Para pihak yang terlibat dalam perundingan program nuklir Iran skeptis ada jalan keluar dari kebuntuan. Gedung Putih sejauh ini dinilai sangat lunak terhadap Iran, yang dinilai tidak patuh.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
VIENNA, MINGGU — Pemerintah Amerika Serikat melihat ada peluang untuk mencapai kesepakatan ketika AS dan Iran kembali melanjutkan perundingan soal program nuklirnya, Senin (29/11/2021). Namun, keinginan untuk mendapatkan hasil maksimal dari proses perundingan yang alot, ditambah tekanan dari dalam negeri, membuat para pihak skeptis negosiasi ini bisa menemukan jalan keluar terbaik bagi semua pihak.
Tim perunding Iran yang dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Ali Bagheri Kani, menurut kantor berita Iran, IRNA, telah tiba di Vienna, Sabtu (27/11/2021). Tim perunding Amerika Serikat yang dipimpin Utusan Khusus untuk Iran Rob Malley juga dikabarkan telah tiba.
Perundingan tidak langsung yang diinisiasi Uni Eropa dan negara-negara penanda tangan kesepakatan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yaitu Inggris, China, Perancis, Jerman, dan Rusia, telah berlangsung enam putaran. Perundingan terhenti pada Juni ketika Iran melangsungkan pemilihan presiden. Ini babak baru perundingan setelah Iran dipimpin Presiden Ebrahim Raisi dan membentuk tim perundingan baru.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, pertengahan pekan lalu mengindikasikan, ada ruang yang mungkin tercipta dalam proses perundingan itu dan sikap saling memahami satu sama lain. Akan tetapi, dia tidak mengelaborasi maksud ruang tersebut dan pemahaman apa yang bisa muncul dalam proses perundingan.
Sebaliknya, Malley, yang merupakan anggota tim perumus perundingan JCPOA pada pemerintahan Barack Obama, mengatakan, sikap Teheran sama sekali tidak mendukung kelancaran proses perundingan. Malley menyatakan, dalam pandangan AS, Iran hanya ingin mengulur waktu. ”AS tidak akan tinggal diam,” ujarnya.
Dia mengatakan, AS akan mencari upaya lain, baik upaya diplomatik maupun lainnya, untuk menghadapi ambisi program nuklir Iran.
Menurut sejumlah diplomat yang sejak awal ikut serta dalam perundingan, Iran menetapkan tuntutan yang dianggap tidak realistis oleh tim perunding AS dan Eropa. Iran bersikeras agar semua sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa sejak tahun 2017, yang tidak terkait program nuklir, dibatalkan. Dua diplomat Eropa mengatakan, Iran bermain-main dengan waktu guna mengumpulkan lebih banyak materi dan pengetahuan untuk program pengayaan nuklirnya.
”Jika ini posisi yang terus dipegang Iran pada perundingan Senin, saya tidak melihat solusi yang dinegosiasikan,” kata salah satu diplomat Eropa.
Beberapa diplomat mengatakan, empat hingga enam minggu lagi Iran akan memiliki masa yang disebut waktu breakout untuk mengumpulkan bahan fisik guna membangun satu senjata nuklir.
Awal November lalu, militer Israel mengirim pesan bahwa mereka tidak tinggal diam bila Iran pada akhirnya bisa menguasai dan memproduksi senjata nuklir, yang juga dimiliki Israel. Perdana Menteri Israel Naftali Bennet, di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, berjanji negaranya tidak akan membiarkan Iran, musuh bebuyutannya, memiliki senjata nuklir.
Peringatan tidak hanya datang dari Israel. Amerika Serikat juga mulai mengirimkan sinyal tegas bahwa mereka tidak akan tinggal diam bila Iran berhasil mempersenjatai diri dengan senjata nuklir. Akhir Oktober lalu, Komando Tengah Militer AS menerbangkan pesawat pengebom B-1B Lancer di atas Teluk Persia, Selat Hormuz, Selat Bab al-Mandeb, Terusan Suez, hingga Teluk Oman.
Pesawat pengebom ini mendapat kawalan dari jet tempur sekutu AS di Timur Tengah, mulai dari Israel, Bahrain, dan Arab Saudi. Dalam pernyataannya, Komando Tengah menyebut, misi gugus tugas pesawat itu untuk menyampaikan pesan yang tegas tentang penjaminan keamanan.
Kesepakatan sementara
Jika perundingan kembali gagal, AS dan sekutunya akan menyerukan pertemuan darurat. Salah satu skenario yang disarankan para diplomat Washington adalah merundingkan kesepakatan sementara dengan Teheran selama kesepakatan permanen tidak tercapai. Namun, untuk mencapai kesepakatan sementara tetap akan dibutuhkan waktu dan tidak ada kepastian bahwa Iran memiliki keinginan untuk itu.
”Pemerintahan Biden dapat melihat kesepakatan jangka pendek, yakni perjanjian terbatas yang membekukan atau menghentikan sementara beberapa kegiatan program nuklir di Iran dengan imbalan beberapa keringanan sanksi sederhana,” kata Kelsey Davenport, Kepala Kebijakan Nonproliferasi pada Asosiasi Kontrol Senjata.
Hal senada dikatakan analis Eurasia, Henry Rome. Dalam pandangannya, Iran memiliki perhitungan bahwa kegiatan pengayaan nuklirnya yang tidak terpantau memberi banyak tekanan dan posisi tawar terhadap negara-negara Barat di dalam perundingan. Akan tetapi, bila dibaca sebaliknya, itu akan menjadi bumerang bagi Iran.
”Hal itu kemungkinan akan memiliki efek sebaliknya. Ini menandakan tim baru Iran tidak berminat menyelesaikan masalah nuklir dan akan mempercepat keluarnya kebijakan yang bersifat koersif tahun depan,” kata Rome.
Terbukanya kemungkinan soal kesepakatan sementara, dipandang beberapa analis, berisiko menambah tekanan pada pemerintahan Presiden Joe Biden. Protes tidak hanya datang dari oposisi Partai Republik, tetapi juga dari kubu Demokrat. Demokrat melihat Biden terlalu lunak dan murah hati pada Iran.
Para penentang kesepakatan JCPOA, terutama kalangan konservatif di AS, berpendapat, Gedung Putih harus meningkatkan tekanan ekonomi, diplomatik, bahkan militer, tanpa menunggu hasil perundingan di Vienna.
Dalam pandangan Suzanne DiMaggio, peneliti di lembaga pemikir Carnegie Endowment for International Peace, kekuatan militer pada akhirnya tidak akan menyelesaikan masalah. Menurut dia, perlu ada terobosan baru untuk mencari jalan keluar dari perundingan yang selalu berakhir dengan kebuntuan.
”Jika ada rencana yang lebih baik di luar sana, kami ingin mendengarnya sekarang,” ujarnya, Jumat pekan lalu. (AFP/Reuters)