuti perundingan sejak awal mengatakan bahwa sikap Iran yang bersikeras pada posisinya semula dipandangnya sebagai hal yang tidak menggembirakan. Meski demikian, arah perundingan akan makin jelas jika pembicaraan memasuki topik inti, yaitu tentang sanksi dan nuklir.
Di mata perunding AS dan Eropa, tim perunding Teheran telah menetapkan tuntutan yang dianggap tidak realistis. Selain pencabutan seluruh sanksi, Iran juga menyerukan agar AS mencairkan aset mereka senilai 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14 triliun sebagai isyarat awal niat baik.
Ketua Tim Perunding Iran Ali Bagheri Kani menyatakan, Iran menuntut AS dan sekutu-sekutunya untuk menjamin tidak ada sanksi baru di masa depan terhadap negaranya. ”Pertama-tama, semua pihak yang terlibat dalam perundingan harus menerima permintaan Iran bahwa sanksi AS adalah ilegal dan tidak adil. Sejak awal, hal ini harus jelas. Baru setelah itu kita membahas hal lainnya,” katanya.
Israel, negara yang bukan pihak penanda tangan dalam perundingan, ikut mengipasi situasi agar tercipta suasana tidak kondusif untuk mencapai kesepakatan. Israel menyebut, sikap Iran yang terus bersikukuh dengan posisi dan keinginannya tidak layak apabila diganjar dengan pencabutan sanksi ataupun lainnya, termasuk soal pencairan aset mereka.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennet mengirimkan rekaman video kepada negara peserta perundingan. Ia menyatakan, Iran tidak pantas mendapatkan penghargaan dalam bentuk apa pun karena negara itu juga menolak patuh pada isi kesepakatan JCPOA.
”Iran tidak pantas mendapatkan penghargaan, tidak ada kesepakatan tawar-menawar, dan tidak ada keringanan sanksi sebagai imbalan atas kebrutalan mereka Saya menyerukan kepada sekutu kami di seluruh dunia: jangan menyerah pada pemerasan nuklir Iran,” kata Bennet.
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan, pertemuan putaran ketujuh itu adalah kesempatan terakhir bagi Iran untuk mendapatkan hasil optimal sekaligus menerima norma internasional. ”Kami ingin pembicaraan itu berhasil. Namun, jika mereka tidak berhasil, semua opsi ada di atas meja,” ujarnya setelah bertemu dengan Menlu Israel Yair Lapid. (AP/REUTERS)