Sepak Terjang Milisi Maritim China
Milisi maritim beroperasi di Kepulauan Spratly untuk membantu penegak hukum dan militer China untuk mencapai tujuan politik di Laut China Selatan, yakni menegaskan kedaulatan China.
Milisi maritim China diduga terlibat dalam banyak insiden di Laut China Selatan, seperti penabrakan, penghadangan, pengepungan, dan pengusiran kapal nelayan hingga penembakan. Sasaran mereka adalah kapal-kapal asing, terutama dari negara tetangga pengklaim wilayah di Laut China Selatan.
Insiden di lapangan sering kali berujung pada ketegangan diplomatik, seperti dengan dua negara ASEAN pengklaim, yakni Filipina dan Vietnam. Bahkan pernah juga dengan Indonesia, negara nonpengklaim wilayah (non-claimant), seperti terjadi pada September dan Oktober lalu di zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara.
Kasus terbaru terjadi pada November ini. Penjaga Pantai China (CCG) memblokade dan menembakkan meriam air ke kapal Filipina yang bergerak ke Second Thomas Shoal, atol yang dikuasai Filipina di Kepulauan Spratly. Kesal dengan China, Filipina memberi dukungan kepada pakta pertahanan Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) yang dibentuk untuk menghadang pengaruh China dari sisi selatan Indo-Pasifik.
Hasil penelitian terbaru Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, AS, menyebutkan, hingga 300 kapal milisi nelayan China beroperasi di Spratly pada hari-hari tertentu. Laporan CSIS yang dirilis pada Kamis (18/11/2021) itu menyebutkan, milisi beroperasi dari 10 pelabuhan di Provinsi Guandong dan Hainan.
Baca juga : China, Ikan, dan Perairan
Penyebaran milisi maritim meluas sejak China menuntaskan pembangunan pos-pos terdepannya di pulau-pulau buatan di Spratly pada 2016. Setahun kemudian, China merampungkan konstruksi sebagian besar infrastruktur di pos-pos tersebut. Kala itu, di sana tidak pernah ada lebih dari 100 kapal sekaligus. Pada Agustus 2018, jumlahnya membengkak hingga 300 kapal.
Fokus China memang telah bergeser ke arah penggunaan pos-pos tersebut sejak 2017 untuk menegaskan dan memperkuat kontrol secara de facto atas aktivitas masa damai di Laut China Selatan (LCS). Komponen kunci dari pergeseran strategi itu adalah perluasan milisi maritim China ke area-area yang telah ditentukan.
Grup kapal nelayan, atau lebih tepat disebut kapal milisi maritim itu, seolah-olah sedang terlibat penangkapan ikan komersial. Sebenarnya, menurut penelitian CSIS, milisi maritim beroperasi membantu penegak hukum dan militer demi mencapai tujuan politik Beijing di laut sengketa: menegaskan kedaulatan China.
Beijing meluncurkan pengerahan kapal milisi secara besar-besaran, yang menandakan perubahan penting dalam pola pengerahan pasukan milisi, mulai Desember 2018. Saat itu Filipina sedang giat membangun jalur pantai dan memperbaiki landasan pacu di Pulau Thitu, 12 mil laut dari Subi Reef.
Baca juga : China Terus Ganggu Kedaulatan Filipina di Pulau Thitu
Sebagai respons, puluhan kapal milisi China meninggalkan Subi Reef dan mendekat dengan membuang jangkar antara 2 dan 5,5 mil laut dari Pulau Thitu. Pengerahan awal melibatkan 95 kapal pada 20 Desember 2018. Namun, tidak satu pun kapal itu menangkap ikan.
Kapal-kapal milisi maritim China terbagi dalam dua kategori utama. Pertama, kapal-kapal milisi profesional, yakni kapal penangkap ikan milisi maritim profesional (MMFV). Kedua, kapal-kapal penangkap ikan komersial, yakni Spratly Backbone Fishing Vessels (SBFV), yang direkrut ke dalam kegiatan milisi melalui program subsidi dari Pemerintah China.
MMFV dirancang, dibangun atau direnovasi secara khusus, dan dioperasikan menggunakan dana untuk urusan milisi maritim. SBFV adalah bagian dari kapal penangkap ikan domestik yang memenuhi persyaratan minimum tertentu.
Menurut CSIS, mereka beroperasi di Spratly untuk memenuhi tujuan politik atas nama Pemerintah China. MMFV dan SBFV bertujuan menegaskan kedaulatan China di perairan yang disengketakan dan mengelompok dalam jumlah besar. Mereka mencegah atau memblokade kapal penangkap ikan dari negara pengklaim di LCS masuk ke area penangkapan ikan dan terumbu karang lainnya di perairan sengketa itu.
Ada perbedaan dalam peran MMFV dan SBFV. Pada tahun 2017, Biro Kelautan dan Perikanan Kota Taishan bertemu dengan pemilik SBFV. Kepada mereka diingatkan tentang ”tanggung jawab politik” (zhengzhi zeren) untuk beroperasi di perairan yang ditunjuk secara khusus (teding shuiyu) demi mempertahankan hak dan kepentingan maritim nasional serta menyatakan kedaulatan nasional.
Baca juga : China Telah Jadi Pemenang di Laut China Selatan
Dalam pertemuan yang sama, SBFV juga diinstruksikan untuk menghindari terjadinya insiden besar. Kepada mereka dikatakan, tindakan yang lebih agresif seperti menabrak kapal penangkap ikan lain, mengganggu navigasi kapal perang asing, atau jenis konfrontasi fisik lainnya dipercayakan kepada MMFV.
Milisi maritim juga telah mengambil bagian dalam perebutan wilayah minyak dan gas. Mereka bergabung dengan CCG dalam mengawal kapal survei milik China, Haiyang Dizhi 8, dalam operasi terpisah selama berbulan-bulan di Vietnam dan Malaysia pada akhir 2019 dan awal 2020.
Menurut Conor M Kennedy dan Andrew S Ericson dalam artikel bertajuk ”China’s Third Sea Force, The People’s Arm” (China Maritime Report No 1, Maret 2017), tanggung jawab yang lebih besar itu konsisten dengan desain MMFV, yakni mengakses penyimpanan senjata dan menggunakan meriam air besar. Namun, SBFV mempertahankan beberapa kapasitas laten untuk diintegrasikan dengan operasi militer.
Milisi diorganisasi, didanai, dan diarahkan oleh Pemerintah China. Hal ini membuat Beijing bertanggung jawab secara hukum atas perilakunya. Undang-undang domestik China, pernyataan publik pejabat China, media pemerintah, serta kerja sama operasional kapal pemerintah dan milisi, semuanya memperjelas bahwa negara mendukung dan memfasilitasi aktivitas milisi.
Milisi maritim bersenjata China, yang secara resmi disebut Milisi Maritim Angkatan Bersenjata Rakyat (PAFMM) oleh Departemen Pertahanan AS, memainkan peran penting dalam strategi Beijing untuk menegakkan klaim kedaulatannya di LCS. Menurut Foreign Policy, PAFMM adalah kekuatan yang didukung Beijing, disebut sebagai subkomponen Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China. Mereka membantu operasi CCG dan Angkatan Laut PLA di wilayah tersebut.
Pengerahan milisi maritim oleh China dimulai setidaknya pada tahun 1974 ketika mereka diterjunkan untuk merebut Kepulauan Paracel dari Vietnam. Milisi maritim bangkit menjadi garda terdepan strategi China di LCS setahun setelah Presiden Xi Jinping berkuasa, tepatnya pada Mei 2014.
Baca juga : Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
Greg Poling, Direktur Program Asia Tenggara dan Inisiatif Transparansi Maritim Asia di CSIS, yang juga salah satu penulis laporan tersebut, seperti dilaporkan Al Jazeera, mengatakan bahwa telah ada upaya yang jelas untuk membuat milisi maritim semakin profesional sejak Xi berkuasa.
”Beijing mengklaim mereka aktor komersial. Namun, penginderaan jauh dan bukti foto dapat digabungkan untuk membedakan kapal milisi dari bukan milisi,” kata Poling.
Milisi maritim memblokade kegiatan sah negara tetangganya di ZEE mereka sendiri. Untuk melakukannya, kapal-kapal milisi sering beroperasi dengan melanggar hukum internasional.
Milisi maritim secara rutin mengganggu penangkapan ikan, eksploitasi dasar laut, dan kegiatan sah lainnya oleh negara-negara Asia Tenggara di dalam ZEE dan landas kontinen mereka sendiri. Tindakan ini melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang ikut diratifikasi Beijing. Taktik yang digunakan milisi menimbulkan tantangan yang signifikan bagi penegakan hukum internasional.
Hasil penelitian CSIS menyebutkan, kapal-kapal ini, bersama dengan CCG, sengaja bermanuver untuk menimbulkan risiko tabrakan demi memaksa kapal asing pergi. Mereka melakukannya dengan persetujuan pihak berwenang China yang sering berada di lokasi insiden. Tindakan mereka melanggar Peraturan Organisasi Maritim Internasional untuk Mencegah Tabrakan di Laut atau COLREGS.
Beijing mengedepankan dialog atau pendekatan diplomasi dalam menghadapi situasi di laut sengketa itu. Beijing telah berulang kali menegaskan tidak ada pelanggaran oleh nelayan-nelayan China ketika menangkap ikan di LCS karena dilakukan di daerah penangkapan tradisional China.
Basis klaim China didasarkan pada sejarah berupa sembilan garis putus-putus, yang ditentang banyak negara karena tidak sesuai UNCLOS 1982. Terkait LCS, China tetap menunggu selesainya negosiasi penyusunan tata perilaku (CoC) yang mengatur penanganan konflik di LCS antara China dan ASEAN.