Peserta ASEM memiliki 60 persen dari keseluruhan populasi dan produk domestik bruto (PDB) global itu. Perdagangan di antara peserta ASEM setara 55 persen dari keseluruhan perdagangan internasional.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
PHNOM PENH, JUMAT — Setelah dua kali tidak hadir, Myanmar akhirnya ikut serta dalam forum yang digelar ASEAN bersama mitranya. Walakin, ASEAN tetap pada keputusannya soal tidak boleh ada perwakilan Myanmar di tingkat jabatan politis.
Myanmar mengirimkan tim teknis untuk memantau Konferensi Tingkat Tinggi Ke-13 Asia-Eropa (ASEM) pada 25-26 November 2021. Digelar secara daring di bawah pimpinan Kamboja yang juga ketua ASEAN 2022, ASEM 2021 diikuti oleh 51 negara.
Seperti dalam KTT ASEAN Oktober 2021 dan KTT ASEAN-China pekan lalu, ASEAN menginformasikan kepada Myanmar bahwa Naypyidaw hanya bisa mengirimkan perwakilan untuk jabatan nonpolitis pada KTT ASEM 2021. Hal itu berarti Myanmar tidak bisa mengutus pejabat setara atau lebih tinggi dari menteri.
Seperti di KTT ASEAN dan KTT ASEAN-China, Myanmar menolak mengutus pejabat lebih rendah dari menteri dalam KTT ASEM 2021. Naypyidaw mengirimkan tim teknis untuk memantau pertemuan yang melibatkan negara pemilik 60 persen dari keseluruhan populasi dan produk domestik bruto (PDB) global itu. Perdagangan di antara peserta ASEM setara 55 persen dari keseluruhan perdagangan internasional.
ASEM adalah satu satu forum yang digagas dan diselenggarakan ASEAN bersama para mitranya. Kini, ada 30 negara Asia dan 21 negara Eropa yang terlibat dalam ASEM. Sejak beberapa waktu lalu, Uni Eropa menyatakan keberatan atas kehadiran Myanmar dalam KTT ASEM 2021. Keberatan dipicu kudeta 1 Februari lalu.
Materi bahasan
KTT ASEM 2021 membahas sejumlah hal terkait pandemi Covid-19, multilateralisme, isu kawasan, hingga perubahan iklim. KTT Ke-13 ASEM sedianya digelar pada 2020 di Kamboja. Pandemi membuat KTT dimundurkan menjadi November 2021 dan berubah menjadi virtual. Kamboja tetap menjadi tuan rumah.
”Kita menghadapi tantangan yang belum pernah ada karena Covid-19, yang telah sangat berdampak pada kesehatan masyarakat dan menyebabkan krisis sosial ekonomi. Untuk mengatasi tantangan itu, kita harus menyetujui bahwa solidaritas, kerja sama internasional, dan multilateralisme vaksin adalah kuncinya,” kata Perdana Menteri Kamboja Hun Sen.
Sementara PM Singapura Lee Hsien Loong menekankan, komunitas internasional harus membangun ketahanan bersama untuk menghadapi dampak ekonomi dan sosial dari pandemi. Untuk itu, perlu berbagi pengalaman dan pengetahuan di ranah pemerintahan maupun swasta. ”Kita harus bekerja sama untuk memulihkan rantai pasok dan membuka lagi perjalanan internasional secara aman,” ujarnya.
Bersama PM Malaysia Ismail Sabri Yaakob, Hun Sen juga membahas soal bantuan bagi program transisi energi di negara berkembang. Hun Sen menyebut, dunia harus memprioritaskan bantuan keuangan dan teknis kepada negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.
Ismail malah secara spesifik mengarahkan permintaannya kepada negara maju. ”Saya harap negara maju terus mendukung dan menyedikan bantuan teknis dan alih teknologi kepada negara berkembang dalam program hijau dan berkelanjutan,” katanya.
Terkait kedua isu itu, PM China Li Keqiang mengatakan, harus dicari keseimbangan antara kebutuhan pemulihan dari dampak pandemi dan perlindungan lingkungan hidup. Perlu ada keseimbangan di antara memajukan pembangunan dan mendorong transisi ke arah lebih hijau dan rendah karbon. ”Bangsa-bangsa Asia dan Eropa perlu memperkuat koordinasi kebijakan makroekonomi, meningkatkan sistem perdagangan internasional berpusat pada WTO,” katanya, sebagaimana dikutip Xinhua.
Penekanan pada penghormatan atas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ditekankan China dan sejumlah negara karena negara maju di Eropa dan Amerika Utara cenderung mengabaikan sistem WTO. Negara maju dinilai berusaha menciptakan hambatan impor dari negara berkembang lewat berbagai isu, termasuk perlindungan lingkungan. Produk-produk negara berkembang dilabeli merusak lingkungan sehingga sulit masuk pasar negara maju.
Li juga menekankan bahwa setiap bangsa berhak memilih jalan pembangunannya sendiri. Setiap negara harus dipandang dan diperlakukan secara setara. ”Menjunjung multilateralisme adalah pilihan tepat untuk menjaga kedamaian dan kestabilan dunia,” katanya.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sepakat bahwa multilateralisme harus diperkuat. ”Asia dan Eropa sangat tersambung dan bersama kita punya dampak besar pada dunia,” ujarnya. (AFP/REUTERS)